Minggu, 07 Oktober 2012

Menggali Nilai-Nilai Budaya Bugis-Makassar

PESAN PUANG RI MAGGALATUNG
(TOKOH CENDEKIAWAN PADA ZAMAN KERAJAAN WAJO-BUGIS)
DI SULAWESI SELATAN

Makkedai Puang Maggalatung, Lempu naacca, Iyanaritu madeceng riparaddeki riwatakkalee, Iyatonaritu temmassarang dewata Seuwae. Naiya riasengnge acca, Iyanaritu mitae munri gau. Naiya nappogau engkapi madeceng napogaui. Narekko engkai maja, ajasija mupogaui nrewei matti jana riko.
Artinya :

Berkata Puang Ri Maggalatung, kejujuran dan kepandaian, itulah yang paling baik ditanamkan pada diri kita, itulah juga yang tak bercerai dengan Dewata Tunggal. Yang disebut pandai ialah kemampuan untuk melihat akhir(akibat) perbuatan. Dan dikerjakannya adalah yang baik, bilamana dapat mendatangkan keburukan, janganlah lakukan. Bilamana tidak baik, jaganlah hendaknya engkau kerjakan, karena kembali juga nanti keburukannya kepadamu.
                          IKHTISAR PETA BUDAYA SUKU-SUKU
DI SULAWESI SELATAN
 
Suku Bugis dan Makassar merupakan suku-bangsa utama yang mendiami Sulawesi
Selatan, disamping suku-bangsa utama lainnya seperti toraja dan Man-dar.

Suku Bugis mendiami Kabupaten Daerah Tingkat II Bulukumba, Sinjai, bone, Wajo, Sidenreng-Rappang (sidrap), Pinrang, Polewali-Mamasa (Polmas)), Enrekang, Luwu, Pare- pare, Barru, Pangkajene-Kepulauan (Pangkep) dan Maros. Dua Daerah Tingkat II yang disebutkan terakhir (Pangkep dan Maros) merupakan daerah peralihan suku Bugis dan Makassar, Sedangkan Enrekang peralihan Bugis dengan Toraja sering dikenal sebagai orang- orang Duri atau Massenrempulu’.
Suku Makassar mendiami Kabupaten Daerah Tingkat II Gowa, Takalar, Jeneponto,
Bantaeng dan selayar walaupun mempunyai dialek tersendiri.

Berdasarkan rumpun bahasa Daerahnya, maka di Sulawesi Selatan ini ada enam rumpun bahasa, seperti : Bahasa Makassar, Bahasa Bugis, Bahasa Mandar, Bahasa Luwu, Bahasa Toraja, dan Bahasa Massenrempulu’.

Rumpun bahasa Makassar meliputi daerah Gowa, Takalar, Jeneponto(Tauratea), Bantaeng, Selayar, Kajang (Bulukumba), Manipi ( Kecamatan Sinjai Barat Kabupaten Sinjai).

Rumpun bahasa Bugis meliputi daerah Sinjai, Bone, Wajo, Pinrang, Sidenreng-Rappang (sidrap), Bulukumba, Pare-Pare, juga di sebagian daerah Pangkajene-Kepulauan (Pangkep), Maros, Mandar, Enrekang, Barru dan palopo (Luwu).
Rumpun bahasa Mandar meliputi daerah Polmas, Majene dan di sebagian daerah
Pinrang.

Rumpun bahasa Luwu meliputi daerah Luwu dimana sub-sub lokalnya punya bahasa sendiri-sendiri. Di daerah ini ada dua belas bahasa, seperti bahasa Bugis, bahasa Barru, bahasa Siko, bahasa Lubung, bahasa Wotu, bahasa Pajatabu, bahasa Mangkutana, bahasa Saroako, bahasa Paraso, bahasa Siwa, bahasa Toraja dan bahasa Pamuna. Bahasa Bugis digunakan oleh masyarakat dalam kota palopo ( ibu kota kabupaten Luwu) dan daerah pesisir pantai Wotu. Sub-sub lokal bahasa dan karakteristik budaya di daerah ini menandai adanya Sembilan anak-suku.

Rumpun bahasa Toraja meliputi daerah Toraja, terutama Makale dan Rantepao, juga di sebagian wilayah sub lokal Masamba (di daerah Luwu, sekitar enam puluh kilometre utara palopo).

Rumpun bahasa Massenrempulu’ meliputi daerah Massenrempulu’ , terutama Enrekang dan daerah-daerah sekitarnya yang diliputi gunung-gunung: Maspul (Massenrempulu’), yakni di sebagian wilayah Kabupaten Pinrang, Polewali-Mamasa (Polmas) dan Toraja.

Ditinjau dari segi penyebaran bahasa dan jumlah area masyarakat pemakainya, jelas di sini suku Bugis-Makassar merupakan suku-bangsa utama dan terbanyak mendiami daerah kontinental Sulawesi selatan ini. Urutan di bawahnya : Toraja menyusul Mandar.

Bertolak dari pemaparan di atas, penulis mencoba menggali perbendaharaan “ SIRIK” sebagai study Antrophologi Budaya Di Sulawesi selatan. Berikut ini penulis menggungkapkan aspek-aspek “SIRIK” itu sendiri.

Dengan mengkaji unsur-unsur yang bertali temali dengan permasalahan “SIRIK” tersebut, misalnya aspek-aspek “PACCE” (Makassar) , atau “PESSE” (Bugis), tentu saja dalam penggalian nilai-nilai “SIRIK” ini kita akan bersentuhan pula dengan aspek-aspek sejarah kehadiran suku-suku bangsa tersebut, secara selintang pandang. Dan sedikit
banyaknya bersentuhan pula dengan aspek falsafah hidup sikap mental masyarakatnya yang melatar-belakangi permasalahan “SIRIK” yang kita coba gali ala kadarnya melalui Risalah Study Antrophologi ini.

Catatan : Oleh lembaga Bahasa Nasional Cabang III Ujung Pandang, telah diusahakan langkah-langkah pemetaan bahasa-bahasa yang terdapat atau yang dipergunakan suku-suku yang kini mendiami Sulawesi selatan secara turun temurun itu.
 APAKAH KEBUDAYAAN ITU?

SIRIK sebagai aspek kebudayaan atau aspek antrophologi budaya Bugis-Makassar, guna mengkajinya dan menghayatinya secara mendasar dibutuhkan pengenalan-pengenalan pada pengertian-pengertian kebudayaan itu terlebih dahulu7. Yakni pengertian tentang apakah kebudayaan itu?.

Kebudayaan Indonesia mengalami pengaruh-pengaruh (akulturasi) kebudayaan Hindu, kebudayaan Islam. Karenanya maka pengetahuan dasar perihal kebudayaan perlu dihayati, sebelum mengkaji masalah-masalah SIRIK tersebut.

Istilah kebudayaan dalam bahasa Indonesia yang biasa dipakai oleh umum dalam pembicaraan sehari-hari mengandung pengertian mengenai bangunan-bangunan indah, candi- candi, tarian-tarian, seni-suara, seni-rupa dan sebagainya. Tetapi Istilah tersebut yang berasal dari bahasa Sansekerta berarti akal, jadi dengan kebudayaan dapat diartikan segala sesuatu yang bersangkutan dengan akal.
Dalam lingkungan antrophologi, definisi kebudayaan dirumuskan, sebagai berikut:

“ Kebudayaan ialah keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata-kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehiduoan masyarakat”.

Dalam Istilah Sansekerta: budaya ialah bentuk jamak dari budhi berarti akal. Istilah kebudayaan sama defenisinya dengan istilah Inggris : Culture. Tapi,Inggris: Civilzation (Indonesia, Peradaban) merupakan bagian-bagian dari kebudayaan yang halus dan indah serta maju, seperti kesenian,ilmu,dan sebagainya. Istilah peradaban berasal dari bahasa Arab: Adab.1)
Dari definisi kebudayaan tersebut , kita dapat mengganggap: tujuh unsur kebudayaan ada pada semua bangsa di dunia,yaitu:
1. Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabtan,sistem hukum dan sebagainya.
2. Mata pencaharian dan sistem ekonomi.
3. Perlengkapan dan peralatan hidup manusia (pakaian,perumahan,alat-alat produksi
dan sebagainya.
4. Religi.
5. Ilmu
6. Bahasa
7. Seni.

                                                                                                                                                                                                       Sumber-Sumber Sejarah
Seorang penyelidik sejarah kuno Memerlukan sumber-sumber sebagai tempat-tempat
pengambilanbahan-bahan untuk menyusun fakta-fakta sejarah.

Sumber-sumber itu dapat dibagi atas sumber-sumber dalam negeri dan sumber-sumber luar negeri, misalnya tulisan-tulisan pada batu, tembaga dan sebagainya yang tahan lama (inkripsi),kitab-kitab kesusasteraan yang mengandung bahan-bahan sejarah,kemudian bangunan-bangunan kuno yang tahan lama dan benda-benda purbakala lainnya.

Berita dalam inkripsi umumnya merupakan pemberitahuaan. Di Jawa inkripsi ini terutanma memberitahukan tentang pemberian hadiah tanah oleh seorang raja kepada orang yang telah berjasa kepada raja. Dalam nkripsi biasanya ada angka tahun (orang jawa memakai tahun saka, sama dengan 78 tahun sesudah tarich Masehi).
Bangunan-banugunan kuno berupa candi dan benda-benda purbakala lain, seperti
arcadan sebagainya dapat juga memberi bahan-bahan sejarah,kaerena mencerminkan aliran
kepercayaan waktu itu. Di Jawa biasanyan candi-candi itu makam yang dimaksud raja yang
jadi penitisan dewa itu.

Pada kitab-kitab kesusasteraan Indonesia umumnya tidak bnyak member penjelasan- penjelasan peristiwa-peristiwa sejarah,kecuali dua kitab jawa yang berbentuk khusus,yaitu”Negara Kertagama” dan “Pararaton”. Buku pertama ditulis dalam bentuk puisi kakawin (bentuk syair India) dalam bahasa dan tulisan jawa kuno,menguraikan keadaan Majapahit yang dilihat sendiri oleh seorang pujangga bernama Prapanca (+ 1365 M) yang bekerja sebagai pengawai kreraton Majapahi. Pararaton ditulis sesudah runtuh Majapahit, dalam bahasa dan prosa tulisan Jawa kuno. Isinya buku kronik raja-raja. Nama pengarangnya tidak diketahui. Karena sering disalin kembali isinya tidak sama nilainya dengan Negara Kertagama.
Khusus Bugis-Makassar,catatan-catatan sejarah diketahui Melalui buku-buku lontara.
Dan, Cerita dari mulut ke mulut.

Sumber-sumber asing ialah catatan-catatan bangsa Asing tentang Indonesia,karena langsung berkunjungt atau mendengar berita pedagang-pedgang. Tanah air kita Indonesia dikenal dalam kesusasteraan India. Setelah pedagang-pedagang India mengadakan hubungan dagang dengan Indonesia. Dwipa diluar India diberi nama sesuai dengan benda-benda perdagangan hasil bumi atau binatang yang ditemukan dalam daerah itu,misalnya Karpuradwipa yang menghasilkan kapur.

Berita-berita Tionghoa sebagian besar meliputi soal-soal perdagangan. Berita-beritra itu tidak bertujuan menulis sejarah,hanya untuk mengetahui daerah-daerah di Selatan dengan maksud untuk memudahkan hubungan dagang.

Umumnya berita-berita itu ditemui dalam sejarah dinasti raja-raja Tionghoa di Tiongkok. Di negeri itu dahulu ada kelaziman,bahwa apabila suatu keluarga raja mulai berkuas,maka diperintahkan menulis sejarah yang pernah dialami dinasti raja-raja yang berkuasa sebelumnya. Karena pencatatan itu bersifat resmi dan disimpan dalam arsip Negara dapat dipercaya isisnya.
Dinasti-dinasti Tionghoa yang ada hubungannya dengan Indonesia:
1. Liang (502-556)
2.Tang (618-906)
3. Sung (960-1279)
4. Yuen (1280-1367)
5. Ming (1368-1643)
Orang-orang Tiongkok (Cina) masuk ke Sulawesi Selatan, sebelum agama Islam masuk
daerah ini. Jadi diperkirakan sekitar abad ke XVI.

Oleh karena sering ditemui istilah-istilah Hindu,India (Hindie), Hindia Muka dan Hindia Belakang agaknya perlu diberi penjelasan sepintaslalu negeri-negeri manakah yang dimaksud dengan istilah-istilah itu.
Negeri-negeri di sebeleh Timur Indus disebut India (Hindia) oleh orang Eropa. Oleh
kerene itulah ada India (Hindia) muka atau depan kerena paling depan dilihat dari Eropa .

Sekarang ini India Muka terbagi atas tiga Negara,yaitu India Serikat dengan ibu- kotanya New dehli,Pakistan dengan ibu-kotanya Karachi,dan Bangladesh dengan ibu-kotanya Dacca.

Dengan istilah India (hHindia Belakang dimaksud negeri-negeri disebelah Timur India (Hindia) muka,negeri-negeri siam,Burma,Laos,Kamboja dan Vietnam masuk Hindia belakang. Hindia Muka adalah negeri asal agama Hindu dan Budha. Dalam Risalah kita dengan agama Hindia di Indonesia dimaksud juga meliputi agama Hindu Budha.

Penduduk Hindia Muka disebut orang India. Ini perlu dikemukakan,karena ia mempunyai pengaruh tali temali dengan perkembanga Budaya Suku Bugis_Makassar tersebut dalam perkembangannya.
 SKETSA PERIHAL SIKAP MENTAL DAN FALSAFAH HIDUP ORANG-ORANG
BUGIS-MAKASSAR

Diuraikan dalam buku Lontara( catatan yang ditulis diatas daun lontar) yang kemudian diwariskan kepada generasi ke lain generasi dalam lingkungan masyarakat suku Bugis- Makassar, bahwa watak atau falsafah hidup orang-orang Bugis-Makassar itu, tergambar sebagai berikut:
1.Jangan dipermalukan dia, sebab dia akan pi-lih lebih baik mati darp pada
dipermalukan (“Aja mupakasiriwi, materi-tu”).
2. Jangan kecewakan dia, sebab apabila dikecewakan pasti meninggalkan anda (“Aja
mullebbaiwi, nabokoiko-tu”).

Hal ini ada kaitannya dengan prinsip falsafah orang-orang Bugis-Makassar, antara lain: “Iamua narisappa warangparangE, nasaba rialai pallawasirik. Narekko sirik Ba’na Lao, sungenatu naranreng”(artinya : sesungguhnya harta banda sengaja dicari dan disediakan untukmenutup malu. Jika kita dipermalukan, maka harta tak ada ginanya lagi, tetapi yang akan bicara ialah manyat nyata). Hal ini diperjelas lagi oleh seorang wanita Bugis bila ia dikecewakan suaminya: “Tinulu melle kuranang banteng patilla pinceng nabetaE Lebbu” (artinya : kecintaanku yang tulus ikhlas kepadamu, bagaikan banteng yang kuat kokoh, namun ia dapat dirobohkan oleh rasa kecewa yang timbul) . seperti juga ungkapan peribahasa Bugis: “ Sengeremmu pada bulu, lebba mutaroE, ruttungeng manenggi” ( artinya: kesan kenanganmu menjulang tinggi laksana gunung, namun rata juga karena kecewa yang timbul).

Jadi, proses kepribadian yang menjiwai orang Bugis-Makassar, yakni: jangan dipermalukan, karena ia lebih baik mati dari pada dipermalukan; kedua, jangan sampai ia dihina; ketiga, apabila sudah dikecewakan maka ia pasti meninggalkan anda. Dengan cirri- ciri pegangan hidup seperti: “ Harta benda diusahakan memperolehnya, tetapi kalau perlu
disediakan untuk menutup malu. Kalau sudah dipermalukan, harta tak ada gunanya lagi dan
untuk itu ia bersedia mati”.
Falsafah / Pedoman Hidup

Setiap laki-laki keturunan Bugis-Makassar harus berani, pantang menyerah menghadapi lawan maupun tantangan perjuangan hidup. Tabah dalam menghadapi setiap cobaan-cobaan yang melanda. Itulah sebabnya, maka setiap orang Bugis-Makassar berorientasi ke arah delapan penjuru (peregi), yakni : mampu menghadapi apapun.

Dasar falsafah hidup yang menjiwai dan menjadi pegangan orang-orang Bugis- Makassar untuk menjadi pelaut, yakni harus mampu mengarungi lautan sampai di kepulauan Madagaskar. Seperti Ammana Gappa (tokoh pelaut pada zamannya ) yang memiliki dinamika juang hidup ulet, serta mampu melawan tantangan yang dihadapinya.

Hakekat prinsip tersebut bersumber pada leluhur nenek moyang orang Bugis-Makassar yang tersimpul dengan :
“duai temmallaiseng, tellui temmasarang”( artinya dua bahagian yang tak terpisahkan dan tiga bahagian yang tidak terceraikan).

Falsafah untuk segala bentuk yang menyangkut manusia ( yang dianggap merupakan suatu bentuk dalam jagad tiga wujud yang tunggal ) dengan jagad raya, terbagi pula atas tiga bahagian : “Botting langi” ( artinya : sumber segala yang mulia) yang mulia dalam kebenaran , “Alekawa” (artinya:permukaan bumi, dimana hidup berbagai mahluk denga segala perjuangan hidup, penguasaan dan lain-lain) yang suci sebagai perlambang “putih”, dan perlambang merah (api) yakni “Ale” ( artinya badan) dan “Kawa” ( artinya : yang dapat
dicapai)). Pertiwi, berarti di bawah tanah pertiwi(Bugis), melambangkan keabadian,
lesabaran, yaitu sifat manusia itu sendiri. Perlambangnya hitam.
Pemerintahan kerajaan-kerajaan dahulu terbagi atas tiga bahagian, yaitu:
- Raja Sombaya ( yang disembah)
- Tomarilaleng( yang mewakili raja berbicara)
- Tomarilaleng Lolo ( yang mewakili rakyat dalam pembicaraan yang merupakan
perantara rakyat dengan raja).

Pada waktu itu (pada zamannya) ada tiga raja besar di Sulawesi selatan ini, yakni: TellumpoccoE (Luwu, bergelar peyung atau pajung); Makassar a9Gowa) bergelar Somba dan Bone bergelar Mangkau.

Demikian juga rumah adat Bugis-Makassar terdiri atas (serba tiga): Kolong rumah (tempat penenun, menyimpan kayu bakar, dan lain-lain) . living space (“Watampola”) dan bagian loteng untuk menyimpan barang-barang persediaan padi dan lain-lain yang disebut “Rakkeyang” atau Rangkiang” (Mel.). Adapun ruangan terbagi lagi : Tempat tunggu tamu- tamu desebut “Lontang Risaliweng”, bagian tengah terdiri dari ruangan-ruangan tidur untuk orang tua disebut Lontang Ritengnga. Ruangan belakang berdekatan dengan kamar orang tua, ruangan khusus untuk anak gadis disebut Lontang Rilaleng. Disamping ruangan tidur ada ruangan terbuka dari depan menuju ke dapur disebut “Tamping”. Anak-anak laki-laki yang sudah menginjak masa dewasa biasanya tidur di luar rumah atau ditempat lain.

Sebagaimana fungsi angka tiga ( yang punya arti keramat), empat dan delapan juga punya arti. Demikian, maka tiang-tiang (“Alliri”) rumah adat Bugis-Makassar bentuknya bersegi empat atau bersegi delapan.

Tiang bersegi empat berdiri di tengah-tengah disebut “Posi Bola” ( soko guru). Dengan tiang soko-guru ini menjadi pertanda (perlambang) bahwa laki-laki hendaklah bersegi empat (melebihi tiga) . atau laki-laki yang serba bias atau “WoroanE sulapa eppa” . untuk dapat menjelajahi delapan penjuru angin. Segi delapan menggambarkan delapan penjuru angin atau semesta, melambangkan bahwa lelaki orang Bugis-Makassar harus berani bertarung melawan tantangan hidup. Harus berani melawan tantangan dalam bentuk apapun guna kelangsungan hidupnya dan masyarakatnya.
Rumah-rumah sekarang bukan lagi merupakan rumah adat oleh karena tiang-tiangnya
biasa saja, pada umumnya bersegi empat.

Dibekali dengan falsafah inilah, nenek moyang Bugis-Makassar berhasil dan menjadi berjiwa pelaut yang berlayar ke segala penjuru . falsafah ini pula yang dijadikan ajimat untuk berani bertarung demi kehormatannya. Termasuk manifestasi pengertian : masalah SIRIK yang dalam istilah Bugis disebut “sirik naranreng” (artinya : tegakkan kehormatan, bila perlu nyawa dipertaruhkan ).

Falsafah “duai temmalaiseng, tellui temmasarang”, berarti: Tuhan, Nabi Muhammad, manusia sebagai hamba Allah yang tidak terpisahkan antara satu dan yang lainnya. Begitu juga badaniah dan batiniah tidak terpisahkan.

Hikmah yang dapat kita ambil dari keseluruhan isi yang terurai tersebut diatas, ialah kekuatan batin atau prinsip hidup yang dapat diresapi atau ditarik dari hikmah pengertian “duai temmalaiseng, tellui temmasarang” tersebut.
 SUMBER “SIRIK”

Manakala kita ingin mendalami pengertianSIR I K dengan segenap masalahnya antara lain dapat diketahui dari bukuLA TOA. Buku ini berisi pesan-pesan dan nasehat-nasehat yang merupakan kumpulan petuah untuk dijadikan suri teladan.
Buku LA TOA artinya YANG TUA. Tetapi, arti sebenarnya ialahPETUAH-
PETUAH,berisis sekitar seribu jenis petuah-petuah. Hamper semua isi LA TOA ini erat
hubungannya dengan perananSIRIK dalam pola hidup atau adat istiadat Bugis-Makassar
(merupakan falsafah hidup).

Misalnya:
- SIRIK sebagai harga diri atau kehormatan
- MAPPAKASIRI’(artinya: dinodai kehormatannya)
- RITAROANG SIRIK (artinya: ditegakkan kehormatannya).
- PASSAMPO SIRIK (artinya: penutup malu)
- TOMASIRI’NA (artinya : keluarga pihak yang dinodai kehormatannya).
- dan SIRIK sebagai perwujudan sikap tegas demi kehormatan tersebut.
SIRIK dapat juga diartikan sebagai pernyataan sikap serakah (Bugis-Makassar atau

MANGOWA)danSIR I K sebagai prinsip hidup (pendirian) di daerah Bugis-Makassar. SIRIK NARANRENG dipertarukan demi kehormatan,SIRIK-SIRIK (malu-malu),PALALOI SIRIKNU (tentang yang melawan),PASSIRIKKIA(bela kehormatan saya),
NAPAKASIRIKKA (saya dipermalukan ),TAU DE’ SIRIKNA (orang tak ada malutak ada
harga diri).

Bahkan berbagai petuah-petuah yany kesemuanya tergambarkan pada buku LA TOA sebagai buku yang bernilai sastera disusun oleh pujangga Bugis pada zamannya. Karena dapatdisimpulkan bahwaSILARIANG (minggat) adalah sekedar salah satu aspek daripada
SIRIK tersebut . yang erat hubungannya dengan harga diri dalm arti yang luas (aspek-aspak
identitas keagungan pribadi bangsa pemiliknya).

Jadi SIRIK mengandung pula penilaian kehormatan atau “pride kebanggaan”. Identitas suku bangsa dalm kerangka ke NASIONAL-an yang Bhineka Tunggal Ika. Manifestasi dari pada prinsip-prinsip penghayatan Pancasila.

Ungkapan – unkapan sikap orang-orang Bugis yang termanifestasikan lewat kata- kata: TARO ADA’ TARO GAU(satunya kata dan perbuatan). Yakni, setiap tekat atau cita- cita ataupun janji yang telah diucapkannya, pasti dipenuhionya (dibuktikannya) dalam perbuatan nyata. Sejalan pula dengan prinsip ABATTIRENGRIPOLIPUKKU (asal usul leluhur senantiasa dijunjung tinggi, segalanya kuabadikan demi keagungan leluhurku). Atau dengan terjemahan bebas:segalanya(jiwa-ragaku) kuabadikan demi untuk ibu pertiwi/bangsa dan negaraku.
                                                                                              Sumber :         *http://www.scribd.com/doc/24317027/Menggali-Nilai-nilai-Budaya-Bugis-makassar                                                                                                                                                                   



Tidak ada komentar:

Posting Komentar