Sabtu, 18 April 2009

SIRI' na PACCE .Masih adakah...??

Takunjunga’ bangung turu’,
nakugunciri’ gulingku,
kualleangnga tallanga natoalia.


(Layarku telah kukembangkan.
Kemudiku telah kupasang.
Kupilih tenggelam daripada melangkah surut)



Apa yang menjadikan Karaeng Pattingalloang, MankuBumi Kerajaan Gowa pada abad XVII menguasai delapan bahasa, matematika, astronomi, pembuatan benteng dan perahu galley, persenjataan dan lain-lain?. Semangat apa yang ada di benak Sultan Hasanuddin yang habis-habisan memimpin perlawanan melawan Belanda. Lantas apa yang menggerakkan Karaeng Bonto Marannu dan Karaeng Galesong menenggelamkan kapal-kapal Belanda yang mereka temui di perairan Jawa sesaat ditandatanganinya perjanjian Bungaya yang merugikan Kerajaan Gowa?. Seorang tukang kebun di awal tahun 80an bernama Saleh membunuh majikannya, seorang bupati di daerah Sulawesi Selatan beserta istrinya karena anak gadis Saleh yang menjadi pembantu rumah tangga di rumah yang sama dihamili oleh sang bupati?. Apa persamaan weltanschauung yang menggerakkan mereka?. Jawabannya adalah Siri’ na Pacce (Siri’ dan Pacce).

A. Zainal Abidin Farid (1983 :2) membagi siri, dalam dua jenis:

1. Siri’ Nipakasiri’
yang terjadi bilamana seseorang dihina atau diperlakukan di luar batas kemanusiaan. Maka ia (atau keluarganya bila ia sendiri tidak mampu) harus menegakkan Siri’nya untuk mengembalikan Dignity yang telah dirampas sebelumnya. Jika tidak ia akan disebut mate siri (mati harkat dan martabatnya sebagai manusia). Shelly Errington (1977 : 43) :

“ Untuk orang bugis makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi daripada menjaga Siri’nya, dan kalau mereka tersinggung atau dipermalukan (Nipakasiri’) mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan Siri’nya dari pada hidup tanpa Siri’. Mereka terkenal dimana-mana di Indonesia dengan mudah suka berkelahi kalau merasa dipermalukan yaitu kalau diperlakukan tidak sesuai dengan derajatnya. Meninggal karena Siri’ disebut Mate nigollai, mate nisantangngi artinya mati diberi gula dan santan atau mati secara manis dan gurih atau mati untuk sesuatu yang berguna.

Sebaliknya, hanya memarahi dengan kata-kata seorang lain, bukan karena Siri’ melainkan dengan alasan lain dianggap hina. Begitu pula lebih-lebih dianggap hina melakukan kekerasan terhadap orang lain hanya dengan alasan politik atau ekonomi, atau dengan kata lain semua alasan perkelahian selain daripada Siri’ dianggap semacam kotoran jiwa yang dapat menghilangkan kesaktian.

Tetapi kita harus mengerti bahwa Siri’ itu tidak bersifat menentang saja tetapi juga merupakan perasaan halus dan suci… Seseorang yang tidak mendengarkan orangtuanya kurang Siri’nya. Seorang yang suka mencuri, atau yang tiodak beragama, atau tidak tahu sopan santun semua kurang Siri’nya”.

2. Siri’ Masiri’,
yaitu pandangan hidup yang bermaksud untuk mempertahankan, meningkatkan atau mencapai suatu prestasi yang dilakukan dengan sekuat tenaga dan segala jerih payah demi Siri’ itu sendiri, demi Siri’ keluarga dan kelompok. Ada ungkapan bugis “Narekko sompe’ko, aja’ muancaji ana’guru, ancaji Punggawako” (Kalau kamu pergi merantau janganlah menjadi anak buah, tapi berjuanglah untuk menjadi pemimpin). Nenek moyang almarhum Tun Abdul Razak, Mantan Perdana Menteri Malaysia bernama Karaeng Haji, salah seorang putera Sultan Abdul Jalil Somba Gowa XIX yang di merantau ke Pahang dan dikenal dengan Toh Tuan, meninggalkan Gowa pada abad XVIII karena masalah Siri’, perebutan kekuasaan raja Gowa antar saudara. Ia mengalah dan meninggalkan Gowa hingga berhasil menjadi syahbandar kesultanan Pahang. Daeng Mangalle, saudara seayah Sultan Hasanuddin karena Siri’ pula pergi ke Jawa Timur. Setelah memperoleh dua orang putera dari putri bangsawan Jawa Timur, Angke’ Sapiah, Ia pergi bersama keluarga dan pengikutnya karena dicari-cari Belanda menuju Muangthai. Di kerajaan Siam, karena Siri’nya, ia berhasil menjadi Menteri Keuangan Siam dan bergelar bangsawan tertinggi Oja Pacdi. Sayang, karena pertengkaran Raja Phra Narai dan adiknya, Karaeng Mangalle dituduh bersekongkol dengan adik raja. Dengan pengikut-pengikutnya ia berkelahi hingga titik darah penghabisan melawan kurang lebih 10.000 tentara Siam dan puluhan orang-orang Eropa. Ia gugur karena Siri’ dan ‘mati diberi santan dan gula’. Dua orang putranya, masing-masing 14 dan 12 tahun berhasil diselamatkan oleh seorang Perancis dan mereka dibawa ke Paris. Di Paris, Raja Louis XIV sangat tertarik kepada anak itu dan mengambilnya menjadi anak angkat, suatu penghargaan luar biasa bagi orang asing berkulit sawo matang. Melalui pendidikan militer, Daeng Ruru, yang bernama lengkap Louis Dauphin Daeng Ruru de Macassart, dalam usia 20 tahun dilantik menjadi Kapten Kapal Bendera Angkatan Laut Perancis pada 1 Januari 1692. Adiknya, Louis Pierre Daeng Tulolo de Macassart menjadi Letnan Angkatan Darat Perancis dan pada tahun 1712 beralih menjadi Letnan Angkatan Laut Perancis, karena kakaknya gugur dalam pertempuran melawan armada Inggris di depan Havana pada tahun 1708 (Pelras, 1975 : 64-65 ; Gervaise, 1688). Kalau direnungkan kata A. Zainal Abidin Farid, Bagaimana mungkin 500 orang termasuk perempuan dan anak-anak Makassar dapat melawan lebih kurang 10.000 tentara Siam?. Bagaimana mungkin Daeng Ruru dan Daeng Tulolo dapat menjadi anak angkat Raja Louis XIV, penguasa Eropa sekaligus menjadi perwira Angkatan Laut Perancis?. Jawabnya; Karena Siri’.

Kalau anda mempelajari sejarah, maka akan anda temukan bahwa raja-raja yang ada di daerah melayu, seperti Riau, Johor, Pahang, Aceh, Samarinda, Kutai, Mempawah bahkan Jawa dan Bima mempunyai keterkaitan dengan nenek moyang mereka yang berasal dari Sulawesi Selatan.

Satu kata lagi yang sering disandingkan dengan Siri’ adalah Pacce. Secara bagus, digambarkan oleh Andaya (1979) :

…In the term of Siri’ are contained two seemingly contradictory meanings; it can means ‘shame’. But also ‘self esteem’ or ‘self respect’…

The second important element is the concept of Pacce (Makassar)/ Pesse (Bugis). In everyday usage it means ‘to smart’ and ‘poignant’, but it express a more subtle and intimate emotion than the literal meaning would suggest, as can be seen from the following Makassar and Bugis sayings :

(Makassar) : Ikambe Mangkasaraka, punna tasiri’, pacceseng nipabbulosibatangngang.

Trans : If it is not Siri’ which makes us, the Makassar People, one, then it is pacce

(Bugis) : Ia sempugikku rekkua de’na siri’na engka messa pessena.

Trans : If there is no longer siri’ among us Bugis, at least there is certain to be pesse.

…Pacce and Siri’ are twin concepts which define the Bugis-Makassar individual. Maintaining an equilibrium between shame and self respect as understood in Siri’ and nurturing a sense of sharing, commiserating in the sorrows and the sufferings of any member of one’s community as expressed in the notion of pacce, are expected of a Bugis or Makassar…The ties between them are thus reinforced and the solidarity of the group maintained.

Jadi Pacce berarti semacam kecerdasan emosional untuk turut merasakan kepedihan atau sesusahan individu lain dalam komunitas. Laica Marzuki (1995) menyebut dalam disertasinya bahwa pacce sebagai prinsip solidaritas dari individu Bugis Makassar dan menunjuk prinsip getteng, lempu, acca, warani (tegas, lurus, pintar, berani) sebagai empat ciri utama yang menentukan ada tidaknya Siri’.

Dua term ini adalah konsep tunggal yang mesti berjalan bersamaan untuk disebut sebagai manusia. Siri’ tanpa Pacce atau sebaliknya akan menjadikan semacam split personality dalam diri orang bugis makassar. Tetapi sering kita mendengar ungkapan pepatah Makassar mengatakan :

Punna tena Siri’nu pa’niaki paccenu
(Kalau sudah tidak memiliki Siri'lagi, maka perlihatkan paccemu.

Ini sebagai sindiran untuk orang yang harkat martabatnya jatuh dan sekaligus juga tidak turut merasa pedih atas keperihan orang lain. Pesan Karaeng Pattingalloang, MangkuBumi Kerajaan Gowa sekaligus Raja Tallo (1639-1653) yang sarat nilai Siri’ dan Pacce berikut masih sangat relevan untuk kita jadikan pelajaran berbangsa dan bernegara :

“Limai pammanjenganna matena butta lompoa. Uru-uruna punna teya nipakainga karaeng ma’gauka; makaruwanna punna taena tumangngasseng ilalang pa’rasangang lompo; makatallunna punna mangngalle soso’ gallarrang mabbicarayya; makaappa’na punna majai gau’ ilalang pa’rasangang malompoa; makalimanna punna tanakamaseang atanna karaeng ma’gauka”

( Ada lima sebab sehingga sebuah negeri rusak ; Pertama, kalau raja yang memerintah tidak mau diperingati; kedua, kalau tidak ada cendekiawan dalam suatu Negara besar;ketiga, kalau para hakim dan pejabat-pejabat kerajaan makan sogok; keempat, kalau terlampau banyak kejadian-kejadian besar dalam suatu Negara; kelima, kalau raja tidak menyayangi rakyatnya).

Ah, Jika saja semua orang bugis makassar khususnya dan Indonesia memegang teguh dan menjalankannya dengan penuh Kesungguhan.
Pertanyaannya adalah : Siri' Na Pacce Masihkah Ada????


Sumber :Komunitas Bugis makassar


=================================================================

Di Tanah Jawa Mereka Ikut Berjuang

Mengetahui ada darah Bugis-Makassar mengalir dalam tubuh Wahidin Soedirohoesodo (1852-1917), Adin mengaku kaget bercampur bangga. Pada satu senja, di kompleks Pemakaman Mlati, Sleman, Yogyakarta, lelaki Bugis-Makassar yang menikahi perempuan asal Jepara ini pun bersimpuh di sisi makam pahlawan nasional penggagas kelahiran Budi Utomo tersebut.

Semula Adin—nama lengkapnya Suryadin Laoddang—tidak percaya pada fakta baru yang ia terima. Bukankah dalam sejarah resmi yang ditulis selama ini disebutkan bahwa dokter Wahidin Soedirohoesodo adalah priayi Jawa? Potret sang tokoh pun selalu ditampilkan dalam busana lelaki ningrat Jawa, lengkap dengan belangkon di kepalanya.

Akan tetapi, melalui pendekatan genealogis diketahui bahwa tokoh pergerakan nasional tersebut ternyata masih keturunan Karaeng Daeng Naba. Bangsawan Bugis-Makassar ini mengembara ke Jawa setelah Kerajaan Gowa takluk pada Kompeni-Belanda tahun 1669. Di Jawa, Daeng Naba terlibat dalam intrik perebutan kekuasaan di pusat tanah Jawa (baca: Mataram), di mana Trunajaya tampil sebagai tokoh antagonisnya.

Atas jasa Daeng Naba yang ikut membantu Amangkurat II meredam pemberontakan Trunajaya (1670-1679), ia dinikahkan oleh sang penguasa Mataram dengan putri Tumenggung Sontoyodo II. Selain itu, ia juga dihadiahi ”tanah perdikan” yang sekarang berada di daerah Mlati, Sleman, Yogyakarta. Dari hasil perkawinan campuran itu, seabad kemudian lahir priayi Jawa terkemuka bernama Mas Ngabehi Wahidin Soedirohoesodo.

Majalah Pesat edisi 6 Februari 1952 memuat ulasan tentang hal itu, di bawah subjudul: ”Siapakah dr Wahidin?”. Fakta sejarah ini juga muncul di Berita Kebudayaan edisi 28 November 1952. Ragi Buana edisi Mei 1959 yang mengutip keterangan yang pernah disampaikan dokter Radjiman Wediodiningrat (1879- 1952)—pendiri Budi Utomo yang juga kerabat Wahidin—ikut memperkuat fakta sejarah tersebut.

Bahwa, ”Wahidin berdarah tjampuran suku Djawa dan Makassar, ialah keturunan Dain Kraing Nobo, seorang pradjurit jang dalam djaman Mataram membantu Sunan Amangkurat Tegal Arum melawan Trunodjojo....”

Kenyataan bahwa Wahidin bukanlah orang Jawa asli kian menggugah kesadaran kebangsaan Adin, sesungguhnya betapa tipis batas-batas etnisitas di negeri ini. ”Sayangnya, tidak banyak orang yang tahu kalau Wahidin— juga Radjiman Wediodiningrat— berdarah Bugis-Makassar,” ujarnya.

Masih di kompleks pemakaman yang sama, di luar cungkup utama yang sudah dibangun pemerintah setelah Wahidin Soedirohoesodo ditetapkan sebagai pahlawan nasional, Adin juga menyempatkan berziarah ke makam sang leluhur: Daeng Naba! Dua deret di depan makam Daeng Naba, 32 prajurit dari Gowa (tanpa nama) juga dimakamkan di sana.

Aliansi kekuasaan

Sejarah mencatat, perang Trunajaya melawan Mataram dan Kompeni (1670-1679) juga melibatkan prajurit-prajurit Makassar. Dua bangsawan dari Kerajaan Gowa-Tallo, Karaeng Galesong dan Daeng Naba, berada di dua kubu yang berbeda. Karaeng Galesong membantu Trunajaya, sedangkan Daeng Naba yang ”menyusup” ke kesatuan Kompeni-Belanda menopang kekuatan Mataram.

Galesong yang bernama lengkap I Maninrori Karaeng Galesong adalah Putra Sultan Hasanuddin dan Merupakan satu di antara sekian banyak bangsawan Gowa yang pergi dari negerinya karena tidak puas atas penerapan Perjanjian Bongaya (1667), menyusul jatuhnya Benteng Somba Opu ke tangan Belanda. Semula ia mendarat di Banten, menyusul rekannya sesama bangsawan yang telah lebih dahulu tiba di sana, yakni Karaeng Bontomarannu.

Situasi genting di Banten memaksa Galesong dan Bontomarannu berlayar ke timur, ke daerah Jepara, kemudian menetap di Demung, tak jauh dari Surabaya sekarang. Bersama sekitar 2.000 pengikutnya, Galesong bersekutu dengan Trunajaya untuk berperang melawan Mataram. Persekutuan itu juga ditandai ikatan perkawinan antara Galesong dan putri Trunajaya, Suratna, pada Desember 1675.

Ketika pemberontakan Trunajaya benar-benar berkobar, di bawah komando Karaeng Galesong dan Karaeng Bontomarannu, orang-orang Makassar mulai menyerang dan membakar pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara bagian timur Jawa. Mataram kian terdesak. Bahkan, dalam serbuan ke pedalaman, pusat kekuasaan Mataram di Plered sempat direbut Trunajaya.

Baru setelah campur tangan Belanda, pemberontakan Trunajaya bisa diredam. Salah satu tokoh kunci di balik keberhasilan Mataram mengakhiri pemberontakan Trunajaya adalah Karaeng Daeng Naba. Berkat usaha Daeng Naba membujuk Karaeng Galesong—yang disebut Naba sebagai adiknya— agar menghentikan perang dengan Mataram, pemberontakan Trunajaya akhirnya bisa ditumpas.

Drama sejarah ini berakhir tragis. Karaeng Galesong yang mematuhi saran Daeng Naba dianggap berkhianat dan dibunuh mertuanya, Trunajaya. Adapun Trunajaya akhirnya tewas di tangan Amangkurat II pada tahun 1679.

Akan halnya Daeng Naba yang bernama lengkap I Manggaleng Karaeng Daeng Naba, putra I Manninori J Karetojeng, seterusnya dipercaya menjadi bagian pasukan Mataram. Dengan kekuatan 2.500 kavaleri, laskar Daeng Naba yang terdiri atas orang- orang Bugis-Makassar tersebut menjadi pasukan inti Kerajaan Mataram ketika itu.

”Romantika kisah para leluhurku telah membuat aku semakin sadar bahwa perjuangan bangsaku telah melalui sejarah yang sangat panjang,”

Sejarah memang penuh romantika. Kehadiran orang-orang Bugis-Makassar di berbagai wilayah di Tanah Air, termasuk di tanah Jawa, tak bisa disangkal merupakan bagian dari sejarah perjalanan bangsa ini ”menjadi Indonesia”. Wahidin adalah ”buah” dari romantika sejarah, sosok manusia Indonesia abad XIX yang lahir dari percampuran darah ”hero” Makassar (Gowa) dan kearifan Jawa.

Semakin jelas bahwa bangsa besar ini lahir dari pergulatan antaretnis. Bila muncul klaim bahwa hanya golongan tertentu yang paling berjasa dalam proses bangsa ini ”menjadi Indonesia”, tentu saja pandangan semacam itu sungguh menyesatkan..

http://lagaligo.net/


==================================================================

Mengenal Lontara Bugis Lebih Jauh

Kebudayaan diciptakan karena adanya kebutuhan (needs) manusia untuk mengatasi berbagai problem yang ada dalam kehidupan mereka. Melalui suatu proses berfikir yang diekspresikan kedalam berbagai wujud. Salah satu wujud kebudayaan manusia adalah TULISAN. Seperti halnya dengan wujud-wujud kebudayaan lainnya. Penciptaan tulisan pun diciptakan karena adanya kebutuhan manusia untuk mengabdikan hasil-hasil pemikiran mereka.

Menurut Coulmas, pada awalnya tulisan diciptakan untuk mencatatkan firman-firman tuhan, karena itu tulisan disakralkan dan dirahasiakan. Namun dalam perjalanan waktu dengan berbagai kompleksitas kehidupan yang dihadapi oleh manusia, maka pemikiran manusia pun mengalami perkembangan demikian pula dengan tulisan yang dijadikan salah satu jalan keluar untuk memecahkan problem manusia secara umumnya. Seperti yang dikatakan oleh Coulmas “a king of social problem solving, and any writing system as the comman solution of a number of related problem” (1989:15)
1. Alat Untuk Pengingat
2. Memperluas jarak komunikasi
3. Sarana Untuk memindahkan Pesan Untuk Masa Yang akan dating
4. Sebagai Sistem Sosial Kontrol
5. Sebagai Media Interaksi
6. Sebagai Fungsi estetik

Begitu pula yang terjadi pada kebudayaan di Indonesia. Ada beberapa suku bangsa yang memiliki huruf antara lain. Budaya Jawa, Budaya Sunda, Budaya Bali, Budaya Batak, Budaya Rejang, Budaya Melayu, Budaya Bugis Dan Budaya Makassar.

Disulawesi selatan ada 3 betuk macam huruf yang pernah dipakai secara bersamaan.
1. Huruf Lontaraq
2. Huruf Jangang-Jangang
3. Huruf Serang


Sumber :
http://lagaligo.net/2008/09/budaya-bugis-karakteristik-aksara-bugismakassar/

============================================================

Mengenal Lebih Dekat Sosok Syekh Yusuf

Sampai sekarang saya belum bisa memastikan tanggal berapa seorang
Syekh Yusuf dilahirkan tetapi Syekh Yusuf dilahirkan dalam lingkungan
istana dikarenakan pada saat ibunda Syekh Yusuf hamil beliau di
persunting Sultan gowa. Syekh Yusuf di didik dengan baik di istana
dan raja menganggapnya seperti putra sendiri. Tidak beberapa lama
berselang permaisuri raja gowa melahirkan juga dengan anak perempuan
yang bernama Siti Daeng Nisanga, keduanya mendapat pendidikan yang
sama. Siti jatuh cinta kepada Syekh Yusuf. Syekh Yusuf pun menyuruh
gelaran meminang Siti Daeng Nisanga. Tetapi pinangan tersebut ditolak
oleh raja gowa dikarenakan Syekh Yusuf mempunyai garis keturunan yang
biasa-biasa (Bukan keturunan raja)

Pada dasarnya Keturunan biasa bisa mempersunting putri raja apabila dia
memiliki 3 persyaratan yakni Kaya, Berani dan alim. Mendengar itupun
Syekh Yusuf berniat berangkat ke tanah arab untuk belajar agama dan
menunaikan haji. Tetapi melihat kegigihan Syekh Yusuf dan cinta putrinya
kepada Syekh Yusuf raja pun luluh dan ingin menikahkan anaknya untuk
bersanding dengan Syekh Yusuf. Tetapi pada saat Syekh Yusuf mencari
perahu untuk berangkat ke tanah arab raja memanggilnya untuk dinikahkan.
Syekh Yusuf menolak perintah raja dia hanya ingin menikah apabila
sepulangnya nanti dari tanah arab. Kemudian putri dan raja pun datang
ketempat Syekh Yusuf dan mengawinkannya. Setelah 3 bulan dari
penikahannya putri raja gowa pun di suruh kembali ke istana gowa dan
Syekh Yusuf ingin melanjutkan perjalanan ke tanah arab.

Setelah sampai di Jeddah, Syekh Yusuf meneruskan perjalanannya ke
mekkah dan Syekh Yusuf ingin menuntut ilmu kepada imam-imam dari
4 mazhab, tetapi ke empat imam tersebut mengatakan bahwa ia tidak
perlu belajar karena ilmu yang Syekh Yusuf punyai sudah cukup. Tetap
i imam-imam tersebut menganjurkan agar Syekh Yusuf belajar kepada
Abu Yazid, Dari sini Syekh Yusuf disuruh lagi belajar kepada Syekh
Abdul Al-Qadir Al Jailani. Syekh Yusuf juga mengunjungi makam Nabi
di madinah.

Kemudian Syekh Yusuf kembali ke banten dan menikah dengan putri
sultan banten yang bernama syarifah. Setelah raja gowa mendengar
bahwa Syekh Yusuf berada di banten, raja gowa mengirim utusan agar
supaya Syekh Yusuf kembali ke tanah gowa. Akan tetapi Syekh Yusuf
menolah dengan pernyataan bahwa beliau tidak akan kembali ke gowa
apa bila kesufiaannya tidak sempurna (Sufi yang dimaksud yakni akhir
kehiduapannya) maka sebelum beliau mati beliau tidak akan pernah
kembali ke gowa

Di banten Syekh Yusuf mempunyai banyak murid dan murid-murid
Syekh Yusuf juga ada dari kalangan istana kerajaan di jawa barat. Dari
pernikahannya Syekh Yusuf dengan putrid banten Syekh Yusuf diberikan
keturunan dengan anak laki-laki. Kemudian Syekh Yusuf menikah juga
dengan seorang wanita dari Serang dan giri yang juga mempunyai anak
laki-laki dan anak perempuan sehingga keturunan Syekh Yusuf di jawa banyak.
Putra dan putri Syekh Yusuf


Sumber :
http://lagaligo.net/2009/01/mengenal-sosok-syekh-yusuf-part-i/
http://lagaligo.net/2009/01/mengenal-sosok-syekh-yusuf-part-ii/

==============================================================

Sistim Pemerintahan Masyarakat Bugis Klasik

Pangngaderreng sebagai Harmonisasi antara adat istiadat bugis
yang kental dengan ajaran islam
Undang-undang pemerintahan pada kebudayaan masyarakat
bugis disebut sebagai Pangngaderreng yakni merupakan falsafah
hidup dan kitab undang-undang dasar tertinggi masyarakat bugis
yang tetap di pakai sampai ditaklukannya oleh belanda pada tahun
1906. Jauh sebelum islam datang, Pangngaderreng sebelumnya terdiri
dari 4 bagian sebelum islam datang. Setelah islam masuk sebagai agama
kerajaan Pangngaderreng terdiri dari 5 bagian. Inilah puncak tertinggi yang
dicapai oleh para pendakwa dahulu kala setelah di kukuhkannya islam
dalam sistem Pangngaderreng. Adapun unsur-unsur yang termasuk
pada sistem Pangngaderreng setelah masuknya islam sebagai agama
kerajaan :
Wari atau sistem protokoler kerajaan
Ade atau sistem adat istiadat
Bicara atau sistem hukum
Rapang atau sistem pengambilan keputusan yang berdasarkan
perbandingan Sara atau sistem syariat islam
Sistem Pangngaderreng diatas dari point 1 sampai dengan point 4
dipegang oleh pampawa ade (pelaksana adat) sedangkan sistem
Pangngaderreng point 5 dipegang oleh parewa sara (perangkat syariat)
Pampawa ade dan parewa sara adalah sebuah bentuk lembaga
yang mempunyai fungsi dan tugas sesuai bidangnya masing-masing.
Pampawa ade dipegang oleh Raja serta pendamping-pendampingnya
yang bertugas mengatur roda pemerintahan, sedangkan parewa sara
dipangku oleh kadi, imam, khatib, bilal, dan doja (penjaga mesjid)
yang bertugas menangani hal-hal yang berhubungan dengan islam
seperti penyunatan, perkawinan, pewarisan, dan sebagainya
berberhubungan dengan islam.
Adanya dikhotomi tugas seperti ini berimplikasi pada sistem pengaturan
sosial selanjutnya. Tapi itu tidak berarti tidak terjadi sekularisasi
anatara urusan kerajaan dan urusan keagamaan. Sebab dala praktekny
a urusan kerajaan dan keagamaan ini saling mengisi satu sama lain
atau jalan beriringan bagai tak saling mengenal, namun seringkali
adat istiadat tunduk kepada ajaran islam dan sebaliknya tidak
jarang ajaran islam bertoleransi kepada adat istiadat sepanjang
tidak bertentangan dengan pelaksanaan syariat islam. Dan
syariat islam sudah masuk dalam sistem Pangngaderreng maka
wibawa dan kepatuhan rakyat kepada kedua sistem kerajaan dan syariat
islam sama kuatnya.
Kemandirian kedua lembaga tersebut lebih menonjol pada hal-hal yang
berhubungan dengan upacara seremonial yang berkaitan dengan siklus
kehidupan. Untuk lebih jelasnya pola hubungan timbal balik antara islam,
adat dan manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota
kelompok sosial dapat kita lihat pada bagan di bawah ini :
Gambar Bagan
Garis vertikal menggambarkan manusia sebagai sebagai individu yang
memahami ajaran tuhan melalui islam. Manusia melaksanakan islam
berdasarkan karakter siri kepada tuhan selanjutnya melahirkan
ketakwaan kepada Allah.
Sebaliknya sistem pengaturan sosial manusia dilakukan lewat 2 jalur,
yakni syarit dan adat. Syariat ditangani oleh parewa sara sedangkan
adat Pangngaderreng ditegakkan melalui pampawa ade, sehingga
mereka saling mengisi dan mengontrol, meskipun hal-hal tertentu
berjalan sendiri-sendiri dalam wilayah kerja masing-masing yang
telah di tetapkan.
Memang kadang-kadang terjadi pembenturan nilai antara islam dan
adat istiadat tetapi toleransi diantaranya begitu kuat, karena siri
yang merekatnya didasarkan atas ketaqwaan kepada tuhan.
Begitu kuatnya wibawa dan toleransi tersebut,dapat terlihat pada
peristiwa penegakkan siri, yang dalam bentuknya yang ekstrim
adalah pembunuhan. Peristiwa tersebut dapat dihindari tanpa
menimbulkan konflik, yaitu dengan menyerahkan sepenuhnya
kepada parewa sara, untuk menangani pelanggaran-pelanggaran
siri yang datang meminta perlindungan dengannya. Sebaliknya
masyarakat maupun pampawa ade menyadari bahwa apabila
suatu kasus telah ditangani oleh parewa sara maka siri hukumnya
apabila memasuki dan mencampuri wilayah kerja orang/lembaga lain.
Apa yang telah diuraikan diatas memperlihatkan kita tentang
dua hal yakni
Keteguhan dan kekuatan masyarakat bugis memegang tradisi dan
kebudayaannya, terlihat masih eksesnya 4 bagian sistem Pangngaderreng
Keterbukaan dan persiapan menerima pembaharuan dari luar terlihat
adanya unsur syariat islam masuk kedalam sistem pranata sosialnya
yakni bagian keliama dari sistem Pangngaderreng
Keteguhan masyarakat bugis mempertahankan tradisi dan kemampuan
menata dan menatap hari kedepan seperti yang diuraikan diatas,ini
menjawab bahwa masyarakat bugis selalu siap menjawab semua
tantangan terhadap semua peluang yang ada dengan tetap berpijak
pada nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat bugis.

Repost : Komunitas Bugis Makassar
Sumber :http://lagaligo.net/2009/02/pangngaderreng-sebagai-harmonisasi-
antara-adat-istiadat-bugis-dengan-ajaran-islam/

==================================================================

Agama To Lotang Dalam kepercayaan Epos Suci LA GALIGO

Epos la galigo dalam sebuah epos sakral dimata masyarakat bugis
epos ini mengisahkan bahwa dewa utama yang disembah oleh
manusia (sebelum masuknya islam) adalah Patotoqe Atau Sang
Penentu Nasib yang bermukim di istana boting langiq atau kerajaan
langit. Patotoqe mengutus anaknya ke bumi yang bernama Togeq
Langiq atau yang di sebut sebagai Batara Guru. Kemudian Batara
Guru menikah dengan Sepupuhnya yang bernama We Nyiliq Timo
Dari Kerajaan Bawah Laut. Inilah yang merupakan Cikal Bakal dari
Raja-raja Dibumi. Dewa-dewa itulah yang disembah dalam kepercayaan
lama masyarakat bugis. Bahkan Dewata Seuae (Tuhan yang maha esa).

Sekelompok minoritas orang bugis, yang sebagian besar menetap Di Desa
Buloe Kabupaten Wajo, Dan Amparita Kemacatan Tellu Limpoe Kabupaten
Sidenreng Rappang Atau Sidrap adalah penganut agama To Lotang yang
masih konsisten mempertahankan Agama Leluhur Bugis Klasik dulu.
Menurut sejarahnya pada awalnya nenek monyang To Lotang berasal
dari tanah wajo. Ketika Agama Islam Masuk di wajo dan diterima
sebagai agama Kerajaan semua masyarakat kerajaan memeluk islam
kecuali Penduduk desa Wani yang menolak islam. Raja pun mengusir
mereka sebagain penduduk desa Wani menetap di desa Buloe
Kabupaten Wajo dan sebagian lainnya mengungsi ke Desa Amparita
Kabupaten Sidenrang Rappang (Sidrap).

Penganut agama To Lotang mempercayai adanya tuhan yang maha esa
yang mereka sebut Dewata Seuae. Menurut mereka kehidupan manusia
didunia ini adalah kehidupan periode kedua. Dan periode pertama yakni
periode jaman sewerigading dan pengikutnya. Kitab suci mereka adalah
La Galigo Dan Sawerigading adalah sebagai Nabi Mereka.

Kitab suci penganut agama To Lotang adalah La Galigo dan nabi mereka
yakni Sawerigading itulah kepercayaan klasik yang dijaga hingga kini
oleh masyarakat To Lotang. Seperti dalam epos la galigo pemimpin
agama tertinggi disebut Uwaq kepada nya lah segala persembahan
dan doa disampaikan, kemudian Pemimpin Agama atau Uwaq lah
yang menyampaikan permintaan-permintaan kepada sang dewata.
Di bawah Uwaq terdapat uwaq-uwaq yakni diistilahkan sebagai
uwaq pendamping dari pemimpin uwaq. Uwaq-uwaq pendamping
inilah yang membantu pemimpin uwaq atau ketua uwaq dalam
menjalankan tugasnya sehari-hari. Uwaq-uwaq pendamping ini
berjumlah 7 orang.

Penganut agama To Lotang mengakui adanya Mola Lelang atau
menelusuri jalan yang berarti kewajiban yang harus dijalankan
oleh penganutnya sebagai pengabdian kepada Sang Dewata Seuae.
Kewajib tersebut terdapat dalam 3 macam yakni :
1. Mappaenre Inanre (Membawa sesembahan Nasi)
2. Tudang Sipulung (Duduk berkumpul)
3. Sipulung (Berkumpul)
Kegiatan kegiatan itu dipimpin oleh uwaq dan dibantu oleh uwaq-uwaq
pendampingnya.

Ada dua macam aliran dalam agama To Lotang yakni To Lotang To
Wani dan To Lotang To Benteng. To Lotang To Wani melaksanakan
agama leluhur mereka secara murni, sedangkan To Lotang To Benteng
mengakui bahwa dia adalah agama Islam tetapi sehari-harinya
melaksanakan Ajaran agama To Lotang. Ajaran islam yang laksanakan
hanya sebatas acara perkawinan dan acara kematian.

Berikut pemaparan Kepercayaan dari dua Aliran To Lotang

To Lotang To Wani
- Mengaku tidak lagi mengikuti Sawerigading tetapi hanya mengikuti
ajaran La Pannaungi
- Taggilinna Sinapatie artinya Sebagai perubahan situasi dunia yang

dihuni oleh manusia baru setelah musnah
- Ada Periode Appengenna to wani, tidak ada Sabuqna
- Perkawinan menurut keyakinan adat sendiri
- Penyelenggaraan Mayat dengan cara sendiri
- Pusat ritus Sipulung di Perriq Nyameng
- Tempat kegiatan persembahan adalah Kuburan
- Tidak mengakui kalau Kepercayaan mereka Islam

To Lotang To Benteng
- Mengaku mengikuti ajaran Sawerigading
- Taggilinna Sinapatie diartikannya sebagai perjalanan Sawerigading ke langit
ke 7 susun dan bumi 7 lapis
- Tidak adanya Appengenna to wani tetapi mengakui Sabuqna yang
menggambarkan Sawerigading pulang ketanah 7 lapis untuk memegang
jabatan baru.
- Acara Perkawinan berdasarkan Agama Islam
- Penyelenggaraan Mayat Secara Islam
- Pusat kegiatan di sumur kecuali kuburan Uwattaq Matanre Batunna
- Secara Formal mengaku Islam


Sumber : http://lagaligo.net
http://lagaligo.net/2008/12/agama-to-lotang-dalam-kepercayaan-epos-suci-la-galigo-part-i/

http://lagaligo.net/2008/12/agama-to-lotang-dalam-kepercayaan-epos-suci-la-galigo-part-ii/

http://lagaligo.net/2008/12/agama-to-lotang-dalam-kepercayaan-epos-suci-la-galigo-part-iii/


==================================================================

Epos I LA GALIGO adalah kekayaan Sastra Dunia

La Galigo sebuah Naskah yang manuskripnya bisa mencapai 2851
halaman ukuran kertas folio. Yang menceritakan Awal mula kerajaan
bumi, Kisah Dewa-Dewi yang berasal dari kerajaan Langit dan kerajaan
bawah air, Kisah Percintaan Abadi, Serta semua kearifan lokal yang
terkandung dalam kebudayaan bugis klasik.

Tetapi dalam kebesaran sastra tulis yang sudah mendunia itu Naskah
La Galigo dapat di jumpai di beberapa negara. Naskah tersebut tidak
merupakan satu kesatuan yang utuh akan tetapi naskah tersebut terpisah-
pisah.
Hal inilah yang menjadi hambatan bagi para Peneliti Epos La Galigo.
Manuskrip La Galigo bisa di jumpai di Museum La Galigo di Makassar,
Di Perpustakaan Leiden di Belandan, Di Malaysia, dan manuskrip juga
masih bisa kita jumpai pada keluarga-keluarga bugis yang melestarikan
epos Tersebut.

Naskah tua yang harganya tak ternilai itu kebanyakan halamannya hasil
dari proses penyalinan (Bukan Naskah Asli) bukan hanya itu saja banyak
episode dalam naskah yang penting itu hilang dan membuat pembacanya
merasa kesulitan untuk menyambung cerita epos tersebut.

Begitu banyak mitos-mitos dalam naskah ini yang mungkin tidak pernah
kita fikirkan dalam akal sehat manusia tapi itulah kerendahan hati sebuah
epos suci yang di tuliskan dengan hati yang membuat para para pakar
budaya tanah air dan asing tergoda untuk mengungkap rahasi tersembunyi
dalam epos suci kebudayaan bugis klasik. Begitu banyak pakar
yang sudah meneliti epos tersebut tetapi yang mereka bisa ungkap
hanya saja episode Cinta yang terlarang yang dimana Sawerigading
mencintai saudara kembarnya yakni Tenriabeng yang terhalang oleh
Adat Istiadat Bugis dan perjalanan Sawerigading ke Cina. sedangkan
ada beberapa Pakar yang mencoba meneliti sumber awal terjadinya
Kerajaan Bumi Dari Turunnya Batara Guru memimpin Kerajaan Bumi
hingga proses terjadinya manusia pertama yang membuat banyak
persepsi yang berbeda-beda



 

( Sumber : http://lagaligo.net )

===============================================================