Minggu, 07 Oktober 2012

Puisi I LA GALIGO

PUISI  I LA GALIGO
Termasuk karya Sastra Dunia Yang Paling Besar
Dalam tahun 1939, R.A.Kern manertbitkan bukunya yang berjudul CATALOGUS
van de BOEGINEESCHE, tot den I La Galigo-cyclus behorende handschriftender
Leidsche Universiteitbibliotheek alsmede van die in andere Europeesche bibliotheken.
Tebal buku ini meliputi 1.088 halaman, ukurannya 17 X 25cm.

Dalam kata pendahuluannyaolehR.A.Kern dinyatakan bahwa apa yang telah dikumpulkanDr.B.F.Matthes mengenai puisi I La Galigo barulah meliputi jumlah 2.848 muka folio. Biarpun demikian, perhitungan itu hampir tidak mencukupi 1/3 dari keseluruhan buah tangan itu. Jika ditambahkan dengan yang lain dikenal, termasuk kumpulan-kumpulan yang baru dan diperhitungkan satu dan lain dalam ukuran yang sama, maka orang akan memperolehsuatu jumlah yang secara kasar dapat diperkirakan sekurang-kurangnya 7.000 folio kurang dari perkiraan Matthes, oleh karena hal itu diberikan dengan suatu pembatasan pengertian. Bagaimanapun juga, tidak diragukan lagi bahwa I La Galigo termasuk puisi yang paling besar dalam kesusasteraan dunia(Hoe ditzij, het lijdt geen rwijfel dat de I La galigo tot de omvangrijkste gedichten der wereld literatur behoort).

PendapatR.A.Kern ini diperkuat pula oleh Ds.H.van den Brink dalam bukunya yang berjudul “Dr.Benyamin Frederik Matthes, zijn leven en arbeid in dienst van het Nederlandsch Bijbelgenoot schap”.

Buku mengenai riwayat hidup dan pekerjaanDr.B.F.Matthes ini diterbitkan di Amsterdam dala tahun 1943. Dalam buku itu, (dihalaman 79) ada diterangkan mengenai puisi I La Galigo sebagai berikut:

“Wat Dr.Matthes ten slotte ver zameldheeft,was reeds bij elkaar 2.848 bladzijden folio !. Als mendaarbijtelt wat daarna nog verzameld is (o.a.door prof.Dr.c.c.Jonker), dan komt men toteen omvang van minstens 7.000 bladzijden folio. Maar dan lijdt het ook geen twijfel dat, zooals de Heer R.A.Kern in zijn uitgave van de La Galigo zegt, dit gedicht tot de omvangrijkste der wereldliteratuur behoort”.

Bahwa apa yang akhirnya telah dikumpulkan oleh Dr. Matthes telah berjumlah 2.848 muka folio. Kalau ditambahkan dengan apa yang telah dikumpulkan kemudian (antaranya oleh Prof.Dr.J.C.C.Jonker), maka orang akan mencapai paling sedikit 7.000 muka folio. Olehnya tidak diragukan lagi sebagaimana yang dikatakan oleh tuan R.A.Kern dalam bukunya tentang La Galigo, bahwa puisi ini terhitung yang paling besar dalam kesusteraan dunia.

Selanjutnya dapat diberikan bahwa dalam tahun 1954 oleh R.A.Kern diterbitkan pula buku yang sama judulnya dengan buku yang tersebut pertama, tetapi isinya mengenai naskah- naskah yang terdapat di Yayasan Matthes (Mathes tiching) di Makassar.

Buku ini berjudul “CATALOGUS van de Boeginese, tot de I La Galigo cyclus behorende handschariften van Jajasan Matthes (matthes stiching) te Makassar (Indonesia). Tebal bukunya 268 halaman, ukuran 16 X 24cm.
Apabila pendapat R.A.Kern bahwa puisi I La Galigo termasuk kesusasteraan dunia yang
besar dapat diterima, maka dapatlah dikemukakan disini bahwa ini terdapat tiga pundak kesusasteraan dunia lama, yaitu:
1. Homerus di Yunani dengan karyanya yang berjudul “Odysee(Odysey) dan Ilias (Ilied).
2. Vyasa di India dengan karyanya Mahabrata, dan
3. La Galigo di Indonesia dengan karyanya yang berjudul I La Galigo.
Homerus, pujangga lama Yunani, adalah penulis dua buah ciptaan berupa epic-
raksasa yaitu Ilias dan Odysee.
Amat besar kemungkinan bahwa Homerus hanya merupakan tenaga penyusus
daripada karangan-karangan tersebut karena sebelum zamannya, kedua cerita itu sudah menjadi kisah-kisah yang dilisankan oleh para penyanyi, sebagaimana halnya cerita Sinrilik bagi daerah Sulawesi Selatan. Penyanyi yang menyampaikan cerita-cerita diluar kepala itu disebut rhapsodi. Dan para rhapsodi ini banyak jasanya bagi perkembangan epos-rakyat. Tetapi namun demikian, bangsa Yunanimengakui bahwa Homerus-lah yang diberi hak sebagai pencipta kedua epikitu.
Dari kedua buah karangan itu tadi, maka Ilias lah yang tertuadan memiliki keaslian.
Sebahagian besar dari karangan itu menceritakan tentang pengepungan Troya dan
kemarahan daripada Akhilles.
Mahabrata, merupakan buku kecil Hindu, salah satu dari dua epic besar dan India
Purba ( yang lainnya : Ramayana).

Mahabrata ( perjuangan besar) adalah epic terpanjang dunia delapan kali lebih panjang dari gabungan karangan Homeru Ilias dan Odyssee. Pengarangnya ialah vyasa. Cerita utamanya berkisar pada pertarungan antara golongan Kaurawa, yang merupakan personifikasi dari yang buruk, dengan golongan pandawa, yang memiliki yang baik. Terdapat 100.000 kuplet (bait).
Diantara bagian-bagian dari Mahabrata terdapat cerita-cerita Nala dan Damayanti,
Savitri dan Bhagavadgita (lagu Ketuhanan).

Sebagaimana tadi telah diterangkan bahwa disamping Mahabrata, India punya cerita epik besar lainnya yang bernama Ramayana yang dikarang olehValmiki. Ramayana dianggap lebih tua dari Mahabrata, tetapi isinya lebih pendek, hanya terdiri dari 24.000 kuplet.
La Galigo adalah putera Sawerigading dari isterinya yang bernama We Cudai,
Sedangkan Sawerigading sendiri ialah keturunan raja yang berkuasa di Luwu(palopo).
La Galigo tidak diberikan kekuasaan oleh Dewata untuk memerintah, tetapi
dianugerahi suatu kepandaian yang luar biasa yaitu kepandaian menciptakan suatu rangkaian
besar puisi yang diberi nama I La Galigo.

Puisi I La Galigo memuat peraturan-peraturan dan upacara-upacara yang merupakan pokok adat dengan segala cabang-cabangnya dan ranting-rantingnya yang harus berlaku dibawah kekuasaan turunan-turunan Baginda Sawerigading.

TIGA UJUNG BEKAL ORANG BUGIS-MAKASSAR

Daerah,kebudayaan tradisional,atau unsur-unsur kebudayan warisan nenek moyang. Memang untuk sementara para cendikiawan,para ahli sains dan teknologi dan para seniman masih sibuk dengan perjuangan hidup yang sulit di Negara berkembang,dan belum mampu menjalin hidup seluruh warganya itu,sehingga mereka belum sempat menghasilkan karya-karya agung. Hal ini mungkin dapat berubah dalam waktu tiga-empat dasarwarsa lagi, apabila Negara Indonesia sudah menjadi lebih makmur, dan kalau perangsang-perangsang yang mendorong putere-putera Indonesia untuk bekerja, menghasilkan karya-karya agung yang dapat menimbulkan kebanggaan bagi seluruh bangsa.

Tabel itu juga menunjukkan bahwa tidak semua unsur bagian dari kebudayaan Nasional Indonesia termasuk unsur-unsur yang harus dikembangkan dengan biaya dan anggaran Departemen dan Kebudayaan untuk membangun kebudayaan karena menurut penjelasan Menteri Fuad Hasan pada seminar budaya tersebut, biaya dan anggaran itu memang tidak ada.

Kita memang melihat tidak ada unsur-unsur yang dapat dikembangkan dengan pembiayaan yang dapat diambil dari luar anggaran untuk pembangunan budaya tadi, misalnya dari anggaran untuk pendidikan bahasa, anggaran untuk pengembangan seni film dari Departemen Penerangan , anggaran untuk pengembangan hukum Nasional dari Departemen Kehakiman, anggaran untuk pengembangan sistem pengelolaan gaya Indonesia yang khas yang harus berbeda dengan gaya manajemen dalam perusahaan-perusahaan di Eropa atau Amerika, yang dijiwai oleh sikap lugas dan berazas guna. Penelitian, pengembangan dan pendidikan suatu gaya manajemen yang khas Indonesia, yang lebih banyak ijiwai oleh hubungan pribadi, dapat dibiayai oleh swasta dan sebagainya.

Walaupun demikian, upaya pengembangan kebudayaan Nasional indonesia tidak hanya menyangkut pengembangan dari unsur-unsur bagiannya saja, tetapi juga dari watak umumnya, ideologinya, etiknya, dan sistem nilai budayanya.
Baca : (Koentjaraningrat, guru besar antropologi pada Fakultas Sastra U.I Jakarta Kompas).

SIRIK DAN PESSE DIUNGKAPKAN
DARI MATERI LONTARAK “LATOA”

Prof.DR.Mttulada ( Rektor universitas Tadulako) dan ahli Budaya,menguraikan perihal SIRIK dan PESSE (PACCE) dengan mendasarkan pada Lontarak LATOA. Sebagaimana study ,atar belakang pengertian SIRIK dan PACCE, maka pemyusunan buku ini menyajikan sebahagian dari tulisan Prof.DR.Mattulada yang berjudul :LATOA, SUMSER INFORMASI BUDAYA DI SULSEL.
Latoa adalah nama salah satu enis Lontara dalam kepustakaan berbahasa Bugis di
Sulawesi Selatan.

Penulisan atau pencatatan Latoa sebagai Lontara, diduga berlangsung pada zaman Raja Bobe (Arumpone) ke-7 yang bernama La Tenrirawe Bongkannge (1560-1578) bertakhta di Tana Bone. Baginda mempunyai seorang cendekia penasehat, bernama La Tenrirawe Bongkange (1560-1578) bertahta di Tana Bone. Baginda mempunyai seorang cendikia penasehat, bernama La Mellong adalah seorang anak Matoa di sebuah desa yang bernama Laliddo(ng), dalam wanua (negeri) Cina, di tana Bone. La Mellong inilah pada masa tuanya terkenal dengan sebutan Kajaolaliddo, yang berarti orang bijaksana dari Laliddo, atau orang tua (berasal) dari Laliddo.

Menurut anggapan umum dikalangan orang Bugis(terutama didaerah Bone) Latoa berisi pembicaraan antara Kajao Laliddo dengan Arumpone. Anggapan umum itu tidaklah seluruhnya benar, karena itu pula tidaklah seluruhnya salah. Menurut batasan yang lebih terurai,dapat dikatakan bahwa Latoa adalah lontara dalam kepustakaan orang Bugis,berisi kumpulan ucapan-ucapan atau petuah-petuah dari Raja-raja dan orang-orang bijaksana orang Bugis-Makassar dari zaman dahulu (termaksud zaman Kajao-Laliddo), mengenai bebagai masalah, terutama yang berkenan dengan kewajiban-kewajiban raja terhadap rakyat dan tuntutan bagi peguasa terutama dalam menjalankan pemerintah dan melaksanakan peradilan.
Menurut Metthes, Latoa pada orang bugis, dapat dipersamakan dengan Rapang pada
orang Makassar,seperti yang termuat dalam NCHr, pada halaman 456s/d 460 dan halaman.
GARIS BESAR ISI LATOA

Latoa, sebagai salah satu diantara sekian banyak (Lontara) atau manuscrip orang Bugis-Makassar,memiliki arti khusus, karena kepeminpinan masyarakat dan kekuasaan. Latoa telah berperan sebagai pedoman bagi raja dalam memerintah, dan telah menjadi penuntun bagi Rakyat untuk menentukan sikap terhadap sesuatu kekuasaan yang hendak diikuti atau tak sudi ditaatinya.

Sebagai Rapang (pedoman,tuntutan atau guidlines) Latoa mengandung kalimat- kalimat hikma; pikiran-pikiran,petunjuk-petunjuk, malahan dokrin-dokrin dari Raja-Raja dan orang-orang Bugis-Makassar dan lain-lain,pada masa lalu, kira-kira meliputi abad ke-14 sampai abad ke-17.

Azas-azas dasar Negara dan masyarakat, seperti dilukiskan dalam Latoa, tersimpul dalam apa yang dinamakan Pangngadereng, sebagai ujud kebudayaan yang mempunyai lima aspek yaitu : (1) ade’ ;(customs), (2) bicara (peradilan); (3) rapang (kaidah yang telah terjadi), (4) Wari’ (tata tertib keturunan, kekeluargaan dan lain-lain); (5) Sara’ (syariat Islam).
Aspek ke-5 ini diadaptasi kedalam Pangngadereng, setelah Islam diterima sebagai
agama yang umum dianut oleh rakyat sebagai aspek kelima dari Pangngadereng.

Pangngadereng dengan 5 aspeknya itu, memperoleh kekuatan gerak dan dorongan dari apa yang disebut sirik. Konsepsi Sirik seperti dinyatakan dalam Pangngadereng (Ujud Kebudayaan) dapat ditanggapi sebagai ethos budaya yang menjadi sumber motifasi yang amat kuat dalam menetapkan pola-pola perilaku dan mewarnai keputusan-keputusan tindakan atau perbuatan orang Bugis-Makassar, menghadapi hamper segenap masalah dalam kehidupannya.

Melalui Latoa dalam pengkajian daripadanya dapat direkonstruksi beberapa kerajaan utama Bugis-Makassar dan kerajaan sekeluarga lainnya pada masa lampau, seperti Bone, Gowa, Wajo, Soppeng dan lain-lain, yang telah dibangun Berdasar lima aspek Pangngadereng. Rekonstruksi itu dapat juga meliputi berbagai pranata dan lembaga kekuasaan, yang rupa-rupanya masih memainkn peranan dalam kehidupan orang Bugis- Makassar sampai pada zaman mutakhir, walaupun sudah semakin samar. Pengaruh itu terutama meliputi bentuk-bentuk sikap hidup, seperti : (1) sikap spontanitas yang tinggi; (2) struktur dari stratifikasi apriori; (4) sikap kekeluargaan yang keras.

Latoa dan Lontara Bugis-Makassar lainnya, juga dapat menjadi sumber sejarah mengenai keadaan sekitar abad ke-14 dan sesudahnya sampai abad ke-17. Sejak permulaan abad ke-16, kerajaan-kerajaan orang Bugis-Makassar, lambat-laun kefilangan kemerdekaan dan kedaulatannya. Mereka mulai hidup perang-memerangi antara satu sama lainnya, sampai pada kedatangan dan penaklukan total oleh Belanda pada tahun 1906.

Dalam waktu tidak kurang dari 3 abad lamanya orang Bugis-Makassar berada dalam keadaan tidak aman, kacau tak berkesudahan, dan terisolasi dan perkembanganyang terjadi dibahagian lain dari kepulauan Nusantara. Keadaan tidak stabil itu, berkepanjangan sampai pada Proklamasi Kemerdekaan Ri 17 Agustus 1945, dan kira-kira sepuluh tahun lebih sesudahnya. Dalam keadaan goncangan yang tak berkesudahan itu, maka dapatlah juga ditemukan dalam Latoa adanya pedoman-pedoman yang member arah bagi seseorang untuk menentukan sikap yang berkelanjutan dengan akibat dalam perilaku bahagian terbesar orang Bugis-Makassar, sampai pada hari ini, yang (1) Bercuruga kepada barang sesuatu yang baru yang mendatanginya; (2) Bersikap apriori terhadap barang sesuatu yang berlawanan dengan perasaan keadilannya; (3) Cepat mengambil keputusan atau tindakan terhadap barang sesuatu yang menyangkut martabat atau harga diri (Siri’) pribadi atau kaumnya.

Apabila didalami tentang makna etik yang terkandung dalam Latoa, maka untuk masa kinipun Latoa agaknya dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam mendekati dan menuntun orang Bugis-Makassar, menghadapi pembangunan dan ketahanan Integritas Nasional Bangsa Indonesia.
Penutup dan Kesimpulan

Semua tokoh yang tercamtum buah pikirannya dalam Lontara Latoa, adalah tokoh- tokoh sekitar abad ke_15 dan 16. Pada zaman itu, adalah zaman tergenting yang dihadapi oleh masyarakat Sulawesi selatan. Genting karena timbulnya peperangan yang berkecamuk antara kerajaan-kerajaan dalam wilayah sendiri di Sulawesi Selatan. Bertambah genting lagi karena harus menghadapi arus kekuatan Kolonial (Belanda, Inggris dan Portugis) dari dunia Barat. Dan pada zaman itu pula, berlangsung kontak dengan dunia Islam yang sudah mulai berakar dibahagian Barat Nusantara dan Pulau Jawa. Sulawesi selatan pada zaman itu mengalami masa peralihan yang amat dahsyat, yang sampai kini memberikan warnanya, dalam kehidupan sosial-budaya orang Bugis-Makassar.

Kapan isi kandungan Latoa dituangkan kedalam Lontara dan siapa yang mula-mula menulisnya, belum dapat diketahui dengan pasti. Akan tetapi idea-idea yang terkandung dalam Latoa, seperti disebut pada bahagian depan, mengungkapkan buah-pikiran raja-raja dan orang-orang bijaksana sebelumKajao Laliddo, dengan sesudah datangnya islam, dapat dijadikan pegangan sementara, bahwa penulisnya itu kedalam Lontara, mungkin sudah dilakukan berulang kali, sampai pada bentuk dan isinya yang mutakhir. Friedericy memPERKIRAKAN TENTANG USIA Latoa sebagai Lontara, yaitu tidak kurang dari tiga abad, adalah anggapan yang beralasan kuat.

Apabila kita coba menyimpulkan isi kandungan Latoa dan yang menjadi pola piker orang Bugis-Makassar dalam hidup kemasyarakatan dan kebudayaannya, maka ia dapat dikategorikan kedalam tiga pola umum, yaitu :

1) Manusia itu (tau), apapun dan bagaimanapun tingkat atau derajat sosialnya, ia adalah makhluk yang sama (derajat) dengan manusia lainnya sebagai makhluk Allah.
2) Manusia itu (tau) dalam tujuan hidupnya berhasrat untuk selalu berbuat
kebajikan.
3)Manusia itu (tau), dalam membangun nilai-nilai dan pranata-pranata sosial dan
kebudayaannya, selalu berusaha mencapai keselarasan antara kepentingan
kolektif dengan kepentingan individunya.

Ketiga pola sikap umum tersebut yang mendasari alam pikiran yang dituangkan kedalam Latoa ini, memberikan bentuk perwujudan nilai-nilai dan kaidah-kaidah sosial- budaya, yang disebut Pangngadereng. Ini menjadi ukuran nilai (waarde-oordeel) bagi tingkah laku sosial-budaya.

Apabila kita memperhatikan buah pikiran dalam Latoa sebagai himpunan pedoman tentang nilai-nilai dan kaidah-kaidah normatif yang ideal bagi orang Bugis-Makassar pada samannya, maka kita akan jumpai bahwa pola piker itu, telah memberikan tempat terhormat kepada manusia (tau), sebagai makhluk yang bermartabat, sederajat dengan sesama manusia, apapun kedudukan sosial dan asal keturunannya. Pola sikap yang demikian itulah yang dipergunakan oleh orang Bugis-Makassar menyongsong kedatangan Islam dan menghadapi orang barat yang dipandang memiliki pola pandangan hidup yang amat berlainan dengan orang Bugis-Makassar. Persentuhan dua pola piker yang berbeda itu, yang satu (Barat) didorong oleh kehendak untuk mengusai dan yang lain (Bugis-Makassar) didorong oleh keinginan berbuat kebajikan kepada semua orang. Berdasar prinsip persamaan. Akhirnya pola piker yang mengandalkan kehendak praktis untuk menguasai (Barat yang berpegang pada pandangan superioritas orang kulit putih), mengalahkan pola-pikir (Bugis-Makassar) yang berkehendak berbuat kebajikan, dengan prinsip persamaan yang dijunjung tinggi dalam pangngadereng.

Penaklukan atau fitrah berbuat kebajikan itulah yang menyebabkan timbulnya ekses- ekses yang jauh dalam sikap hidup menghadapi lingkungannya. Ia menjadi liar, menjadi sangat curiga kepada barang sesuatu yang baru, menjadi explosive, seolah-seolah lahir dari emosi yang tidak terkendali. Keadaan jiwa yang demikian itulah diwarisi orang Bugis- Makassar, yang rupa-ruoanya masih berbuntut sampai pada masa kini bekas-bekasnya.

Sekilas lalu dapat kelihatan bahwa seluruh kegiatan orang Bugis-Makassar dalam hidup politik dan kemasyarakatannya sebagaimana nyata dalam Latoa, pada hakekatnya didasarkan pada ajaran moral atau kesusilaan yang memudahkan Agama Islam memberikan sumbangan yang positif terhadap bangunan Pangngadereng. Tetapi disamping itu,pola pikir Barat yang menguasai dunia Barat, ketika mula mengadakan perlawatan kekawasan Nusantara ini, juga menyumangkan pengaruhnya yang tidak sedikit. Pengaruh itu di Sulawesi Selatan memberikan ujud dalam bentuk visual dari kelembagaan Raja-Raja, yang rupa- rupanya berkecederungan mencomohi bentuk-bentuk luar dari kelembagaan Raja-Raja Barat, yang mengalami sistem feudal sebagai model pengendalian kekuasaan. Kecenderungan mencontohi model-model kekuasaan feodalistik muncul dengan pesatnya, setelah sebahagian besar wilayah Nusantara dikuasai langsung oleh Belanda. Tana Ugi;, dan Buui Mangkasara, mengalami kepungan-kepungan yang mematihkan.

Akan tetapi, bentuk dalam (isi), yamg menjadi semangat hidup yang tertanam dalam kalbu rakyat, tetapi menjadi dasar pola piker yang tegak diatas keluhuran martabat manusia yaitu Sirik, dan fitrahnya untuk berbuat kebajikan terhadap sesame manusia. Pola piker ini, karena sifat esensialnya adalah fitrawi bagi sekalian umat manusia, maka ia telah ada juga pada orang Bugis-Makassar. Islam-lah yang dating kemudian lebih mempertegas mengenai hakekat dan perwujudannya, yaitu beberapa buah Hadist yang telah diadaptasikan kedalam suasana kehidupan masyarakat Bugis-Makassar.

Ajaran-ajaran tentang moral, yang menjadi sendi dari sistem Pangngadereng, terppantul pada aspek-aspek yang empat macamnya, yaitu : Ade’, Bicara, Rappang dan Wari;. Setelah masuknya agama Islam ditambah pula aspek sara’. Dasar-dasar ajaran moral dapat disimpulkanpada adanya tuntutan untuk menyadari dengan sungguh-sngguh, tentang apa yang disebut kebajikan dan Keculasan. Adapun yang paling lekat pada hakekatnya manusia sebagai tau, ialah hasrat atau keinginan ber5buat keajikan.adapun gejala-gejala kejahatan yang selalu dating menggoda, itulah yang menjaditantangan setiap saat agar tetap waspada, mengintai diri dengan kesadarannya yang setinggi-tingginya. Dapat dikatakan bahwa ketaatan kepada Ade’ (pemerintah), bagi orang Bugis-Makassar, tidak lain kaerna adanya keyakinan yang mendalaman pada mereka bahwza Ade’ (pemerintah) adanya keyakinan yang mendalam pada mereka atau mengayomi Siri’ mereka, dalam arti essensi kebajikan dan martabat manusia.
Dasar inilah yang telah membawa kekuatan pada pola piker dalam Pangngadereng,
sehingga menjadi identitas yang padu dalam perilaku kehidupan orang Bugis-Makassar.

Apa yang disebut Tau(Manusi), pada dasarnya ialah manusia yang mengetahui dan menghayati Pangngadereng itu ditatai, karena ialah yang memilihara martabat atau harga diri sseorang sebagai Tau Masirik dan Dasirik. Untuk Sirik itulah orang Bugis-Makassar pada waktu yang lalu, bersedia hidup, rela berkorban dan ikhlas menerima kematian.

Bilamana kita menelaah kembali Pangngadereng sebagai wujud kebudayaan (pada masa lampau), dan menghubungkannya dengan pengalaman sejarah yang pahit yang dilalui oleh orang Bugis-Makassar, maka kiranya akan menjadi lebih jelas lagi, makna dan peranan Sirik, yang melatar belakangi watak dan sikap orang Bugis-Makassar, dalam rangka usaha menempatkan dan mempertahankan apa yang dapat dipertahankannya dari kepingan- kepingan Pangngdereng yang masih tersisi, sebagai alat pengukuh integritas dalam kehidupan sosial budaya. Masalah Sirik ketika Pangngadereng masih merupakan satu keutuhan yangn fungsional, dengan aspek-aspeknya sebagai sumber kaidah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan, maka Siriklah yang menjadi tolak ukur bagi perkembangan kehidupan.

Sesunguhnya secara esensial dalam kalbu orang Bugis-Makassar maka kinipun, sirik menjadi dambaannya yang amat hakiki. Untuk dipelihara dan dijaga, sehingga setiap sikap yang mendasarkan diri kepada sirik itu, niscaya akan sesuai dengan Pangngadereng dalam segenap aspeknya. Karena kedudukan Sirik yang demikian itu, maka tak dapat tiada Sirik itu menjadi hakekat dari kenginan manusia. Sirik demikian adalah harga diri, martabat kemanusiaan. Martabat dan Harga diri, tidak mungkin lain sumbernyadaripada susila, kenginan berbuat kebajikan dan itulah sesungguhnya fitrah manusia, secara universal.

Masalah penyaluran idea-idea baru kedalam kumpulan idea-idea yang sudah mendarah daging dalam kebudayaan tertentu, hanya mungkin dapat terlaksana secara wajar, apabila ia dibangun atas saling pengertian akan kepentingan itu sendiri terasa ada manfaatnya.

Adapun garis besar sikap umum orang Bugis-Makassar yang bersumber dari Latoa, yang rupa-rupanya masih dijadikan tolak ukur dalam menghadapi segenap perkembangan yang mendatnginya, dapat disimpulkan dalam penutup ini, sebagai berikut :
1)Hidup keagamaan dan moral agama (Islam), pada umumnya sangat tebal.

Apabila terjadi, bahwa pada suatu saat dirasakan kepercayaan mereka dihinakan maka mereka adakan antara essensi keyakinan keagamaan (aqidah) dengan atribut atau ritus keagamaan. Apabila sesuatu atribut keagamaan(kepercayaan) mereka mendapat gangguan maka bagi mereka berarti seluruh sistem itu dihinakan. Mereka lalu nerasa terpanggil oleh Sirik untuk melakukn suatu tindakan, dantindakan itupun terjadilah. Tindakan itu disebutnya Mapatettong Sirik (menegakkan kembali martabat yang hilang.
2)Mereka masihsangat peka terhadap masalah (aturan) kekerabatan.

Memperluasjaringan keke rabatan dikalangan orang Bugis-Makassar memperluas satu jalan untuk mencapai relasi sosial yang luas jaringan- jaringannya. Oleh karena itu, maka jalan terbaik untuk mendekati orang Bugis-Makassar dalam kehidupan sosialnya adalah Melalui perkawinan. Bila diterima dalam perkawinan, berarti diterima dalam jaringan kekerabatan yang melahirkan hubungan Sirik dan Pesse (solidaritas) kaum.

3) Hasrat berbuat kebajikan terhadap sesame manusia mebnjadi bahagian dari fitrah hidup kemanusiaan, sangat ditekankan dalam Latoa. Dalam kehidupan sehari-hari orang Bugis-Makassar, persaan hutang budi, ditanggapi sebagai beban batin dalam hidupnya ia senantiasa merasa diburu oleh kewajiban untuk membayar hutang-budi kepada seseorang yang pernah diterimanya.
Dari sumber inilah hadir kekuatan tolong menolong yan menimbulkan
suasana yang mendalam yang tersimpul dalam konsep Pesse.
Dalam bahasa Makassar : Pacce.

MASALAH SIRI DARI SEGI HUKUM ACARA
PIDANA
C.H. Salam Basyah S.H. dibantu oleh Drs. Sappena Mustaring menulis dalam bukunya
berjudul : SIFAT KEWAJIBAN SUKU BUGIS DAN MAKASSAR, antara lain :
1. Sirik sama artinya dengan malu
2. Sirik merupakan daya pendorong untuk melenyapkan (membunuh, mengasingkan,
menguasai dan sebagainya ) barang siapa menyinggung perasaan mereka ;
3.Sirik sebagai pendorong mempunyai variasi merupakan sumber pembangkit tenaga,
Prof Chabot dalam disertasinya pada tahun 1950 yang disetir oleh Prof. Andi Zainal
Abidin Farid S.H. dalam karangannya dalam majallah L.P.H.N. sebagai berikut :

“Tiap perbuatan untuk melebihi orang lain, baik secara besar atau kecil, baik dengan angan-angan atau dengan sesungguhnya mengakibatkan, bahwa yang menderita perbuatan itu merasa harga dirinya dalam masyarakat terganggu. Tentang orang itu dikatakan, bahwa ia merasa dirinya Sirik dan bahwa ia akan membalas dendamnya dengan jalan melebihi pula lawannya itu”.
Dr. B. F. Matthes menyatakan sebagai arti daripada Sirik ialah :
1. Beschaamd
= malu: kata keadaan
2. Schroomvalling
= takut
3. Verlegen
= malu-malu
4. Schaamte
= malu : kata benda abstrak.
5. Schande
= aib
6. Wanggunst
= dengki
7. Eergevoel
= rasa kehormatan

Saya tidak akan menguraikan satu persatu pengertian tersebut, karena sudah banyak pemrasaran melakukannya. Akan tetapi yang terang ialah, tidak orang yang senang dibikin malu. Dalam sejarah dunia banyak peperangan terjadi, disebabkan karena satu pihak merasa dibikin malu oleh pihak lawannya. Dalam ceritera Minangkabau tentang kisah SABAI NAN ALUIH Datuk Rajo Nan Panjang menentang Datuk Rajo Berbanding untuk berperang tanding, karena malu lamarannya ditolak untuk mempersunting sigadis SABAI menjadi isterinya yang kesekian.

Walaupun sirik itu dapat diartikan dapat malu, akan tetapi malunya itu tidaklah sama drngan verlegen zijn menurut istilah Belanda, atau shame menurut Inggeris yang pengertiannya malah sebaliknya, yaitu menyebabkan seseorang tidak hendak berbuat, karena dianggap tidak sepantasnya untuk berbuat itu.

Malu pada sirik ialah suatu perasaan tersinggung yang ditimbulkan oleh perbuatan orang lain yang menyebabkan orang yang perasaannya tersinggung itu merasa dirinya dijatuhkan....orang yang demikian mempunyai rasa terdorong harus Melakukan sesuatu untuk mengembalikan keseimbangan daripada rasa perasaan tersinggung itu.

Sirik selalu membangkitkan semangat, mendorong orang yamng menderita Sirik itu untuk Melakukan kerja keras, memeras keringat, mendorong suksesnya segala usaha dan sebagainya, demikian C.H. Salam Basyah S.H , orang yang menderita Sirik harus melenyapkan orang yang menimbulkannya. Pepatah adatnya ialah “Sungek naranreng nyawa na kira-kira” yang artinya “Jiwa yangdisapa, nyawa yang dikira-kira”.
Sebab bagi yang menderita Sirik itu leuzenya ialah : lebih baik mati berdarah daripada
mati menderita Sirik (“Lebbi mui mate maddarae na mate, masirikE”).

Menghina orang dimuka umum adalah perbuatan yang menimbulkan Sirik. Orang yang dihina mungkin orang yang terkena sirik itu sendiri, akan tetapi dapat pula atasannya atau seseorang yang akrab dengannya.

Seorang laki-laki orang Bugis-Makassar adalah to masirik dari seorang gadis atau istri orang itu, Demikian menurut Prof. Mr. Dr. R. Soepomo yang disitir oleh C.H. Salam Basyah S.H.. dalam bukunya “sifat kejiwaan Suku Bugis-Makassar”. Jangankan mengganggu atau memperkosa, memasuki sajakamar seorang gadis atau isteri orang adalah perbuatan yang menimbulkan sirik. Yang terkena sirik kecuali saudara dari si gadis atausuami dari si isteri, juga adalah seluruh keluarga, hal mana dapat menimbulkan dendam yang tidak berkesudahan.
Hal yang ketiga ialah kalu orang Bugis-Makassar ditantang untuk berkelahi, ia kan
terkena sirik ia akan melawan sampai tetesan darahnya yang penghabisan.

Hal lain yang dapat menimbulkan sirik ialah, kalau bagian kepala seseorang dipukul atau seseorang Bugis-Makassar merasa dilebihi kwpandaiannya, kalau kepala seseorang kena pukul, maka ia diwajibkan oleh seluruh keluarga untuk membunuh orang yang telah memukulnya itu. Dan kalau ia tidak berana, maka keluarganya akan membunuhnya sendiri. Tentang melebihi kepandaian ialah sebagai mana yang dikatakan oleh Prof. Chabot yang disitir oleh Prof. Andi Zainal Abidin Farid, S.H. diatas.

Kalau kita renungkan sejenak, maka orang yang terkena sirik itu Melakukan perbuatan yang mengandung arti membalas atas perbuatan orang lain yng membuat ia malu. Kalau hanya sekedar membalas itu, didalam sejarah perbuatan membalas dengan yang setimpal dalam dunia hukum sudah lama ditinggalkan orang.

Talio dizaman Betavier, yaitu gelijik om gelijik adalah sudah lama liwat dizaman yang lampau, yang tidak dilakukan lagi sekarang ini, walaupun orang-orang Betavier tetap ada berupa orang-orang Belanda.

Vergeldinngstheorrie dalam ajaran hukum pidana adalah teori klasik yag dikenal hanya berlaku sampai abad ke XVIII dan sesudah itu tidak diikuti lagi. Malah dizaman Ultra modern sekarang ialah banyak Negara yang membuang jauh hukuman mati dengan alasan- alasan yang dapat dibenarkan, pendapat mana dianut oleh kebanyakan guru-guru besar kita di Indonesia, antara lain : Roeslan Saleh, S.H. dalam bukunya Masalah Hukuman Mati, 7 September 1958, hal. 37 yang disitir oleh E. Utrecht S.H. dalam bukunya Hukum pidana II. Alasannya ialah hukuman mati yang telah terlanjur dilaksanakan tidak dapat diperbaiki kembali, kalau kemudian ternyata bahwa terhukum tidak bersalah. Hal ini sehubungan dengan suatu perkara pidana yang saya hadapi sendiri dalam tingkat banding pada Pengadilan Tinggi Ujung Pandang, dimana dalam suatu kasus seseorang mempunyai dua orang ipar, yang mana salah satu diantaranya disetubuhi menyebabkan hanil adiknya terbungsu, lalu dibunuh. Kemudian ternyata yang menyebabkan hamil itu adalah iparnya yang lainnya yang telah melarikan diri dan tidak pernah pulang kembali.

Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Setiap penghukuman haruslah melewati Pengadilan. Membalas sendiri suatu perbuatan yang merugikan peseorangan adalah perbuatan yang disebut menjdi hakim sendiri.hal yang demikian tidak dinarkan oleh Negara kita sebagai Negara Hukum. Dalam peradilan sehari-hari, khususnya didaerah Sulawesi Selatan perbuatan pidana yang ditimbulkan dengan sirik dihukum dengan pertimbangan hal yang meringankan, sesuai dengan adat yang berlaku. Akan tetapi apakah pertambangan yang meringankan itu terdapat diseluruh Nusantara kita masih dipertanyakan. Belum tentu Pengadilan-pengadilan yang terdapat diluar daerah sulawesi selatan selalu mengingat, bahwa Bugis-Makassar mengenal lembaga adat sirik yang harus diperhatikandalam menjalnkan hukuman. Dan saya yakin, bahwa ada bagian-bagian dari Negara kita yang meletakkan kepentingan nyawa diatas segala kepentingan-kepentingan untuk dilindungi. Hal-hal yang demikian dapat menimbulkan tidak adanya kesatun dalam member putusan tentang sirik tersebut. Dan alangkah menciutnya pikiran kita, kalau leerstoel dalam dunia Internasional menyebut, bahwa disalah satu bagian di Indonesia dizaman Ultra modern sekarang yang menimpa diri dengan membunuh orang yang menimbulkan onrecht itu.

Kalau kita pelajari sejenak buku kecil tentang “Fungsi dan perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional” yang diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Pajajaran sebagai uraian dari Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H.L.L.M. pada suatu seminar Hukum Nasional, antara lain mengatakan :

Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum, kebutuhan akan ketertiban ini syarat poko (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Lepas daripaa segala kerinduan akan hal-hal lain yang juga menjadi tujuan dari pada hukum, ketertiban sebagai tujuan utama hukum merupakan suatu fakta objektif yang berlaku bagi segala masyarakat dalam segala bentuknya. Mengingat bahwa kita tidak mungkin gambarkan hidupnya manusia tanpa atau diluar masyarakat. Maka manusia dan hukum merupakan pengertian yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Pemeo Rumawi ibi societies ibi ius menggambarkan keadaan ini diusahakan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat yang teratur, tetapi merupakan syarat mutlak bagi suatu organisasi hidup yang melampaui batas-batas saat sekarang.
Dalam hubungan hukum dengan kekuasaan diuraikan antara lain :
1.Mengingat bahwa hukum itu Memerlukan paksaan bagi penataan ketentuan-

ketentuannya, maka dapat dikatakan bahwa hukum Memerlukan kekuasaan bagi penegaknya. Tanpa kekuasaan hukum itu tak lain akan merupakan kaidah sosial yang berisikan anjuran belaka. Sebaliknya hukum berbeda kaidah sosial lainnya yang juga mengenal bentuk-bentuk paksaa, dalam hal bahwa kekuasaan itu sendiri diatur, baik mengenai cara, maupun ruang gerak atau pelaksanaannya oleh hukum. Kita mengenal Polisi, Kejaksaan dan Pengadilan sebagai pemaksaan atau penegak hukum Negara yang masing-masing ditentukan batas-batas wewenangnya. Hubungan hukum dan kekuasaan dalam msyarakat dengan demikian dapat kita simpulkan sebagai berikut : Hukum Memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya oleh Hukum.
2.Dalam membandingkan nilai-nilai hukum dengan nilai-nilai sosial budaya

lainnyadikatakan bahwa yang baik adalah hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan penerimaan daripada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu. Nilai-nilai itu tidak lepas dari sikap (attitude) dan sifat-sifat dimiliki orang-orang yang menjadi anggota masyarakat yang sedang membangun itu. Tanpa perobahan sikap-sikap dan sifat kearah yang diperlukan oleh suatu kehidupan yang modern, maka segala pembangunan dalam arti benda fisik akan sedikit sekali artinya. Jadi, hakekat daripada masalah pembangunan Nasional adalah masalah pembaharuan cara berpikir yang berobah, maka pengenalan (induction) lembaga-lembaga modern dalam kehidupan tidak berhasil. Apabila kita sudah sepakati prinsip, bahwa demi pembangunan pembaharuan sikap, sifat atau nilai-nilai adalah perlu, persoalannya adalah nilai-nilai manakah dari keadaan masyarakat yang ada hendak ditinggalkan dan diganti dengan nilai-nilai baru dan yang diperkirakan lebih sesuai dengan nilai kehidupan dunia dewasa ini, dan nilai-nilai lama manakah yang bias dan patut dipertahankan. Pada beberapa puluh tahun yang lalu dizaman Hindia Belanda telah dilakukan tindakan dibidang Hukum (pidana), yaitu larangan praktek pemanggalan kepala di pedalaman Kalimantan yang pada waktu itu masih merupakan praktek yang lazim menurut adat setempat. Masyarakat Indonesia yang sedang membangun dalam definisi kita berarti masyarakat sedang cepat; hukum tidak cukup

memiliki fungsi hanya sebagai alat untuk memilihara ketertiban. Pandangan yang kolot tentang hukumyang menitik-beratkan fungsi pemeliharaan ketertiban dalam arti statis dan menekankan sifat konservatif daripada hukum, mengganggap bahwa tidak dapat memainkan suatu peranan yang berarti dalam proses pembaharuan. Ucapan bahwa dengan ahli hukum orang tak dapat membuat revolusi menggambarkan anggapan demikian. Anggapan itu tidak benar dan dibantah oleh pengalaman antara lain di Amerika Serikat. Di Negeri ini terutama setelah dilaksanakannya New Deal mulai tahun tiga puluhan kita telah menyaksikan dipergunakannya hukum sebagai alat untuk mewujudkan perobahan-perobahan di bidang sosial. Di Negri inilah timbul istilah Law is tool of social Engineing (R. Pound). Dengan dasar pikiran sebagaimanaterurai diatas, marilah kita adakan pembaharuan dan pembangunan dibidang hukum Negara Republik Indonesia yang kita cintai, sesuai yang termaktub dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara.

3. Memupuk kesadaran hukum dalam msyarakat dan membina sikap para Pengusaha dan para Pejabat Pemerintah kea rah penmgakuan hukum, keadilan serta perlindungan terhadap martabat manusia dan kepastian hukum sesuai dengan undang-undang Dasar 1945.

Catatan :
Diuraikan oleh B. Bastian Tafal S.H. pada Seminar Sirik di Sulawesi Selatan,
sebagai sumbangan pikiran.
                                                                                                       

1 komentar:

  1. Bagi yang berminat buka la galigo RA Kern silahkan kunjungi lapak kami https://www.bukalapak.com/p/buku/sastra/7dau4-jual-buku-i-la-galigo-ra-kern?search_id=94ac4679-d6f3-4aef-a364-09dd4b9598f1&view_mode=grid&from=searc

    BalasHapus