Minggu, 07 Oktober 2012

Apakah Yang dinaksud Dengan SIRIK ?

SRIK MENURUT HASIL PENELITIAN TEAM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN

Hasi-hasil penelitisn yang dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian kerja-sama penelitian antara badan penelitian Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman RI dengan pihak Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang dipimpin oleh Prof.Andi Zainal Abidin Farid,SH denganDr.Rusly Effendy,SH dkk: suraut perjanjian kerja-sama tersebut No.J.H/803/III76 tertanggal Ujung Pandang 10 juli 1977,yang man hasil penelitiannya ituantara lain,sebagai berikut:
SIRIK

Srik merupakan adat kebiasaan yang hidup danmelambangdalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan sejakdahulu kala hingga dewasa ini. Sirik mempunyai nilai-nilai positif dalam hidup bermasyarakat,namun tak dapat disangkal bahwa sirik juga mempunyai aspek-aspek negative terutama dalam kasus penganiayaan dan pembunuhan. Oleh karena itu, penelitian terhadap Sirik dirasakan penting sekali. Nilai-nilai positif yang terkandung didalamnya perlu diungkapkan dan dikembangkan dan yang negative perlu ditanggulangi.

APAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN SIRIK?

Jawaban atas pertanyaan ini dapat diberikan baik menurut arti kata masyarakat dalam bentuk suatu batasan (defenisi). Tetapi jawaban menurut arti kata suatu batasan,tidak akan dapat memuaskan.

Jawaban menurut arti kata mungkin tepat secara harfiah tetapi tidak cukup mewakili makna sebenarnya. Sedangkan jiwanya dirumuskan dalam suatu batasan,inipun akan terbatas pada aspek tertentu saja yang mewakili sesuai pendekatan objek tersebut. Justeru disinilah letak kesulitannya,karena Sirik merupakan suatu hal yang bersifat abstrak dan melembaga didalam masyarakat serta mencakup berbagai aspek dalam kehidupan. Mattulada ( Prof.Dr. Mattulada, sekarang Rektor Universitas Tadulako di Palu Sulawesi Tengah) memandangnya sebagai suatu konsep yang mengintegrasikan secara organis semua unsur pokok dari “ Pangngadereeng” atau Pangngadakkang (keseluruhan norma dan aturan-aturan adat). Shelly Errington mengatakan tidak mungkin dapat dimengerti susunan masyarakat Bugis Makassar tanpa kita mengerti susunan atau bentuk masyarakat itu berdasarkan kepada sirik dan darah. Keduanya adalah kye simbolis yang juga sekaligus gagasan dan nilai yang erat hubungannya dan tak mungkin dapat dipisahkan. Keluasan dan keabstrakan sirik ini disini hanya dibatasi pada aspek hukumnya dengan disana sini menyingggung aspek-aspek lain yang ada hubungannya, lagi pula sebagai suatu yang abstrak sifatnya maka yang diamati adalah akibat- akibatnya juka dilihat dari segi hukum “ misalnya bidang hukum pidana in kasus KUHP yang berlaku sekarang” merupakan suatu perbuatan melawan hukum .

Walaupun dari hari ke hari mengalami perubahan, tetapi menurut Mattulada masih mempunyai arti essensi untuk dipahami karena terdapatnya anggapan bahwa sirik itu bagi orang-orang Bugis Makassar masih tetap merupakan suatu yang lekat pada martabat kehadirannya sebagai manusia pribadi sebagai earga persekutuan. Mereka menghayati sebagai panggilan yang mendalam dari pribadinya, untuk mempertahanka nilai suatu yang dihormati, dihargai, dan dimilikinya. Sesuatu yang dihormati, dihargai, dan dimilikinya mempunyai arti yang essensi baik bagi dirinya maupun bagi persekutuannya. Di daerah Jeneponto, dua belas responden mencatat mengenai pacce ( Makassar) atau pesse (Bugis0 secara harfiah, ini berarti pedis atau pedih. Dari catatan responden tersebut dapat disimpulkan

bahwa pacce dan pesse adalah suatu perasaan yang menyayat hati, pilu bagaikan tersayat sembilu apabila sesame warga masyarakat ditimba kemalangan (musibah). Perasaan yang demikian ini merupakan suatu pendorong kearah solidaritas dalam berbagai bentuk terhadap mereka yang dulunya ditimpa kemalangan itu. Karena kemalangan itu menurut catatan responden dapat berupa ditempeleng di muka umum, diperkosa, kelaparan dan sebagainya, maka dapat disimpulkan bahwa sirik atau pacce atau pesse tersebut adalah sama tetapi yang terakhir ini lebih rendah tingkatannya. Namun demikian, antara keduanya sangat erat hubungannya dan tak dapat dipisahkan, seperti jelas dalam ungkapan-ungkapan berikut:
Unna tena sirita pacceta seng ammantang (Makssar) rekuade sirita ungga messa
peseta (Bugis), yang artinya: jika tak ada sirik niscaya masih ada pesse/paccenya.
Dari daerah soppeng, seorang responden mengemukakan penggolongan berikut ini:
istilah sirik sebaliknya dibahas dalam dua bagian, yaitu:

1. Sirik yang berasal dari pribadi yang merasakannya/ bukan kehendaknya
(penyebabnya dari luar), jadi sirik ripakkasirik.
2. Sirik yang berasal dari pribadi yang itu sendiri ( penyebabnya di dalam) disebut
sirik masirik.

Sirik sukar sekali dinilai oleh orang yang tidak bersangkutan (abstrak). Banyak sekali hal yang mengenai sirik yang tak dapat dituturkan dan banyak diantaranya tak dapat diterima tasio, akan tetapi tak dapat dikesampingkan kerena benar-benar pengaruhnya untuk menimbulkan peristiwa pidana berdarah, antara lain: kentut tiba-tiba(nakelo ettu) di maka umum.

Pernah seorang laki-laki nakelo ettu dimuka umum yang secara refleks kemudian menghunus kerisnya. Hadirin sependapat bahwa itu sirik, sehingga tiada seorangpun menegadah, semua tunduk terpaku sebelum silaki-laki itu belum meninggalkan tempat. Oleh karena malunya, maka setibanya dirumah ia selalu berteriak :saying sekali tiada seorangpun yang menegadah, kalau ada akan ku tikam mati.oleh karena menahan malu, maka diperintahkan istrinya untuk menumbuk lada sebanyak-banyaknya kemudian dipulaskan ke jalan kentutnya sebagai ganjaran dan ia lalu meninggl dunia.
Contoh kedua, seorang wanita dipegang bajunya(baju bodoh) yang sementara melekat
di badannya oleh seorang laki-laki yang bukan muhrimnya.
Contoh ketiga, apabila terjadi pertengkaran ringan tetapi seseorang diantaranya
meludah(mammiccu kepeang) dihadapan lawan tengkarkan termasuk pula persoalan sirik.

Pendapat, perasaan sirik dipakasirik tidak akan lenyap di dalam perasaan seseorang yang didalam tubuhnya mengalir darah ugi-mengkasara’(Bugis Makassar, team) sampe akhir zaman.
Usul. Kiranya sirik ripakasirik dibagi untuk diberi tingkatan menurut macam dan
kejadiannya.
Pendirian, sirik ripakasirik harus dijunjung tinggi. Menurut alasan basyah, sirik dapat
digolongkan atas tiga pengertian, yaitu:

1. Sirik itu sama artinya dengan malu, isin(jw), shame(inggris).

2. Sirik merupakan daya pendorong untuk melenyapkan (membunuh), mengasingkan, mengusir dan sebagainya terhadap barang siapa yang menyinggung perasaan mereka. Hal ini merupakan kewajiban dulu (adat), kewajiban yang mempunyai sanksi adat, yaitu hukuman menurut norma-norma adat, jika itu dilaksanakan.

3. Sirik itu sebagai daya pendorong bervariasi kearah sumber pembangkitan tenaga
untuk membanting tulang bekerja mati-matian untuk suatu pekerjaan atau usaha.
Dari hasil penelitian lapang dengan membandingkannya dengan hasil-hasil penelitian
kepustakaan, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Sirik yang merupakan suatu bagian integral dari pada adat istiadat (termasuk hukum adat) di Sulawesi Selatan tidak dapat dilepaskan dengan sistem nilai yang terdapat dalam masyarakat.

2. Sirik mengandung segi yang positif disamping segi-seginya negatif. Segi-segi yang negative adalah akibat atau ekses yang bersumber dari sirik tersebut terutama jika dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dewasa ini, seperti misalnya: kitab undang-undang hukum pidana dan undang-undang perkawinan.

3. Sirik yang ada hubungannya stratifikasi masyarakat berdasarkan darah kebangsawanan yang sekarang tidak terlalu dirasakan lagi. Menyebabkan beberapa sanksi-sanksi adat tertentu sudah tidak merupakan hal yang hidup dalam masyarakat. Demikian pula sanksi-sanksi yang bertentangan dengan sila peri kemanusiaan dari pancasila.

4. Sirik yang bermotof kesusilaan masih merupakan hal yang sangat peka, sehingga perlu menjadi bahan pertambangan dalam suatu putusan pengadilan atau para fungsionaris lainnya dalam menetapkan kebijaksanaannya.

5. Pendidikan, komunikasi yang baik dan beraturan serta cara-cara yang dapat merubah sistem nilai dalam masyarakat merupakan suatu proses yang diperlukan menuju kearah pengurangan ekses negatif dalam sirik tersebut.
                    
SYAIR YANG MELAHIRKAN EKSES SIRIK DAN PACCE                 Dikalangan orang-orang Bugis Makassar dikenal pula syair-syair menyatakan sesuatu dengan perasaan . syair dapat melahirkan ekses sirik dan pacce. Syair-syair yang erat kaitannya dengan sirik, antara lain berbunyi sebagai berikut:

TAKUNJUNGA BANGUNG TURU
NAKUGUNCIRI GULINGKU
KUALEANNA
TALLANGA NATOALIA

Artinya:
Semula kuperturutkan arus mengalir
Kemudi kutancapkan
Dan kupilihlah
Lebih baik tenggelam dari pada surut kembali tanpa hasil.

KUSORONA BISEANGKU
KUCAMPANA SOMBALAKKU
TAMMAMMELAKKA
PUNNA TEAI LABUANG

Artinya:
Kudayung sampanku laju
Kukembangkan layar
Pantang berbelok kearah lain
Kecuali arah pantai berlabu

Syair tersebut diatas melambang orang-orang Bugis Makassar yang pantang menyerah menghadapi tantangan-tantangan betapapun wujudnya,karena masyarakat menyerah menghadapi tantangan dinilai oleh orang Bugis Makasaar sebagai sirik, contoh syair lain :

ANGGANGASSENG TONJA LABBA BOYO
PACCE TANAEBBA LADING
TENNA GARINGKU
NAMALANTANG PA’RISIKU

Artinya :
Daku nikmati tawarnya labu
Pedis tak tergores pisau
Kutak menderita penyakit
Namun betapa pedisnya terasa menusuk jauh dilubuk hati.
Pada umumnya, bila orang Makassar telah bersyair seperti tersebut diatas, lazimnya
disusul dengan rasa pacce (rasa pedih yang mendalam, kerena disinggu kehormatannya).
Logikanya, ia mengandung aspek-aspek sirik dan penyelesaiannya otomatis :
darah..... sebagai tebus ketersingggungan (pacce) tersebut.

Jadi, pacce sebagai aspek yang hakiki dari pada sirik itu, bukan berarti kesetiaan kawanan dalam membelah kehormatan (sirik), melainkan ia mengandung makna : kepedihan yang tiada taranya, karena martabat harkat diri tersinggung.
Ia tersayat-sayat menjangkau jauh kedalam lubuk hati. Itulah hakekat dasar yang
disebut pacce. Sebagai perwujudan lanjut (inti sari) dari pada sirik tersebut.
 SIFAT-SIFAT LANGIT SIRIK

Drs isak ngelyaratan Dosen Fakultas Sastra Hasanuddin telah menyempatkan diri mengkaji masalah sirik tersebut dan membuat sebuah sketsa ringkas, perihal hakekat yang terkandung dalam sifat sirik tersebut.

Ia mengemukakan sebagai berikut: dibentuklah tanah, lalu kedalam onggokan bentukan tanah itu dihenbuslah nafas. Terciptalah manusia pertama adam. Nafas itulah penentu hakekat kemanusiaan adam tanpa nafas itu adam bukanlah manisia, melainkan sekedar tumpukan tanah kering anorganik.

Tanah adalah milik bumi. Nafas adalah milik langit. Karena sifat bumi itulah manusia bisa mati, namun dia juga melampaui sifat-sifat bumi. Dari dalam lubuk sukmanya dia mendengar bisikan nafas langit yang menyanggukkan dia untuk bias mengalami sesuatu kelanjutan dari suasana hidup dewata dibalik bumi.

Nafas dalam kisah ini dapat dianalogikan dengan sirik yang dimuat dalam kebudayaan tradisional di Sulawesi Selatan. Tanpa sirik bukanlah manusia. Sirik adalah penentu hakekat diri seseorang sebagai manusia. Kehilangan sirik samalah kehilangan dignitas, ketiadaan atma, kehabisan sumanga’ ketiadaan sifat-sifat langit.

Kelebihan manusia-manusia utama yang disebut para tomanurung di Sulawesi selatan terletak justru karena keutamaan-keutamaan atau keadihan yang dimiliki dan dicontohkannya dalam hidup. Mereka membela anggota masyarakat, kesatria, bersih hati, jujur, berbelas kasihan, bertanggung jawab, contoh terdepan kebaikan dan kebenaran. Segenap kehormatan masyarakat dipundakkan di bahunya.

Seorang tumanurung menjadi petaruh sirik segenap pengenut dan pengikutnya. Dia mau mengorbankan apa saja demi tegaknya sirik warganya.dan para warga rela memberi apa saja demi san hero yang melambangkan sirik bersama.

Sebagian besar, dapatlah dilihat kebersamaan sirik itu di luwu yang disebut massed sirik. Luwu merupakan asal dan gudang budaya sub kultur di Sulawesi Selatan. Luwu merupakan pula buminya sawerigading dan budaya galigo. Atribut langit yang dipunyai tumanurung menjadi persyaratan yang harus dimiliki oleh sang raja serta warga kerajaan. Kita dapat belajar dari sejarah bahwa kerajaan luwu tempo dulu telah menjadi sumber kekuatan yang telah melambangkan budaya galigo. Yaitu massedi sirik. Budaya ini terasa pengaruhnya secara peta bumi dihampir seluruh Sulawesi selatan dan secara geopolitik meluaskan pengaruhnya jauh melebihi batas-batas kerajaannya.

Sirik inilah yang menjadi anutan utama, nilai suprema yang bersifat sentral. Dialah yang mengikat raja, mengikat warga, menjiwai mekanisme politik, kekuasaan dan perilaku segenap warga, utamanya sang raja.sirik melahirkan rasa keterikatan geneologis, juga kesatuan dalam ikatan sosiokultural dan politik. Dia menjadi dasar pikiran dasar moral serta kenyakinan religis warga kerajan. Kesatuan atau kebersamaan sirik bukan sekedar suatu konsep hampa, melainkan diisi oleh contoh hidup sang raja bersama para pemimpin dan warga yang dipimpinnya. Kekuasaan bukanlah tujuan utama melainkan hanyalah alat untuk menegakkan dan memperteguh sirik dalam kehidupan masyarakat. Kesatuan dan keesksistensian antara warga ditandai oleh sifat-sifat langit yang dipraktekkan oleh raja dan rakyatnya.

Kejujuran, sifat berani dan terbuka untuk menyatakan yang benar, menjunjung tinggi kebersihan pikiran dan tingkah laku tetap pendirian, mengutamakan kepentinganmu dan percaya diri antara lain mengutamakan amalan yang membuktikan adanya sirik itu.
Rakyat mencintai sang raja yang penuh dengan sifat yang sirik dan amal sirik. Mereka
menghormati namun dalam kontes budaya yang luhur bahwa bukan ansich yang bertulang   dan berdaging itu dipuja dan diabdi. Yang dipujanya adalah sirik yang diusung dan di pikulnya adalah sirik dan sumanganya sendiri, yang ditaati adalah sifat-sifat langit yang begiti nyata dalam sikap hidup rajanya. Dan mereka akan menegur raja dengan segera, bila cenderung bila tidak mempedulikan massed siriknya.
Bahkan raja diturunkan dari kerajaan bila sudah tak mampu memikul dan member
contoh hidup yang diwajibkan sirik.

Rajalah yang bangun pagi pertama, tidur malam yang paling terakhir,setelah berdoa dan menyerahksn seluruh kerajaan dan rakyat pada sang khalik, Mahadewata. Rajalah yang paling depan membela Sirik rakyatnya dan tak di biarkan sehelai rambut pun bagi rakyat yang di cintainya di cabut oleh kekuatan apapun yang bertentangang dengan Sirik. Tidaklah heran bila rakyat mengganggu rajanya sebagai angin, banjir, ataupun jarum. Angin, banjir, dan jarum melambangkan Sirik bersama. Kemana Sirik itu, begitulah ... kesan mereka. Raja bukanlah angin, bukanlah banjir dan jarum yang harus di ikut-ikuti, bila dia sudah kehilangan Sumanga’ Sirik dalam sukma dan tingkah laku lahirnya.

Sifat-sifat langit yang Nampak dalam makna budaya ini menyebabkan masseddi Sirik tidaklah sama dengan demokrasi dan monarchi di Barat. Demokrassi dan Monarchi barat yang berderivasi dari budaya imperiumromanus cenderung untuk menstabilkan kekuasaan yang hendak menjamin hak demos serta hak sang monark. Oleh karena itu tidak sering bonum commune di nomor duakan, lalu power atau kekuasaan menempati politik posisi paling atas. Corak politik adalah politik kekuasaan, dan bukanlah politik yang secara Sirik harus menjamin ruang gerak luas bagi nafas langit.

Justru Masseddi Sirik menomor-satukan dignitas dan ,artabat luhur manusia, dan kekuasaan harus tunduk padanya. Kekuasaan sewaktu-waktu bias di cabut, namun Sirik mustahil, karena dialah hakekat yang menyebabkan seseorang itu manusia dan bukan sesuatu yang lain.

Bagi penganut budaya Galigo, yaitu Sirik apapun bias di korbankan dan di berikan, kecuali Sirik itu sendiri. Bahkan ia rela mati demi tetap memiliki nafas langit ini di balik maut. Dia bia kehilangan harta dan kedudukan, kehilangan kuasa, bahkan kehilangan kesempatan hidup di bumi sekalipun , asal dia tetap memperoleh sumanga’, atma dan sirik yang di pertahankannya. Dia yakin bakal memiliki ruang dan keempatan mahaluas untuk turut menapasi nafas langit di balik bumi tanah ini.

Kita beruntung masih menganut paham Sirik. Namun kadarnya entahlah. Kitapun bahagia bahwa Agama dan Pancasila justru memperkuat kebenaran nilai budaya Galigo tersebut.
                                                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar