Minggu, 07 Oktober 2012

Sisi Lain perihal SIRIK

SISI LAIN PANDANGAN PERIHAL “SIRIK”

Pada dasarnya sirik itu, tiada lain suatu kehormatan, suatu nilai-nilai harga diri yang begitu mendasar, yang begitu dijunjung tinggi oleh pemiliknya, seperti teruraikan terdahulu maka lahirlah ungkapan-ungkapan, misalnya ungkapan-ungkapan dalam bahasa Makassar: Mannassana Sirika ji tojeng(bahwa sesungguhnya, harag diri sesorang ditentukan oleh kemampunnya menjunjung tinggi nilai-nilai siriknya). Atau sirik tadji nakitau yang artinya: hanya memiliki sirik maka dapat disebut manusia.

Sedangkan ungkapan dalam bahasa Bugis adalah     
Sirik emitu tariaseng tau, narekko dei sirikta tania ni tau rupa gaung mani asennayang artinya :    hanya dengan sirik kita dapat disebut manusia, jikalau kita tak ada sirik bukan lagi manusia kita hanya bernama orang- orangan.
Lebih ektrim lagi sebuah ungkapan dalam bahas Bugis yaitu : Naiya tau deE Sirikna,
de lainna olo olok”, artinya : kalau manusia tidak ada sirik tidak berbeda dengan binatang.

Dari ungkapan pengertian tersebut berarti sirik bagi masyarakat Sulawesi Selatan adalah yang melekat pada diri manusia, merupakan lambing dari keutuhan manusiawinya, mencakup segala kewajiban serta hak-haknya selaku manusia baik secara pribadi maupun sebagai anggota masyarakat.

Dari pengertian inilah mungkin setelah bersntuhan dengan dunia luar dan dengan dunianya denga setiap pribadi yang sangat ditentukan oleh keseluruhan jiwanya dan juga tingkat kecerdasan dan nilai kesusilaan yang dimilikinya sangat erta hubungannya dengan harda diri dan martabatnya sebagai manusia.

Akibat mempertahankan harga dirinyalah sehingga banyak ornag yang mengidentikkan bila siriknya terlanggar, maka bagi orang yang bersangkutan hanya ada dua pilihan yaitu ia akan mati atau hidu. Akibatnya terjadilah penganiyaan bahkan pembunuhan.

Itukah arti sirik? Kalau kita amati kejadian suatu tindak pidana penganiyaan yang oleh pelakunya dinyatakan sebagai akibat maka cenderung sirik itu terbangunb karena perasaan, sentimental oleh emosi dan sejenisnya.
Dari segi hukum yang berlaku di Indonesia, akibat perbuatan tindak pidana
pembunuhan tersebut bukan mengangkat martabat manusia justru sebaliknya.

Namun dalam berbagai ungkapan maupun dalam lontara Bugis Makassar menunjukkan sirik bukan semata-mata dar5i luapan emosi. Ia lebih banyak berkadar ketersinggungan nilai-nilai kehormatan pribadi atau keluarga atau lingkungan.
Soal Perasaan

Menurut H. Dg. Mangemba, seorang budayawan dari universitas Hasanuddin mengungkapkan, berbicara tentang sirik tak dapat di lepaskan dari unsur pacce atau pesse dala bahasa Bugis Makassar. Pacce maksudnya adalah perasaan yang terbit dari dalam kalbu yang dapat menuju kepada sesuatu tindakan. Dari unsur sirik dan pacce inilah, katanya timbul ungkapan sipasiriki nasipapacce.

H. Dg. Mangemba mengungkapkan dalam makalahnya tentang pengertian dan pengembangan sirik bagi Makassar. sipasiriki nasipapacce berarti saling menjaga harkat sirik dan pacce bersama. Dengan sendirinya dia berusaha menjauhkan diri menyinggung kohormatan orang lain dan siap membantu bila perlu.

Ditegaskannya semangat ini terlebih-lebih ditujukan kepada lingkungan keluarga, menciptakan suatu masyarakat keluarga besar yang mengikat hubungan antara satu dan yang lain, menimbulkan solidaritas sosial. Bagi orang Bugis Makassar dalam.

Solidaritas sosial berarti kepentingan pribadi akan terdesak dan yang mennonjol adalah menegakkan kepentingan manusianya. Bahkan kalau perlu jiwanya rela dikorbankan demi perterapam ungkapan mempertegak sirik napacce disebut mate nisantangi yang artinya mati berlumpur dengan santan , mati dengan terhormat dan mulia.

Disisi lain ungkapan lontara, di tanah Bugis Makassar dalam suatu persekutuan hidup desa, wanua atau tanah niscayaterdapat pemimpin dalam persekutuan itu. Dan menurut jenjangnya, pemimpin menjadi orang pertama yang siriknya harus dipelihara. Mereka sangat merasa bersatu antara yang memimpin dan yang dipimpin oleh suatu kesadaran harga diri, martabat diri yang menimbulkan pesse atau pacce ( bahasa Makassar). Apabila mereka mengahadapi persoalan sesuatu terjadilah perbuatan tolong-menolong tindakan saling membantu dan saling membela. Jika seorang dihina maka negeri yang merasa dihina. Jika pemimpin yang merasa dihina maka serentak anggotanya bangkit bersama-sama membela dan memikul tanggung jawab.
Hasil Penelitian

Seorang antropolog wanita bangsa Amerika dari Universitas California di tahun 1975 sampai dengan 1976 mengadakan penelitian di Luwu. Ia mengungkapkan : tidak ada moral yang lebih penting buat orang Sulawesi Selatan dari pada mempunyai sirik sehingga seseorang yang kurang siriknya maka dianggap kurang juga kemanusiaannya. Menurut Erington, orang-orang Bugis-Makassar terkenal dimana-mana, karena dengan mudah mereka berkelahi kalau merasa dipermalukan, yaitu dipermalukan dengan cara yang tidak sesuai dengan derajatnya. Namun disisi lain, Erington mengemukakan pula, sirik tidak bersifat menentang saja, tetapi juga merupakan perasaan halus dan suci.

Menurutnya pendapatnya, sirik itu tidak dapat diterjemahkan dengan harga diri saja, tetapi termsuk pula malu. Bagi orang yang tidak beragama, suk mencuri, bersifat tidak suci atau kurang sopan dan dikategorikan kewpda orang yang tak memiliki unsur harga diri dan malu, dalam bahasa makassarnya disebut jurang Sirik, kata Erington. Sebagai contoh, katnya, nampak jelas dalam cara orang Sulawesi selatan mendidik dan membesarkan anaknya. Dianggap sama sekali tidak baik memukul anak, terutama menempelengnya.

Sebab menurut pendapat mereka, kata Erington, klau sejak kecil sudah terbisa ditempeleng orang maka saat di dewasa, ia tidak akan merasa tersinggung lagi kalau orng lain menghinanya.
Maslah kedua, nanti anak itu kurang sirik-nya atau perasaan halusnya, karena sejak
kecil dipaksakan dengan kekerasan Melakukan kewajibannya dan akhirnya kurang sirik.
Erington menambahkan Sirik jelas ada hubungannya dengan susunan masyarakatyang makin bertingkat, makin bangsawan seseorang mka makin banyak Sirik-nya yang harus dijaga. Dan mereka bersatu Sirik, tolong menolong bukan hanya dalam dukun tetapi juga dalam suka.

Nah, dengan uraian tersebut diatas, pada sisi lain dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa Sirik tidaklah identik dengan pembunuhan dan kekerasan atau dasar luapan emosional, atau luapan rasa dendam yang tak terkendali. Tetapi ia lebih banyak bertahan pada sikap harga diri yang merupakan subkultur budaya orang-orang Bugis-Makassar. Ia merupakan warisan leluhur dalam kerangka warisan yang bertali temali dengan nilai-nilai Sirik tersebut sebagai harga diri.

Menurut Prof.Dr.Mattulada, tragedy bnerdarah karena Sirik hanyalah salah satu tindakan, tetapi bukan arti dan hakekat Sirik. Dalam hal ini Sirik adalah kultur, budaya nenek moyang kita karena sirik, meninggalkan Tanah Bugis dan tak akan kembali kalau belum tercapai cita-citanya. Maksudnya tak akan kembali sebelum menjadi orang yang berpengetahuan atau orang yang berharta.
KEPRIBADIAN MANUSIA BUGIS

Pada dasarnya, masyarakat Bugis itu dibina mentalnya lewat pappaseng (pesan-pesan) yang merupakan pola dasr pegangan hidup. Tersebutlah, bahwa ada lima pappaseng (lima pesan pegangan hidup) orang Bugis tersebut.

Mengkaji pola hidup tersebut, maka tidak heran jika pancasila, memang digali dari nilai-nilai luhur budaya yang hidupo dalam masyarakat suku-suku bangsa di Republik ini, secara Bhinneka Tunggal Ika.

Kajaolaliddo (1507-1586). Nama lengkapnya, La Mellong To Suwalle Ta Tongeng MaccaE Kajaolaliddo (La Mellong Si Arif Bijaksana dan Pintar Kajaolaliddo), seorang pemikir intelektual yang arif, Negrawan dari Bone.

Ketika La Mellong bertugas sebagai pemndidik anak-anak raja dan bangsawan, mak tema pendidikan moral yang diberikannya meliputi lima hal utama, yaitu : 1) kejujuran disertai taqwa (Lempuk-E na-sibawang tya’), 2) Kebenaran kata-kata (satunya kata dengan perbuatan) disertai keteguhan pada prinsip (Sirik nasibawangi getting), 4) Keberanian disertai kasih saying (Awariningeng nasibawangi nyamekki-ninnawa), 5) Mappesona Ri Dewata SeuaE (Pasrah pada kekuasan Tuhan Yang Maha Esa). Lima prinsip utama inilah yang menjadi tema pendidikan moral yang diberikan Kajaolaliddo, yang secara dominan menguasai pemikiran-pemikirannya mengenai hukum, kemasyarakatan, malahan juga dalam pembinaan kpribadian individu.

Dari lima tema tersebut, Kajaolaliddo memilih lagi tiga tema utama yang paling sering dikemukakannya, yaitu kejujuran, kecerdasan dan keberanian. Dalam catatan-catatan lontara, Kajaolaliddo disebutkan sebagai manusia yang tidak pernah berbohong, tegas, dan jujur dalam setiap tindakannya, sederhana dan rendah hati, berni menghadapi musuh dan tangkas dalam diplomasi.
Kejujuran

Sifat ini agaknya diutamakan dalam Kajaolaliddo, yang berhubungan dengan kejujuran terhadap diri sendiri, masyarakat dan Negara serta terhadap diri sendiri, masyarakat dan Negara serta terhadap Dewata.

Kajaolaliddo mengajarkan jangan mengambil tanaman yang bukan tanamanmu, jangan mengambil harta benda yang bukan milikmubukan pula pusakamu, jangan keluarkan kerbau (dari kandang) yang bukan kerbaumu, dan kuda yang bukan kudamu; jangan pula mengambil kayu terletak sebelh menyebelah yang bukan kamu menetaknya.

Sifat-sifat tersebut harus dijadikan sikap jiwa melatari segenap perbuatan setiap individu, melatari kpribadian setiap warga msyarakat. Dalam hukum dan pelaksanaan hukum, Kajaolaliddo mengajarkan untuk memperlakukan setiap individu secara jujur dan sama untuk semua strata sosial.

Kebesaran dan kejayaan suatu Negara ditandai antara lain oleh nampaknya kejujuran ini dalam kehidupan masyarakat, terutama malempukina macca arung mangkauk-E (Raja jujur dan cerdas).

Tanda kerapuhan suatu Negara, yaitu apabila Raja tidak jujur dan ceroboh, Raja tidak mau diperingati (dikritik), tidak ada lagi orang pintr dalam Negara, kalau Hakim menerima sogokan; dan kejahatan merajalela serta raja tidak mengasihi rakyatnya. Kejujuran ini, menurut Kajaolaliddo didasari dan disertai terus-menerus oleh ketaqwaan kepada dewata (pada masa itu, Agama Islam belum masuk ke kerajaan Bone), karena menurut kepercayaannya, setiap tingkah laku manusia disaksikan sepenuhnya oleh dewta pawinruk-E (Sang Pencipta).

Adatongeng na tike’ (berkata benar dan hati-hati). Setiap individu harus memiliki sifathanya mengeluarkan kata-kata (ucapan) yang benar, menghindarkan diri dari kedustaan; serta berhati-hati dalam setiap ucapan dan tindakan.

Setiap ucapan harus disertai pertambangan natangnga’i olona munrinna (memperhatikan sebab dan akibatnya). Individu-individu dianjurkan untuk macca pinru ada dan macca duppai ada (pandai mengatur/membuat kata-kata dan pandai menjawab kata-kata). Orang yang disebut pandai mengatur kata-kata adalah orang yang tidak membuat kesalahan dan pelanggaran terhadap pangngadereng (sistem budaya), sedang yang disebut pandai menjawab kata-kata ialah yang mengusai berbagai perumpamaan, analog, kias (rapang).

Dalam ajaran Kajaolaliddo, disebutkan bahwa manusia disebut manusia, karena ucapannya yang benar, yang sesuai dengan perbuatan. Ada tongeng, disebut sebagai salah satu azas kehidupan dan kepribadian. Sesungguhnya, kepandaian pinru ada dan duppai ada juga berkaitan dengan lempuk (kejujuran) serta mappesona ri dewata seuwaE tawakakal kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Siri’na getting (Sirik disertai getting). Harga diri (Sirik) erat kaitannya dengan lempuk dan ada-tongeng. Pada azasnya disebut bahwa manusia (yang memiliki sirik) adalah mereka yang melempuk (jujur) dan makeada tongeng (berkata benar). Orang yang tidak menjaga kejujuran dan kebenaran kata-katanya dianggap sebagai tidak memilihara harga dirinya, sehinggaorang demikian tidak lagi disebut tau (manusia) melainkan disebut rapang-rapang tau (seperti manusia boneka) atau olok-olok(binatang).

Harga diri menurut Kajaolaliddo, harus pula disertai dengan getting (teguh berpegang pada prinsip kebenaran). Dengan sifat ini dimaksudkan bahwa setiap orang tidak mudah tergeser dari prinsip kebenaran yang dianutnya. Sekalipun bumi pecah berantakan, langit runtuh, tidak membuat kita bergeser dari keyakinan dan prinsip kebenaran.
Kebenaran

Warani na cirinna (kebenaran disertai kasih saying). Dalam ajaran Kajaolaliddo, keberanian dianggap penting tetapi harus disertai dengan perasaan kasih saying yang besar terhadap sesame manusia.

Hanya dengan keberanian, maka prinsip lempuk, ada tongeng dan getting bias ditegakkan dalam kehidupan sebagai individu dan warga masyarakat. Tetapi keberanian pun harus selalu bertolak dari ketiga prinsip tersebut. Disebutkan bahwa bila jalan itu yang kulalui (maksudnya: tiga prinsip tersebut), maka tak ada lagi yang perlu aku takuti.

Keberanian yang bertolak dari tiga prinsip tersebut, dengan sendirinya akan disertai pula oleh rasa kasih saying terhadap sesame manusia. Kajaolaliddo menganggap bahwa kasih saying terhadap sesame manusia, yang merupakan bagian dari prinsip sipakatau( saling menghargai sesame manusia) haruslah menjiwai keberanian, karena tanpa kasih saying itu, keberanian akan membawa kebinatangan (olok-olok). Keberanian utama adalah keberanian untuk melawan binatang yang ada pada diri sendiri.

Akkaleng na nyameng melawan binatang yang ada pada diri sendiri. Kecerdasan dan kepandaian dinilai sangat penting oleh Kajaolaliddo, yang disertai pula oleh nyameng ininnawa. Istilah terakhir ini bermakna kernyamanan dan ketemtraman hati yang terpencar keluar dalam setiap penampilan. Juga bermakna ketenangan dan keteduhan hati, hingga memungkinkan orang berfikir dengan jernih. Akal tanpa disertai ketentraman dan ketyeduhan hati, tak akan melahirkan pikiran yang jernih, tak dapat melahirkan kecerdasan. Kajaolaliddo menjadikan akkaleng dan nyameng ininnawa sebagai pasangan yang menyatu.

Dari lima prinsip tersebut, Kajaolaliddo selalu menekan pada tiga hal, yaitu kejujuran, kecerdasan, dan keberanian. Sistem ide Kajaolaliddo, dengan nilai-nilai tersebut diatas sebagai nilai utamanya dijadikan didikan dasar/utama kepada setiap individu, khususnya keluarga bangsawan. Namun, Kajaolaliddo tidak berhenti pada sistem gagasan itu. Ia
lebihlanjut mengatakan bahwa nilai-nilai itu harus diaktualisasikan dalam pola-pola tindakan
dan perbuatan dalam kehidupan bermsyarakat dan bernegara.

Tak ada nilai-nilai itu, tanpa persaksian, sedang persaksian nilai-nilai itu adalah pada seruan, dan persaksian seruan adalah perbuatan. Seruan(obi) bermakna ganda, yaitu seruan kedalam diri sendiri dan seruan keluar diri. Seruan untuk dan Berdasar pada penghayatan nilai-nilai itu. Seruan itu, harus diaktualkan pada perbuatan. Karena itu harus Nampak pada sistem sosial dan sistem kenegaraan.

Kajaolaliddo memperoleh peluang untuk melaksanakan ajaran-ajarannya. Kedudukannya sebagai lise’Saoraja (penghuni istana), penasehat Raja dan kerajaan, pendidik anak-anak dan keluarga istana Raja Bone, memungkinkan La Mellong yang hanya turunan Matowa (semacam Lurah) ini, mengajarkan dan mengamalkan ajaran lempuk, ada tongeng dan getting serta harga diri.

Kedudukannya sebagai Lasykar ketika terjadi penyerbuan oleh Lasykar Gowa, memungkinkan ia memperlihatkan keberanian dan rasa kasih sayangnya serta cimtanya pada perdamaian.

Kedudukannya sebagai duta keliling Kerajaan Bone, membuktikan kecerdasan, kecakapan serta kterampilannya didalam diplomasi, dengan tetap berpedoman pada nilai-nilai ajarannya. Ia menjalin persahabatan antara Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu serta beberapa kerajaan kecil lainnya, Kajaolaliddo pun memperhatikan pandangan futuristiknya dengan membuat ramalan (perkiraan) jangka pendek dan perkiraan jangka panjang mengenai sikap dan tindakan yang akan diambil oleh Kerajaan Gowa yang kalah (Raja Gowa I Tajibarani Dg Marompa gugur dalam perang) dan terpaksa menandatangani perjanjian di Caleppa.

Ternyata ramalan Kajaolaliddo tidak meleset, karena Raja Gowa XII, I Manggorai Dg Mammeta Karaeng Bontolangkasa Melakukan serangan ke Bone, 10 tahunsetelah perjanjian itu. Kedudukannya sebagai pemimpin Lasykar dan penasehat Raja Bone, memungkinkan Kajaolaliddo memperlihatkan kecakapannya menyusun strategi politik.

Kajaolaliddo, adalah salah seorang diantara sedikit tomacca (intelektual) Bugis masa lalu, yang berhasil mempraktekan ajaran-ajarannya. Ajaran-ajaran kemudian terhimpun dalamn lontarak Latoa, yang menjadi buku pelajaran wajib bagi setiap turunan bangsawan/raja diseluruh daerah Sulawesi Selatan.
Catatan : bahan-bahan hasil kajian Drs.M.Anwar Ibrahim, sarjana Sastra lepasan Universitas
Hasanuddin dan Sekretaris Dewan Kesenian Makassar.


ASPEK-ASPEK KEBUDAYAAN
TERHADAP SISTIM KEMIMPINAN DIPEDESAAN
(TANAH BUGIS-MAKASSAR)

Mungkin ada manfaatnya, untuk sekedar digorskan ala kadarnya(aspek-aspek) pengaruh kebudayaan pada sector kepemimpinan di Tanah Bugis-Makassar pada jamaannya. Sebagai suatu studi perbandingan.

Kepemimpinan itu muncul dengan munculnya kehidupan manusia secara bersama (bermasyarakat), yang bermula digua-gua sejak dahulu kala. Bahkan didalam ajaran Islam dikatakan bahwa kepemimpinan itu muncul sejak Adam dan Hawa hidup bersama. Pada sat itu seseorang yang kuat dan punya keistimewaan menundukkan makhluk-makhluk gaib yang sering mengganggu kehidupan manusia. Karena tugas dan kewajiban seorang pemimpin ialah melindungi dan mensejahterakan rakyatnya lahir bathin serta menjaga keseimbangan kehidupan dan lingkungan alamnya.

Kepemimpinan sebagai salah satu unsur kebudayaan manusia senantiasa berkembangan mengikuti perkembangan masyarakat dan kebudayaan. Makin maju dan berkembang suatu masyarakat, makin komplek dan banyak jenisnya pemimpin. Perkembangan kepemimpinan suatu masyarakat itu meliputi segala aspeknya.

Oleh karena itulah pada masyarakat yang masih sederhana akan dijumpai pula kepemimpinan yang sederhana akan dijumpai pula kepemimpinan yang sederhana, baik persyaratan, hak dan kewajiban-kewajibannya maupun tugas-tugasnya. Seseorang pemimpin walaupun dia mendapatkan kedudukan yang istimewa tetapi ia tetap dipandang sebagai anggota masyarakat biasa. Dia dibutuhkan oleh masyarakat hanya karena dia memiliki kelebihan-kelebihan dari anggota masyarakat biasa berupa kepandaian gaib.
Seorang pemimpin pada saat itu memegang.
Pemerintah tidak secara mutlak, atau aristokrasi.

Dalam perkembangan selanjutnya, muncullah type kepemimpinan yang bersifat mutlak, dimana kekuasaan tertinggi berada ditangan raja. Bentuk-bentuk kepemimpinan seperti tersebut diatas dijumpai pada saat munculnya kerajaan di beberapa daerah di Sulawesi Selatan, termasuk kerajaan sidenreng-Rappang. Pada saat itu ada anggapan atau kepercayaan dari kalangan rakyat bahwa : Arung (raja) itu adalah orang dari keturunan To Manurung yaitu orang yang merupakan asal mula nenek moyang raja-raja di Sulawesi Selatan yang turun dari kayangan atau suatu tempat yang tinggi.

Oleh karena itulah raja-raja itu dianggap tidak sama dengan orang-orang biasa. Berdasarkan kepercayaan dan anggapan itulah seorang raja sangat dihormati oleh rakyatnya. Di Kerajaan Tanah Bugis (Sulawesi Selatan) pada saat itu sesuai dengan yang tertulis dalam kontrak terkenal Ikrar (Pernyataan Kesetiaan) rakyat kepada Arung atau raja yang memegang Pemerintahan. Ikrar tersebut sebagai berikut :
“Tenri Cacca mupojie, Tenri Poji muccaE.
Angikko kiraukkaju, Solokko nikibatang.
Lompok-lompok mutettongi, Lompok-lompok kilewo.
Bulu-bulu mutettongi,bulu-bulu kilewo.
Makedako mutenribali, mettekko mutenri Sumpalak”.

Maksudnya :

“Takkan kami tolak apa yang engkau sukai.
Takkan kami sukai apa yang engkau tolak.
Engkau adalah arus, sedang kami adalah batang kayu. Lembah
tempat engkau berpijak, bukit yang kami pagari. Sabdamu kami junjung,
titahmu kami patuhi”.

Pernyataan kesetiaan rakyat kepadanya hanya sepanjang ia dapat memegang dan mengembangkan nilai-nilai adat yang dikeramatkan oleh masyarakatnya. Bila hal itu tidak ada pada dirinya, maka serentak rakyat akan melaksanakannya.

Ikrar kesetiaan itu erat sekali kaitannya dengan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang calon Arung (raja) atau pemimpin. Menurut adat pada kerajaan-kerajaan Bugis- Makassar, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin adalah sebagai berikut :
1. To malebbi artinya orang yang mulia, ini teru tama dilihat dari keturunanya (bangsawan atau bukan).
2. To Acca artinya orang pandai.
3. To Warani artinya orang berani.
4. To Sugi artinya orang kaya.
Persyaratan-persyaratan seperti tersebut di atas dimaksudkan agar seorang pemimpin
betul-betul mempunyai kelebihan dari pada rakyat yang dipimpinnya.

Bila seorang pemimpin yang menurut penilaian betul-betul telah memnuhi persyaratan menurut nilai-nilai dan norma-norma yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, maka kepada pemimpin seperti itulah ditujukan Ikrar (pernyataan-kesetiaan) seperti tersebut diatas. Bahkan bukan hanya sampai disitu saja kalau betul-betul raja itu berlaku seperti apa yang diharapkan, maka kepadanya diperlakukan ikrar:
“Polo pang Polo panni”
Maksudnya
“ kalau perintah raja, tidak ada alasan menolak, segalanya dikerahkan untuk
melaksanakannya”.
“Napo Sirik ajjoarengnge, Napomatei JoaE”
Maksudnya:
“ kalau raja dipermalukan, kami rakyat lebih baik mati saja”.

Pernyataan-pernyataan seperti tersebut di atas menunjukkan bahwa bila sesuatu itu telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh adat, apapun yang akan terjadi harus dilaksanakan/dijalankan.

Pernyataan-pernyataan seperti tersebut diatas juga sekaligus menjadi control bagi tindakan-tindakan raja (pemimpin). Sebab bila seorang pemimpin sudah tidak dapat menjadi panutan rakyat, maka dia akan serentak diturunkan oleh rakyatnya seperti halnya yang dialami oleh salah seorang Arang Rappang yang pernah mengadakan kerja sama dengan Arung Pammana yang dianggap merugikan rakyat, maka ia serentak diturunkan dari tahtanya. Karena menurut adat Bugis bahwa pemimpin tana (pemerintah)itu adalah merupakan pusat (tumpuan) harapan rakyat untuk tetap terpeliharanya nilai-nilai dan norma- norma yang menjadi pedoman hidup masyarakat. Jika hal seperti itulah tiba saatnya diadakan penggantian.
 
Sebagai pasangan pernyataan dari rakyat seperti tersebut diatas, maka oleh Arung
(raja0 dibalas pula dengan pernyataan sebagai berikut:

“Assama Iyyako muabbulo sipeppa, Mupenrekengak Nanre manasu”.
Maksudnya:
“Bermusyawarah dan bermufakatlah karena apa yang telah kamu mufakati,
itulah yang akan aku jalankan”.
 
“Pura taro Arung, teppura taro adek. Pura taro adek teppura taro maranang”.            Maksudnya:
“keputusan raja dapat dirobah, keputusan Adat tidak dapat dirobah. Keputusan
Adat dapat dirobah, keputusan bersama tidak dapat dirobah.

Setelah masuknya Agama Islam di Sidenreng-Rappang, maka di tambah pula menjadi:
 
“Pura taro maranang teppura taro syarak(Agama)”.                                                       Maksudnya:
“keputusan bersama dapat dirobah, keputusan Agama tidak dapat dirobah”.
 
“Teccau Maegae, tebbakke tongengnge”.
Maksudnya:
“yang banyak tak pernah tersisihkan, yang benar tak pernah kalah”.

Dengan pernyataan-pernyataan timbale-balik seperti tersebut diatas, suatu pertanda bahwa di Tanah Bugis sejak dahulu sudah dikenal sistim pemerintahan yang bersifat Demokrasi. Dalam bahasa Bugis pemerintahan seperti ini dikenal dalam istilah Mangolo Pasang, maksudnya ada komunikasi timbale-balik dari raja kepada rakyat dan dari rakyat kepada raja.

Dari uraian seperti tersebut diatas jelas terlihat bahwa sistim nilai adat mempunyai peranan penting dalam interaksi rakyat dengan pimpinannya dan sebaliknya. Juga dapat dilihat bahwa seluruh kegiatan pemerintahan/ politik didasarkan pada sistim masyarakat mufakat. Keputusan-keputusan yang harus dilaksanakan terlebih dahulu Melalui musyawarah. Hal ini jelas dilihat pada Ikrar raha seperti yang telah disebutkan ai atas yang berbu-nyi :
“ Assama Iyyako muabbulo sipeppa mupenrikengnga nanre manasu”.
Maksudnya:
“ Bermusyawarahlah untuk mengambil keputusan karena keputusan itulah
yang akan aku laksanakan”.

Disamping itu juga dapat dilihat bahwa sejak masuknya Islam di Sulawesi Selatan (Bugis-Makassar) yaitu kira0kira tahun 1908/1909, maka nilai-nilai Islam-pun mulai berbaur dengan nilai-nilai Adat untuk dijadikan pedoman hidup bermasyarakat. Ini dibuktukan dengan Ikrar raja seperti tersebut diatas, setelah masuknya Islam disempurnakan dengan menambah nilai-nilai Islam sehingga berbunyi:
“Pura taro maranang teppura taro syarak”.
Maksudnya:
“Keputusan bersama dapat dorobah, keputusan Agama tidak dapat dirobah”.


ASPEK-ASPEK SIRIK
MENURUT PENDANGAN DAN PENGALAMAN PENELITIAN
Prof. Mr.Dr.A.Zainal Abidin Farid

Prof. Mr.Dr.A.Zainal Abidin Farid, sebagai ahli budaya Bugis dan merupakan bangsawan Bugis yang pernah mengalami sendiri pola budaya asli Bugis pada zaman jayanya, merupakan seorang tokoh di Sulawesi Selatan tang berminat keras mempelajari dan mengungkap masalah-masalah budaya Bugis-Makassar guna diwariskan pada generasi penerus Bangsa, mengemukakan pandangannya mengenai SIRIK dan PESSE ATAU PACCE SEBAGAI BERIKUT:

Pada tahun 1977 saya menanyakan tentang arti dan fungsi SIRIK dan sebab-sebab orang-orang Bugis yang merantau ke Malaysia,yaitu johor. Mereka pada umumnya tidak bias meneruskannya, tetapi sekedar memberikan contoh saja, paham mereka tak jauh beda dengan responden-responden di Sulawesi Selatan. Ada beberapa orang yang menyatakan bahwa sesungguhnya orang yang mappakasirik tak perlu membunuh tapi cukup menempeleng penghina didepan umum, sebab tindakan itu lebih berat dari pada pembunuhan. Mereka juga mengakui bahwa mereka meninggalkan Sulawesi Selatan karena sirik, yaitu menderita, miskin, dan beberapa orang yang orang tuanya atau neneknya yang berasal dari wajo’ menyatakan bahwa mereka yang merantau karena ingin hidup yang lebih baik....., karena mereka mennganggap diri mereka tinggal di negeri orang, maka mereka sangat menghemat uang dan hartanya, sebab adalah sirik hidup merana di negeri orang, seorang turunan orang Bugis dan nenek moyangnya merantau pada abad XVIImasih merasa bangga disebut orang Bugis, karena orang Bugis terkenal berani, kuat bekerja, percaya diri, serta bersemangat tinggi untuk memperbaiki ehidupan. Seorang Bugis lain ketika saya Tanya, hanya menjawab dalam pantun terkenal”.
Dekgaga pasak ri lipukmu, balanca ri kampong mu, mulanco mabela? (Apa tak ada
pasar dinegerimu, tak ada belanja di kampungmu sehingga merantau jauh?).
Engka pasak ri lipukmu, balanca ri kampongku, ininnawamu kusappak ( Ada pasar
dinegeriku, ada belanja dikampungku, namun aku mencari hati nurani).

Pada bulan Januari tahun ini, saya mengunjungi lagi kampung Benut, Pontian, Johor dan memperoleh keterangan tentang petualangan seorang Bugis yang telah berhasil mengangkat dirinya dari lumpur kesengsaran menjadi salah seorang Bugis yang berhasil.

Ia berangkat dari kampung Cilireng (Wajo) ketika berumur 25 tahun menuju Kalimantan Barat dengan bekal seadanya. Dari sana ia bersama tiga orang temannya ke Singapura. Disana, seorang kawannya ditangkap polisi, dan ia kehabisan uang sehingga 3 hari 3 malam tak pernah makan.

Sekalipun ia berhasil dari kampung yang terkenal sebagai pemberani dan orang-orang nakal, ia menahan diri untuk Melakukan kejahatan, sebab ia sirik keluarga erta sempuginya (sesame Bugis) akan tercemar.

Dengan pakaian yang melekat dibadannya ia ikut sebagai penumpang gelap kereta api yang menuju ke Benut, Malaya. Setibanya, ia melamar untuk bekerja diperkebunan kelapa milik orang Bugis dan dipekerjakan sebagai pemanjat pohon kelapa, suatu pekerjaan yang tak pernah dilakukan di Cilireng. Sesungguhnya ia berasal dari keluarga baik-baik dan berada. Kalau bukan karena sirik dan pesse ia tak akan berhasil mengerjakan pekerjaan itu. Berkat ketekunannya ia kemudian dipromosikan menjadi mandor, sehingga ia telah memenuhi pesan orang –orang tua dikampung:
“kalau engkau merantau jaganlah engkau menjadi anak buah, jadilah Punggawa
sekalipun punggawa kecil saja”.

Pada waktu pecahnya perang Dunia ke II ia memberanikan diri untuk berdagang di Singapura dengan resiko bahaya perang. Dikala itu tak seorangpun berani Melakukan pekerjaan demikian. Ia berusaha sekuat tenaga tanpa mengenal takut dan lelah dan pantang mundur sehingga memenuhi semboyang perantau Bugis pura babarak sompekku, pura tangkisik gulikku. Ulebbirengngi telling na tualie (layarku sudah berkembang, kemudian telah kupancangkan, lebih baik tenggelam daripada balik langkah). Yang mendorongnya ialah apa yang dinamakan wawang asugirenna to wajo’E (ilmu untuk menjadi orang kaya bagi orang wajo’). Ia menghayati dan mengamalkan pesan orang tua –tua di negeri asal yang berbunyi : Resopa natinuluk, natemmengngingngi, malomo neleteipammase Dewata Seua(jerih payah dan kerajinan serta ketidak borosan, mudah dititi oleh kemurahan Tuhan Yang Maha Esa), pesan mana diberikan oleh La Tadamparek Puang ri Maggalatung (+ 1491- 1521).

Sekalipun ia tidak mempunyai latar belakang pendidikan, namunia pandai menggunakan kesempatan, jadi menghargai waktu yang biasanya tidak dimiliki oleh masyarakat tradisonil.
Memang ada ungkapan turun-temirun yang sesuai hal itu:
1.“Matuk pa baja pae, pura pae, temmappapura jama-jamang” (sebentar, besok, nanti, tak
akan menyelesaikan pekerjaan).
2.“Onroko memmatu-matu napole marekkae nala makkaluk” ( Tinggallah bermalas-malas,
lalu dating yang bergegas maka ialah yang melingkar”.
3.“Ajak mumaelok ribetta makkalluk ri cappakna letengnge” ( jangan engkau mau didahului
menginjakkan kaki di ujung titian).

Keberhasilan, demikian orang Bugis-Malaysia itu, sangat tergantung pada semangat juang yang tinggi (pesse’) dan ketabahan sertakemauan untk bekerja keras yang tak mengenal menyerah. Itulah lelaki Bugis yang sejati. Pernyataan tersebut didukung oleh ungkapan : Dek nalabu essoE ri tengngana bitaraE (Mtahari tak akan tenggelam di tengah langit ) dan Iammi waroane maperrengnge (Hanya yang mempunyai daya katahanan dapat disebut laki-laki).

Pada saat penyerbuan antara tentara jepang ke Malaysia, Sultan Johor mencari orang yang berani menunggui istananya, karena ia pindah ke istana lain. Tak ada orang yang berani melamar, karena takut bahwa tentara Jepang akan memasuki rumah itu, dan rumah itu konon kabarnya dihuni setan. Sekalipun ia merasa takut juga, tetapi ia menghadap Sultan dan menyatakan bahwa ia sanggup.

Yang membuatnya terdorong berbuat nekad itu karena sirik dan pesse. Ketetapan hati demikian memang dikenal oleh ungkapan : Tanranna towaranie. Napappada-pada ri engkana ri dekna, ceddekna, enrengnge maEgana, ri paddiolona, nenniak ri paddimunrinna, ri mangkalingana, karena majak dek natassunrewe, nakareba madeceng dek natakkauang= Tandanya orang berani ialah menyamakan adanya dan tidak adanya, sedikit atau banyaknya, didahulukan atau dibelakangkan, dan disaat mendengar kabar buruk ia tak gentar dan waktu mendengar berita baik ia tak menampakkan kegembiraan.

Ternyata orang Bugis itu selamat, dan oleh Sultan Johor di depan orang banyak ia dinyatakan sebagai orang terberani di Johor, Sedangkan Sultan yang turunan Bugis itu menyatakan dirinya nomor dua.
Kini orang Bugis itu memiliki kelapa dan pabrik minyak kelapa serta menjadi
kontraktor. Andaikata ia berpendidikan, maka pasti ia akan menjadi Singa Terbang.
Dari kisah tersebut diatas, masih dapatlah disimpulkan, bahwa apa yang dikemukakan oleh Dr.L.A. Andaya tentang konsep sirik, pesse/pacce dan were/sare adalah benar yang selama itu bergelimang lumpur sejarah penderitaan yang bermuara pada culturallag: persangan yang tidak fair tanpa sirik, tetapi semata-mata siriati, dendam kesumatyang menghasilkan pembunuhan, penganiayaan dan intrik serta fitnah, sehingga
orang akan takut berprestasi, karena bias dianggap serangan terhadap sirik orang lain,
sakratul mautnya idealisme karena terdesak oleh materialisme Barat.
Orientasi vertical ke atas serta memandang hina ke bawah, meremehkan mutu karena
hanya mementingkan kulit luar, tercekiknya kebudayaan suka membaca dan menulis...
KesimpulanAndaya istilah bahwa sirik itu harga diri, tetapi ia juga berarti aib dan
malu.

Menurut hemat saya sirik sebagai substansi berarti harkat martabat serta harga diri sebagai manusia. Sedangkan perasaan yang ditimbulkan bilamana harkat itu dilanggar oleh orang lain atau diri sendiri yang merasa aib karena keadaan diri memang juga sering disebut sirik(akibat). Kebanyakan orang secara keliru hanya mengartikan sirik sebagai perasaan malu belaka. Lebih dapat dipahami jikalau istilah bahasa lain digunakan, misalnya di Jawa :wirang, di Bali: jengga, di Inggeris:honour, dijerman: die ehre, di Belanda: eer.

Demikianlah Prof.Mr.Dr.A.Zainal Abidin Farid dalam mengemukakan pendapatnya, yang dikutip penyusun sebagai bahan pelengkap dalam mendalami pengertian dan makna seluk-beluk sirik dan pacce atau pesse tersebut. Serta menambah perbendaharaan dan makna serta wawasan pemahaman terhadap hakekat yang terkandung pada BudayaSIRIK yang melembaga pada masyarakat Bugis-Makassar(Sulawesi Selatan). 


SIRIK MENURUT PANDANGAN SARJANA ASING

Dr.H.Th.Chabot (1950:246) berdasarkan penelitian, menyatakan antara lain:

Tiap-tiap perbuatan untuk melebihi orang lain, baik secara besar atau kecil, baik dengan angan-angan atau sesungguhnya mengakibatkan bahwa yang menderita karena perbuatan itu merasa harga dirinya dalam masyarakat terganggu. Tentang orang itu dikatakan bahwa ia merasa dirinya sirik dan bahwa ia akan membalas dendamnya dengan jalan melebihi lawannya itu.

Pandapat Chabot tersebut didukung oleh survey POLRI terhadap sejumlah pelajar SMA dan hasilnya ialah bahwa 97% memberi arti sirik secara luas sehingga sirik-sirik (malu- malu) yang bias membuahkan balas dendam.

Sejumlah 32% orang dewasa berpendapat serupa arti sirik demikian merupakan Das Sein yang berbeda dengan Das Sollen. Jikalau digunakan Kriteria ajaran yang terdapat di dalam lontarak, maka apa yang dilukiskan oleh Chabot itu termasuk SIRIK ATI yaitu rasa cemburu, sakit hati dan dendam, yang justru melawan dengan sirik yang asli.
Sherly Errington, seorang Antropoloog Amerika yang pernah mengadakan penelitian
di Luwu (1976-1977) antara lain mengemukakan sebagai berikut (1977.No.2):

“... untuk orang Bugis tiada tujuan atau alasan untuk hidup lebih tinggi atau lebih penting daripada menjaga siriknya, dan kalau merasa tersinggung, atau nipakasirik atau dipermalukan mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan siriknya dari pada hidup tanpa sirik. Dan memang orang Bugis /Makassar terkenal dimana-mana di Indonesia karena dengan mudah merekasuka berkelahi kalau dipermalukan tidak sesuai dengan derajatnya. hhMeninggal karena sirik dikatakan Mate Rigollai, Mate Risantangi, artinya mati diberi pula gula dan santan, artinya mati untuk sesuatu yang berguna.

Sebaliknya, hanya dengan memarahi dengan kata-kata seorang lain, bukan karena sirik, tetapi dengan alasan lain, dianggap hina. Begitu pula lebih-lebih dianggap hina Melakukan kekerasan terhadap orang lain hanya dengan alasan politik atau kepentingan ekonomi, atau dengan kata lain semua alasan perkelahian selain dari pada sirik dianggap semacam kotoran jiwa yang dapat menghilangkan kesakitan, kita harus mengerti bahwa sirik itu tidak bersifat menantang saja, tetapi juga merupakan perasaan halusdan suci...”
Seorang yang suka mencuri atau yang tidak beragama atau yang bersifat tidak suci
atau yang tidak sopan santun semua kurang siriknya.

Sejarawan Amerika yang berhasil menemukan konsep kebudayaan SIRIK, PESSE DAN WERE orang–orang Sulawesi Selatan ialah Dr.L.A.Andaya (1979: 366-369) yang menyatakan antara lain:
Dalam istilah sirik terkandung dua makna yang saling bertentangan. Dia dapat berarti
aib(malu) atau juga bias berarti harga diri.

Suatu keadaan siri’ terjadi bilamana seseorang merasa status dan prestise sosialnya dalam masyarakat diserang di muka umum. Bias juga timbul perasaan aib jika seorang dituduh, difitnah telah Melakukan perbuatan tercela, pada hal tidak.

Dalam masyarakat Sulawesi Selatan rasa keadilan itu bias muncul secara mendadak. Orang Bugis-Makassar akan bereaksi keras bilamana mereka percaya bahwa mereka itu berada pada pihak yang benar, tetapi dipersalahkan.

Mereka akan merasa derajatnya direndahkan bilamana telah merasa aib, maka dia oleh masyarakat dituntut untuk menghilangkan ketidakadilan dan menghilangkan harga dirinya. Masyarakat menuntut supaya orang yang disebut malu, wajib mengambil tindakan terhadap orang yang menghinanya. Karena menurut masyarakat, lebih baik mati dalam mempertahankan harga diri daripada hidup penuh aib.

Seseorang yang dipandang mati siriknya, karena tidak berbuat apa-apa untuk mengembalikansiriknya, dinilai oleh masyarakat orang yang tidak berguna. Kedua aspek sirik rasa aib dan malu harus dijaga untuk seimbang.
PACCEPacce,bilamana bukan sirik yang menyebabkan orang Makassar bersatu, maka pacce,
inilah yang mempersatukan kami. Adapun orang Bugis, bilamana tidak ada siriknya, masih
ada pacce.
Pacce dan sirik adalah konsep dwitunggal yang mendefinisikan orang Bugis dan
Makassar.

Sedang pacce itu bagi orang Makassar, menimbulkan rasa kebersamaan yaitu perasaan iba melihat penderitaan-penderitaan orang. Turut merasakan penderitaan sesame manusia, bagi orang Bugis dan Makassar diwajibkan. Itulah yang menimbulkan solidaritas antara individu dan anggota masyarakat lainnya.
Were, mengajarkan bagi orang Bugis dan Makassar bahwa nasib seseorang tidak
menjadi baik, bila tidak berusaha untuk memperbaiki. Dalam hal ini, jangan menyandarkan
diri pada rahmat Allah, tetapi upayakan dahulu memperbaiki nasib itu.
Dr.L.A.Andaya lah yang menemukan tiga konsep kebudayaan orang-orang Bugis-
Makassar (sebenarnya juga orang Mandar dan Toraja) yang terdiri atas tiga unsur essensial :
SIRIK, PESSEdan WERE, yang menurut dugaan saya dapat ditingkatkan menjadi
kebudayaan Nasional dan bukan saja bermanfaat tetapi merupakan condition sine qua non
dalam memajukan dan mensukseskan Pembangunan Nasional dan Daerah.

Didalam uraianAndaya-lah dapat disimpulkan bahwa ada dua macam sirik, yaitu rasa aib disebabkan oleh serangan orang lain, rasa malu yang disebabkan oleh nasib buruk yang menimpa seseorang. (Baca :ZAINAL ABIDIN).
                                               Unsur-unsur Positif dan Negatif
Ditinjau dari segi kepentingan masyarakat dan kepentingan pembangunan budaya bangsa yang Bhoneka Tunggal Ika ini sesungguhnya masalah Sirik tersebut mengandung nilai-nilai/unsur-unsur positif dan negative. Namun dalam beberapa hal pada perwujudannya kadang kala menjurus pada yang negative. Karena salah diartikan atau ditafsirkan secara tidak tepat.
Nilai Positif

1. Bertolak dari hakekat Sirik, yakni masalah harga diri atau pride, maka Sirik sesungguhnya merupakan hal yang sangat positif untuk dikembangkan bagi kepentingan kemajuan masyarakat yang sudah berlembaga dengan tatanan nilai-nilai budaya ini.
 
2.Sirik pada pokoknya bersumber pada dasar dan nilai-nilai bentuk ikatan dalam masyarakat
mentaati hukum, peraturan, perjanjian, dan lain-lain bentuk ikatan dalam masyarakat
(community) sehingga dapat menjaga kelestarian hidup sesuatu kelompok masyarakat.

3. Dengan prinsip sirik, mendorong masyarakat untuk tidak tertinggal dalam bentuk kemajuan apapu. Sebab motivasi terhadap rasa tidak ingin ketertinggalan adalh bersumber pada sirik itu sendiri.
                                                                                                                                                               4. Sirik adalah merupakan harkat yang berlembaga dan hodup terus dihati masyarakat,
berarti ia positif.

5. Sirik dapat dikembangkan lebih jauh untuk kepentingan kemajuan masyarakat disebabkan oleh rasa solider yang tinggi terhadap nilai-nilai saja yang bersikap untuk kepentingan kemajuan masyarakat.
                                                                                                                                                                6.Sirik oleh masyarakat Sulawesi Selatan telah dianggap sebagai suatu nilai budaya yang
harus dipegang teguh (terus). Sebab tanpa sirik, manusia ini dianggap sangat rendah nilai
kemanusiaanya (harkatnya).
                                                                                                                                                                   7.Dengan memberikan bntuk dari segi basic Moral tentan sirik yang positif, maka sikap  budaya ini mendorong masyarakat untuk mendukung masalah Kamtibmas. Utamanya dalam permasalahan pembinaan moral bangsa yang diarahkan pada nilai-nilai semangat juang 1945 dan pengamalan Pancasila serta ke-Bhinneka Tunggal Ika-an.
                                                                                                                                                                     8.Sirik dengan kaitannya sebagai unsur kewiraan / kepatriotikan kepahlawanan / ketahanan, dapat dijadikan unsur-unsur ketahanan. Yakni pantang menyerah kalah pada musuh atau pada setiap bentuk tantangan yang timbul (menantang kebathilan), dalam kerangka menegakkan yang haq. Yakni, pendirian (sikap) yang tak tergoyahkan, yang dalam istilah Bugis-Makassar disebut : Toddopuli. Yakni, Memaku dalam sikap pendirian. Tidak tergoyahkan dalam keyakinan.
 
Sisi Negatifnya
1. Sirik banyak diselewengkan oleh pribadi-pribadi pembawanya, menyimpang dari harkatnya sebagai aspek kebudayaan yang nilainya luhur. Karena terkadang perbutan yang negative dan sifatnya sangat sepele atau tidak prinsipil dikait-kaitkan dengan Sirik yang bernilai positif (mengandung nilai kulturil yang agung).
                                                                                                                                                          2.Kadangkala nilai Sirik itu ditunggangi untuk kepentingan-kepentingan mencapai sasaran-sasaran atau melindungi perbuatan-perbuatan yang negatif dari semantara pelaku-pelaku khausu kejahatan tersebut (lihat contoh-contoh sirik pada halaman terdahulu yang mengambarkan proses terjadinya erosi dalam penilain sirik terswebut sebagai suatu yang bernilai tinggi.
                                                                                                                                                         
Saran-saran / Pendapat-pendapat 1. Sirik perlu digali sebagi suatu aspek budaya bangsa kita sebagai sub kultur budaya bangsa yang Bhineka Tunggal Ika. Guna dimanfaatkan sebagai ramuan-ramuan pembinaan kebudayaan Nasional dan aspek-aspek pembangunan Nasional pda umumnya yang Bhineka Tunggal Ika itu.
                                                                                                                                                              2.Seminar tentang sirik sangat positif artinya sebagai suatu pembahasan ilmiah dan
karya budaya. Utamanya karena sejalan dengan materi ketentuan-ketentuan GBHN
(Bidang Budaya) .

3. Sirik sebagai aspek budaya bangsa yang Bhineka Tunggal Ika ini perlu diangkat nilai- nilai positifnya. Digali nilai-nilai mutiaranya, demi kepentingan identitas bangsa dalam kerangka penghayatan dan pengamalan pancasila

4. Perlu ditempu langkah-langkah agar nilai-nilai sirik tersebut, terpisahkan dari nilai- nilai emosional. Dengan kegiatan-kegiatan berupa merasionalkan masyarakat bersangkutan Melalui sarana-sarana pendidikan. Hal ini memungkin kan dengan berkembang pesatnya dunia pendidikan yang kini merata sampai ke pelosok-pelosok desa dimana desa sebagai tempat pesemaian sirik itu masih merupakan sesuatu yang berakar (melembaga).

5. SIRIK sebagai manifestrasi harga diri dan pegangan hidup untuk tidak berbuat yang bercela atau a’moral,disamping merupakan tekat untuk memperkuat iman untuk mencapai sukses yang dicita-citakan serta daya dorong untuk mengatasi hambatan yang dihadapi perlu dilestarikan sebagai aspek budaya bangsa yang Bhineka Tunggal Ika dan upaya mengamalkan nilai-nilai luhur falsafah pancasila. Dalam pengertian
Bahwa kebudayaan Nasional kita, adalah puncak-puncak Air Republik ini. Karena telah disepati bahwa: nilai harkat sesuatu bangsa diukur dari nilai harkat kebudayaan masyarakat.

Namun syarat untuk pembangunan kebudayaan, mengenal terlebih dahulu antropause yang merupakan pangkalnya. Karena itu pembanguna-pembanguna yang kita rencanakan dan yang akan kita laksanakan tak mungkin selama antropologi budaya Indonesia tidak merupakan latar belakang dalam menyusun dan melaksanakan pembangunan itu.(pasal 180 Buku gaya Baru-Drs Sidi Gazaiba).

Dalam pada itu, penulis merupakan rumusan pada UUD ‘ 45 BabXIII pasal 32 nyata disebutkan: Bahwa kebudayaan Bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai budi-daya rakyat Indonesia seluruhnya.
Kebudayaan lama yang asli yang terdapat sebagai puncak kebudayaan daerah-daerah
diseluruh Indonesi, terhitung sebagai kebudayaan bangsa.

Usaha kebudayaan,harus menuju kearah kemajuan abad,budaya dan persatuan dengan baik tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat dikembangkan atau diperkaya kebudayaan bangsa sendiri,serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. Demikian bunyinya UUD tersebut.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 itu, nyatalah betapa pentingnya setiap daerah di Indonesia memperkembangkan kebudayaan daerahnya untuk mencaipai puncak-puncak guna kebanggaan Nasional Indonesia. Dalam kaitan ke- Bhineka Tunggal Ika-an berbeda namun tetap satu jua. Dan last but not leasty,segalanya demi melastarikan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Karena pancasila itu, dsesungguhnya digali dari sumber-sumber nilai budaya Bangsa Indonesia itu sendiri. Kunci untuk mengenal dan mengetahui kebudayaan bangsa Indonesia adalah faham Bhineka Tunggal Ika. Tanpa pemahaman akan Indonesia terlatak pada ke-Bhinekaannya. Tetapi dalam ke-Bhineka-an tetap ada kesamaan(Franz Magnis Suseno).

Sirik, hakekatnya adalah milik bangsa Indonesia. Ia adalah subkultur Bangsa Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika ini. Karenanya, maka nilai-nilai positifsirik tersebut perlu dibina,sebagai kekayaan khasanah kebudayaan Nasional kita.

Akhirul kalam : sesungguhnya hanya mereka yang bertekad berkerja tanpa kenal lelah(memiliki etos kerja yang tinggi) tabah menghadapi tantangan-tantangan dan hambatan serta mampu menghemat (tidak boros dan serakah) yang mampu mencapai titik sasaran sukses perjuangan (peribahasa Bugis; Resopa Na Tinuluk Temmangingi Na Marekking Ri Waramparang Naletei Pammase Puang Dewata SeuwaE)

Namun untuk segalanya itu, kuncinya terlatak pada prinsip ; Ada’Na gau (satu-satunya kata dan perbuatan). Ketulus-ikhlasan dan itikad baik. Yakni kemampuan untuyk berkata yang benar itu benar. Dan yang salah itu salah. Demikian adanya. Semoga Tuhan melimpahkan Rahmat dan HidayatNya pda kita sekalian dalam berlomba-lomba berbuat kebaikan bagi Bangsa dan Negara Republik Indonesia tercinta ini
Lampiran:
Hasil Rumusan Tudang Sipulung Kebudayaan Majelis Pertimbangan Buidaya Daerah
Propensi Sulawesi Selatan tanggal 15-17 Juli 1989.

Malam tanggal 16 Juli 1989,pukul 20.00 kita baru saja mengkhiri rangkaian diskusi tentang Nuansa Kebudayaan kita. Semua ini kita lakukan sebagai suatu ikhtiar mencari jalan ; bagaimana memanfaatkan Budaya Tradisional dalam proses dan kreativitas Budaya Kontemporer.
Berbagai permasalahan dibicarakan selama dua hari dalam sebuah symposium yang
kita sebut Tudang Sipulung Kebudayaan Daerah Sulawesi Selatan. Ada sepuluh buah

makalahyang dibicarakan selama dua hari ini. Seluruh ditulis dengan penuh kesungguhan, mereka seakan-akan mengajak kesuatu wawasan kreativitas budaya kontemporer sementara itu kita pun diperhadapkan pada realita bahwa sesungguhnya perjalanan kita kearah itu tersendat atau mungkin meluncur tanpa arah. Jika hal itu dibiarka terus-menerus, dapat dipastikan akan mengerdilkan kreativitas budaya kita.

Tudang Sipulung yang semiula direncanakan hanya dihadiri oleh 60 orang,ternyata kemudian meningkat menjadi 83 orang. Tanggapan dari Sulawesi Selatan,sungguh sangat mengembirakan. Semua ini seakan satu pertanda akan lahirnya suatu generasi budaya yang berkualitas di Negeri ini.

Tujuh orang Nara Sumber yang penuh kebijakan dan pengetahuan yang luas tentang manusia dan kebudayaan Sulawesi Selatan telah memberikan pula inspirasi yang tidak kering-kering dalam Tudang Sipulung ini. Semua ini mendorong terciptanya iklim jerni. Ketulusan dan kesungguhan semua peserta seminar selama dua hari Tudang Sipulung memungkinkan lahirnya nberbagai butir-butir rumusan sebagai rancangan kebijakan dapat diperoleh dari Tudang Sipulung ini :

1.Perlu adanya upaya menerjemahkan berbagai literature asing tentang Sulawesi selatan      ke bahasa Indonesia. Hal ini penting karena banyak informasi tentang Sulawesi selatan yang harus diketahui dari persepsi penulis Asing. Dengan tetap bersikap kritis terhadap hasil-hasil terjemahan itu.

2. Upaya penerbitan atau peningkatan kualitas dan kuantitas terhadap karya-karya terbitan local sangat dibutuhkan. Berbagai jenis naskah-naskah local serta bermacam-macam isi kandungannya perlu segera diterjemahkan dan diterbitkan.
                                                                                                                                                              3. Untuk meningkatkan kreativitas bidang kesenian dan kebudayaan diperlukan kerja
sama antara Pemerintah, seniman, budayawan, ilmuwan, dan masyarakat.
                                                                                                                                                             4. Professionalisasi pengelolahan kesenian, baik dalam penciptaan mupun dalam
pemasaran sangat perlu untuk mendorong perkembangan kesenian di Sulawesi Selatan.
                                                                                                                                                    5.Refungsionalisasi organisasi-organisasi kesenian ditunjukan kepada berperannya grup- grup kesenian sebagai Sanggar-Sanggar dan Bengkel-Benmgkel kerja. Untuk memacu
prestasi kesenian dan sanggar-sanggar/bengkel-bengkel kerja tersebut, Dewan kese
nian Makassar hendaknya berperan dalam memberikan pemantauan, dorongan dan
evaluasi di bidang Seni kontemporer dan BKKNI di bidang Seni Tradisional.

6. Tudang Sipulang yang kita lakukan ini adalah upaya yang kita tempuh untuk
memantapkan sikap mental manusia Sulawesi Selatan pada inti budayanya yang paling
esensial, Sirik, sehingga terbangun perilaku yang dapat menjawab tantangan zaman.

7. Menciptakan iklim berkesenian yang baik untuk melahirkan seniman yang berkualitas.
Harus disadari bahwa yang terpenting dari seorang sniman adalah kualitas karya dan
kualitas pri-badinya, bukan statusnya dalam organisasi kesenian atau organisasi
kebudayaan. Karena itu perlu ditumbuhkan kemandirian untuk tampil sebagi pribadi
yang tangguh.

8.Sosok budaya tradisional Sulawesi Selatan ada-lah budaya yang telah Mapan, ia lahir dari kearifan manusia yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa. Karena itu unsur budaya yang diciptakannya bersifat adaptif dan selektif. Unsur-unsur itu-lah yang menjadi ladang kreativitas yang harus kita garap di Sulawesi Selatan.

9. 0rganisasi-organisasi kebudayaan di Sulawesi Selatan tampaknya mandek dan kurang berfungsi. Untuk refungsionalisasi organisasi-organisasi kebudayaan, pemerintah Daerah Sulewesi Selatan perlu memberikan perhatian yang serius.

10. Untuk maksud butir tersebut diatas, diharapkan Majelis Pertimbangan Budaya Daerah Propinsi Sulawesi Selatan dapat menjadi jembatan antara pemerintah Sulawesi selatan dengan organisasi-organisasi kebudayaan. Sebaliknya Majelis Pertimbangan
Budaya Daerah kita jadikan lembaga konsultasi tentang hasil karya budaya/kesenian
dari berbagai sumber dengan tidak membedakan latar belakang.

11. kebudayaan di Sulawesi Selatan yang hendak dikembangkan adalah seluruh unsur budaya, termaksud kesenian lama dan baru, bahkan kesenian yang dikembangkan oleh seniman garda depan.

12. Majelis Pertimbangan Budaya Daerah Propinsi Sulawesi Selatan hendaknya berperan semaksimal dan seobjektif mungkin dalam mengambil langkah-langkah penjernihan budaya sulawesi selatan.
                                                                                                                                                                         Makassar,16 juli 1989
Tim Perumus:

-Anggota: Husni Djamaluddin
: Sagimun MD.
: Rachman Arge.
: H.D.Mappatunru.
: Darmawan.
: Ishak Ngeljaratan.
: S.A.Yatimayu
: Fahmi Syariff.
-Ketua : Mukhlis

*http://www.scribd.com/doc/24317027/Menggali-Nilai-nilai-Budaya-Bugis-makassar
      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar