Minggu, 07 Oktober 2012

SIRIK DAN PEMBINAAN KEBUDAYAAN

SIRIK DAN PEMBINAAN KEBUDAYAAN

Prof. Dr Mattulada (seorang tokoh kebudayaan terkemuka) dan selain menjabat Dekan Fakultas Sastera UNHAS di Ujung Pandang, beliaupun adalah Ketua Dewan Kesenian Makassar (DKM). Pada medio tahun 1981, Prof.Dr.Mattulada dilantik menjadi Rektor Universitas Tadulako di palu Sulawesi Tengah. Salah satu tulisannya yang sangat menarik, adalah artikel tentang Sirik yang kami coba mengangkatnya, guna melengkapi buku Sirik dan Pacce ini.
Prof.Dr. Mattulada itu menulis antara lain sebagai berikut (Judul “Sirik dan
Pembinaan Kebudayaan”).
 
Pendahuluan                   Sirik dapt dipandang sebagai salah satu konsep cultural yang memberikan impact aplikasi terhadap segenap tingkah laku nyata. Tingkah laku itu diamati sebagai pernyataan atau perwujuda kebudayaan. Perwujudan dan kebudayaan, bukan lain kenyataan-kenyataan yang lahir dari permanusian alam, untuk manfaat sebesar-besarnya umat manusia.

Suatu konsep cultural,memantapkan diri dalam suatu sistem budaya. Sistem kebudayaan itu sendiri adalah rangkaian sejumlah konsep awbstrak yang bersemayam dalm pikiran warga terbanyak suatu persekutuan hidup.

Dalam arti Sirik apabila mengamati pernyataan-prnyataannya atau lebih konkrit mengamati kejadiannya berupa tindakan-tindakan,perbuatan,atau tingkah laku yang katanya dimotivasi oleh Sirik, maka akan timbul kesan bagi para pengamat,bahwa Sirik itu pada bagian terbesar unsurnya dibangun oleh perasaan,oleh sentimentality (perasaan halus),oleh emosi dan sejenisnya. Dan penafsir yang berpijak kepada melihat kejadian-kejadian itulah, timbul penafsiran atas Sirik itu misalnya: 1. Malu-malu,2. Hina,/aib,3. Dengki/iri hati,4 harga diri/kehoormatan,dan 5. Kesusilaan .
Cara melihat seperti itu tentu saj atidak salah, hanya saja kurang lengkap.,terutama apabila hendak mengamatinya dari sudut konfigurasi kebudayaan . konfigurasi kebudayaan,akan melihatnya dari totalitas atau keutuhan budinya manusia yang terwujud dalam tindakan –tindakan berpola.

Jadi tidakmelihatnya dari sudut kejadian yang berpisah,sesuatu itulah hendaknya dilihat dalm rangkaian suatu sistem yang berhubung-hubungan dengan sekalian sub-sistem yang mendukungnya.
Demikian pula hendaknya Sirik itu dilihat dalam suatu sistem budaya orang Bugis-
Makassar, agar dapat memahaminya secara lebih kompak.

Karena judul tulisan ini memberikan tekanan kepada Sirik dan pembinaan kebudayaan, maka satu kejelasan perlu disepakati lebih dahulu,tentang pembinaan kebudayan itu sendiri. Pembinaan kebudayaan yang dimaksud di sini,adalah pemantapan erah pertumbuhan kebudayaan yang mempunyai dimensi lebih luas mendukung ketahanan Nasional Bangsa Indonesia dalam membangun dirinya sebagai bangsa yang kuat dan besra dalam pergaulan antar bangsa.

Pembinaan kebudayaan dengan demikian bukanlah sekedar membangun tembok- tembok yang mempersempit ruang gerak berpikir dan berinovasi tentang eksistensi Bangsa Indonesia agar dapat menjadi bangsa yang besar, lagi terhormat dalam pergaulan antar- bangsa,melainkan terbangunnya suatu kebudayaan bangsa Indonesia yang di dalamnya terbangun dan terpelihara harkat dan martabat manusia orang seorang makhluk Allah yang antara sesamanya makhluk manusia mempunyai kedudukan yang sederajat.
Dari sudut inilah relevansi konsep Sirik orang Bugi- Makassar dibicarakan karena
diperkirakan dapat dijadikan daya dorong yang kuat dan berguna bagi perkembangan
kebudayaan di Indonesia,setidak-tidaknya bagi orang Indonesia yang hidup dalam
masasyarakat dan kebudayaan Bugis-Makassar.
Sirik Dalam Konteks Kebudayaan Pangngandereng

Tata hidup orang seorang yang menciptakan tingkah laku individual berpola dan tata hidup dalam masyarakat yang membangun sistem sosial pada orang Bugis, itulah yang kita namakan Pangngadereng (Bugis) atau Pangngadakkang (Makassar). Kalau itu kita jabarkan menurut isinya ,maka itulah sesungguhnya makna kebudayaan pada orang Bugis-Makassar. Isi Pangngadaeraeng atau hakekat kebudayaan orang Bugis-Makassar, sepanjang pengetahuan kita wariskan oleh sejarah sampai dengan permulaan abad ke XX terdiri atas lima anasir yang anatara satu sama lainnya sebagai satu sistem merupakan panduan yang utuh.
Unsur-unsur itu ialah:(1). Adek,(2).BNicar,(3) Warik,(4) Rapang, dan (5) Sarak.

Kelima analisir Pangngaderang itulah yang akan menjadi sumber sekalian tingakah- laku dalam membangun segenap aspek kebudayaan rohaniah dan kebudayaan pisik. Didalam aplikasi kelima anasir itu untuk menjalinnya kedalam sau sistem yang utuh, agar antara sistem kepribadian, sistem kemasyarakatan dan sistem budaya (pangngadereng) terjalin keserasian dan keseimbangan dalam memberikan dinamik dalam kehidupan, maka terdapatlah sesuatu yang merupakan inti, atau merupakan ethos, atau merupakan alat integrasi, atau apa saja namanya yang menjadikan kebudayaan itu hidup dan dikembangkan dengan gairah oleh para pendukungnya, yaitu orang-orang yang terikat pada pola kehidupannya oleh kebudayaan itu. Tiap-tiap kebudayaan dalam hidupnya mempunyai semacam inti yang menjadi pusat motivasi bagi perkembangannya.

Kebudayaan Eropa modern umpamanya menjadikan kebebasan sebagai inti perkembangan dari kehidupan kebudayaan Eropa. Ethik Kristen, menurut Max Weber Sosiolog yang kenamaan itu dalam wujud Shame Culture menjadi inti dorongan lahirnya kemajuan peradaban dunia barat.

Maka apabila mengamati dengan seksama setiap dambaan hati nurani orang Bugis- Makassar, yang memahami sirik sebagai motif yang amat dalam dari segenap gerak hidupnya berpikir, merasa dan berprakarsa, maka pada hemata kita sirik itu, tidak lain daripada inti, ethos atau alat integrasi dan pangngadereng mereka, sirik itulah inti kebudayaan orang Bugis Makssar. Sebagai inti kebudayaan, niscaya dari sirik itulah berkembang segenap isi kebudayaan berupa lima anasir yang disebut di atas.

Sebagai isi kebudayaan, sirik itu dengan sendirinya tidak semata-mata mengandung perasaan. Didalamnya juga terkandung dua potensi rohaniah lainnya yang menjadi potensi tiap-tiap kebudayaan, yaitu pikiran dan kemauan, disamping perasaan itu tadi.

Kalau secara teoritis kita dapat menerima bahwa sesuatu keutuhan dalam satu sistem akan berkelanjutan dengan baik, bilamana segenap sub-sistem yang mendukungnya berjalan dengan seimbang, maka kitapun niscaya dapat menerima bahwa proses degenerasi sesuatu sistem akan terjadi, bilamana salah satu unsur dalam sistem itu mengalami kepunahan. Apabila salah satu unsur dalam sistem itu punah, maka potensi atau daya hidup itu akan memusatkan diri pada unsur yang masih bertahan.

Teori ini, kita coba gunakan pada proses degenerasi pangngadereng orang Bugis- Makassar, yang dialaminya dalam sejarah selama kurang lebih seabad berselang. Sirik sebagai inti pangngadereng itu menyatakan diri dengan amat keras pada salah satu isi pangngadereng yang masih mampu bertahan. Sejarah kebudayaan orang Bugis-Makassar dalam arti sejarah keutuhan pangngadereng, sudah berakhir sejak negeri ini mengalami keruntuhan dan kehilangan kemerdekaannya.
Secara sederhana dapat dikatakan unsur Adek, Bicara, dan Sarak dalam arti
sesungguhnya sudah berakhir atau kehilangan peranannya yang amat menentukan. Unsur satu-satunya yang masih dapat hidup atau berkelanjutan dalam kepincangan adalah Warik, yaitu unsur pangngadereng yang mengatru jenjang kehidupan dalam pembinaan keluarga, diantaranya soal kawin-mawin. Karena inilah satu-satunya unsur pangngadereng yang masih dipunyai dan masih dapat dikuasai, maka ke dalam unsur itu tercurah segenap kepekaan kehidupan orang Bugis-Makassar. Unsur itu dijaga sebagai batas terakhir dari milik peradaban yang ada, karena unsur lainnya belum lagi membawa nilai ganti yang setara dengan yang hilang.
Demikianlah, maka dalam keadaan perjalanan unsur Warik yang sudah amat pincang
itu pangngadereng yang disebut sirik menyatakan diri dengan amat intensif.

Dalam hal kawin-mawinlah selama kurang lebih seabad berselang, sirik itu menyatakan diri. Sirik diberi batasan semata-mata kepada perbuatan-perbuatan yang bersangkut-paut dengan urusan perkawinan, lari kawin, tomasirik dan pembunuhan yang membawa dendam berkelanjutan. Sirik deberi arti sebagai peluapan perasaan yang tidak membawa akibat-akibat perbuatan yang merendahkan martabat kemanusiaan.
Sirik Sebagai Sumber Motivasi

Apa yang mendorong seseorang warga masyarakat Bugis-Makassar untuk pada suatu ketika dalam hidupnya berbuat sesuatu yang amat nekad, memilih menyerahkan milik hidupnya yang terakhir, yaitu NYAWA, acapkali dikembalikan kepada konsep yang mereka namakan sirik. Ia dapat atau rela mengorbankan apa saja untuk tegaknya sirik. Katakanlah itu satu kesadaran tentang nilai MARTABAT yang didukung oleh tiap-tiap orang dalam tradisi kehidupan masyarakat Bugis-Makassar. Katakanlah itu satu kesadaran kolektif yang amat peka, dibebaskan kepada tiap-tiap orang anggota persekutuan hidup untuk membangunnya untuk mempertahankan dan menegakkannya.

Ada berbagai ungkapan dalam kepustakaan Lon-tara Bugis-Makassar yang menunjukkan bahwa sirik bukanlah suatu sikap yang semata-mata berpangkal dari keluapan emosi. Dalam persekutuan hidup, desa, wanua ataupun tanah, niscaya terdapat pemimpin dari persekutuan itu. Tiap-tiap pemimpin menurut jenjangnya masing-masing, menjadi orang pertama tempat sirik itu harus terpelihara, dikembangkan dan dibela. Tiap-tiap orang anggota persekutuan yang dipimpinnya, merasa diri bersatu dengan pemimpinnya karena sirik yang dimilikinya bersama. Antara pemimpin dengan yang dipimpin terikat oleh satu kesadaran martabat diri yang menimbulkan sikap pesse(Bugis) = Pacce ( Makassar) yang dapat disebut solidaritas yang kuat.

Masing-masing orang yang ditentukan dan mengetahui hak-hak dan kewajiban- kewajiban masing-masing yang mendapat sandaran dari sirik dan pacce. Itulah yang melarutkan tiap-tiap orang pribadi mendukung sirik melebur diri untuk kepentingan bersama. Pacce atau pesse itulah yang mendorong dalam kenyataan adanya perbuatan tolong- menolong, adanya tindakan saling membantu, adanya pembalasan dendam, adanya tuntut bela dan segala kenyataan lain yang mirip pada solidaritas yang mendapatkan hidupnya dari konsep sirik. Pemimpin kaum terhina berarti sirik atau martabat negeri terhina, tiap-tiap orang terhina siriknya. Maka pesse atau paccepun muncul menjadi pendorong untuk menuntut bela.

Anak negeri terhina, berarti sirik (Martabat) negeri ternoda. Pemimpin kehinaan, maka pesse atau pacce mendorong sang pemimpin untuk bertindak. Apabila antara pemimpin dan yang dipimpin sudah tidak terdapat sirik bersama yang masing-masing mengetahui hak dan kewajiban untuk memikulnya, maka pesse atau pacce itupun tidaklah akan menjadi motif untuk perbuatan dan tindakan masing-masing. Dalam pesse atau pacce itulah melarut tiap- tiap pribadi didalam kesatuan antara pemimpin dengan yang dipimpin.

Sirik menjadi sumber dari panggilan pesse atau pacce itu. Karena siriklah yang menimbulkan kewajiban masing-masing untuk saling memelihara batas, sehingga tidak saling cegat-mencegat daulat-mendaulat.

Di sini terletak aspek kesadaran atau pikiran yang member batas-batas rasional dari sirik itu. Bahwa masing-masing orang sepadan dengan siriknya, milik pribadi dan kepunyaannya, dibatasi oleh kesadaran adanya pesse atau pacce, menimbulkan kewajiban untuk bekerja sama, bantu membantu, bersetia kawan dalam lapangan-lapangan pekerjaan yang menyangkut sirik yang bersama-sama mereka miliki, dan penghinaan atas seseorang, berarti penghinaan atas semua. Lapangan-lapangan kehidupan yang menempati posisi demikian , disitulah perbuatan atau tindakan solidaritas berlangsung dengan intensifnya solidaritas seseorang terhadap kaumnya, merupakan totalitas yang pada oleh dorongan sirik.

Konfigurasi kebudayaan yang demikian, sesuai dengan tabiatnya menonjolkan kedepan nilai-nilai kekuasaan, solidaritas, seni dan religi, sebagai nilai yang amat tinggi. Nilai-nilai dari lapangan itu memotori sekalian sikap yang tidak cepat berkembang, dalam gambaran kemasyarakatannya, di sana terdapat persekutuan yang komunalistik. Persekutuan berada di atas kepentingan individu. Penonjolan prestasi pribadi dipandang perbuatan yang tercelah. Orang mempergunakan juga pikirannya, tetapi pikiran itu haruslah sesuai dengan kepentingan perskutuan, kepentingan kommun. Penajaman pertanyaan sirik berupa tindakan- tindakan yang dianggap melanggar ketertiban atau perbuatan-perbuatan a sosial yang orang tafsirkan sebagai perbuatan atas nama sirik sangat erat pertaliannya dengan proses degenerasi pangngadereng di satu pihak dengan proses perobahan sosial yang menyerap nilai-nilai baru.

Dalam kegoncangan nilai-nilai dan rontoknya hamper segenap aspek kebudayaan pangngadereng terjadilah berbagai ragam isolasi sosial yang mencoba hendak menyelamatkan sisa peradaban yang masih dipunyai. Sesuatu kaum mengurung diri terhadap kaum yang lain. Stereo-type sesuatu kaum atau golongan kerabat tertentu, terhadap kaum atau golongan lain dipertajam dengan batas-batas yang sekeras mungkin. Sirik menjadi symbol kaum yang semakin menyempit dan semakin sempurnalah kelunturan maka sirik yang pernah menjadi daya dorong bagi pola tingkah laku yang bermakna positif bagi kehidupan kebudayaan pangngadereng orang Bugis-Makassar.

Kejadian-kejadian berupa kasus-kasus nyata yang member makna betapa negatifnya sirik itu, memanifestasikan diri. Hal demikian itu pun tak salah, karena seseorang akan memberikan makna kepada sesuatu konsep, menurut kenyataan yang ia jumpai dan kenyataan itu orang menyebutnya sebagai konsep itu sendiri. Orang pada umumnya melihat apa adanya. Orang tak mudah dipaksa untuk memikirkan bagaimana mestinya. Sirik sebagai inti kebudayaan pangngadereng, telah mencair maknanya, bersama dengan tidak berperanannya secara utuh anasir pangngadereng itu sendiri. Satu struktur sosial yang dihidupi oleh fungsi pangngadereng sudah lama redup, dengan demikian, inti hidupnya pun masih terasa oleh sebahagian orang yang masih hidup, dicoba dengan berbagai dalih dan perbuatan untuk memberinya makna dan pembenaran. Makna yang diberikan itu adakalanya baik dan positif tetapi seringkali juga buruk dan amat negative.

Memang, sesuatu yang disebut inti, atau sesuatu apalagi kalau ethos itu, ethos kebudayan, akan bertahan lama hidupnya, walaupun ia tidak fungsional lagi, karena tak ada struktur yang medukungnya. Akan tetapi karena ethos itu dapat bertransformasi kedalam suatu struktur baru yang menjelma dalam perubahan-perubahan, maka adalah tidak mustahil kalau ethos itu dapat berfungsi kembali, karena dapat mengambil tempatnya yang tepat dalam struktur baru itu. Demikian pula adanya dengan sirik sebagai ethos kebudayaan pangngadereng. Walaupun struktur pangngadereng yang mendukungnya tidak utuh lagi mendukung fungsi-fungsi sosial, namun satu struktur baru yang lahir dari perobahan- perobahan, belum lagi dapat memantapkan sesuatu ethos baru yang dapat menggantikan ethos sirik yang masih bergentayangan dalam kehidupan orang Bugis Makassar, sampai
zaman Mutakhir inipun. Karena itu, sirik masih dipersoalkan sebagai sesuatu yang dipandang masih potensial untuk kebudayaan yang sedang dalam pembinaannya, seperti kebudayaan nasional Bangsa Indonesia,

Suatu kebijaksanaan pembinaan kebudayaan, mencoba mengaitkan masa sialm dengan jalan mentransformasikan nilai-nilai zaman lalu itu ke masa kini,agar memperolehnya akar pertumbuhan yang membumi, artinya berpijak kepada realitasnya sendiri menuju masa depan dengan keperibadian yang kuat.
Barangkali ethos sirik dapat menemukan tempatnya dalam bertransformasi ke struktur
masa kini, kita coba melihatnya pada bagian berikut.
Sirik Sebagai Ethos Kebudayaan

Ethos kebudayaan berperan sebagai dinamisator dalam hidup sesuatu kebudayaan. Apapun nama kebudayaan itu, niscaya ada intinya yang member arti yang pasti bagi kebudayaan itu! Ia menyentuh esensil keberadaan sistem yang menyertai kehidupan itu sendiri. Ia mempengaruhi temperamen tiap-tiap orang, ia memberikan warna pada tata- kehidupan dalam persekutuan hidup kemasyarakatan.

Sirik dalam arti demikian, adalah mengandung nilai-nilai universal. Ia dipunyai oleh semua umat manusia yang telah membina kebudayaan sepanjang sejarah kemanusiaan. Semua kebudayaan yang dimiliki oleh umat manusia di muka bumi ini mempunyai sirik denga sebutannya masing-amsing, dan aksentuasi pernyataan-peryataannya yang berbeda pada tiap kebudayaan ruang dan waktu. Semua kebudayaan mendapatkan daya hidupnya dari tripotensi rohaniah yang sama bagi seluruh umat manusia. Hanyalah cara menggunakan potensi itu berbeda-beda antara setiap golongan manusia, berbeda menurut waktu dan ruang. Tetapi potensi itu berkesinambungan, yang acapkali dalam kesinambungannya itu mengalami re-inovasi, re-interpretasi malah re-konstruksi. Ia memberikan gairah dalam kehidupan untuk membanting tulang, bekerja keras, menciptakan semangat hidup, yang mendorong kepada kemajuan.

Gairah hidup itu baru mungkin berkembang, bila tersedia sarana yang cocok bagi pertumbuhannya. Bilamana tidak, maka ia akan menjelma sebagai kekuatan liar yang semena-mene.

Selama kurang lebih satu abad berselang, sirik telah menjelma sebagai kekuatan liar yang semena-mena, karena ketiadaan sarana yang cocok bagi pertumbuhannya. Ia memberontak terhadap segala ikatan yang meronrongnya . ia bersikap agresif terhadap barang sesuatu yang asing baginya. Ia tidak mengalami proses transmisi dan transformasi sebagaimana layaknya sesuatu nilai diwariskan dari generasi ke generasi. Karena itu ia hanya mengalami degenerasi. Proses pewarisan nilai adalah bahagian dari kehidupan budaya yang terselenggara dengan cermat Melalui proses edukasi, kesinambungan pendidikan. Dan inilah yang mandek selama berpuluh tahun dalam zaman kekacau-balauan nilai.

Perlu pula diperhatikan bahwa sirik dalam proses penilaian bukan hanya menyangkut proses kebudayaan. Nilai bukan hanya inti daripada benda kebudayaan, melainkan proses penilaian dan nilai-nilai adalah potensi integrasi baik pribadi maupun masyarakat. Proses penilaian dan nilai yang menjadi penentu adalah juga dengan sendirinya potensi yang menentukan konfigurasi proses penilaian dan nilai pribadi serta masyarakat yang berpola sebagai sistem kepribadian dari sistem kemasyarakatan. Proses penilaian dan nilai-nilai yang lain, sedikit atau banyak tuduk kepada tujuan, logika dan kenyataan dari proses penilaian dan nilai-nilai yang menentukan itu menjadi norma yang tertinggi atau etik dari seluruh konfigurasi, baik dalam sistem kepribadian maupun dalam sistem kemasyarakatan.
Demikianlah kalau kita telah mencoba menempatkan sirik sebagai nilai terdalam dari
kebudayaan pangngadereng sebagai sistem kebudayaan dan yang menurunkan sistem kemasyarakatan serta sistem kepribadian, maka dapatlah diungkapkan penjelasannya, bahwa : yang dimaksud dengan sistem penilaian atau nilai pada seseorang individu diingrasikan, diorganisasikan oelh tujuan, logika dan kenyataan dari proses penilaian atau nilai yang menjadi etik pribadi. Oleh etik pribadi itu yang terjelma dalam kata hati atau hati nurani tiap-tiap orang, kelakuan tiap-tiap pribadi mendat tujuan, norma dan organisasi untuk pertumbuhannya yang berbeda dari tingkah laku dari individu yang lain. Etik pribadi yang berpusat pada kata hati itu disebut etik otonom, dan oleh orang Bugis-Makassar disebut sirik.

Manusia dengan kebudayaannya sebagai kesatuan menilai dan menjelma makan nilai- nilai. Karena itu massa dalam masyarakat, individu itu mempunyai sifat Dwi-ganda ; (1) sebagai pribadi yang beretik otonom, berkecenderungan kepada kebebasan, tak ingin diganggu. Ia menjadi alat dinamisator dan innovator pembaharuan kebudayaan. (2) sebagai anggota masyarakat ia beretik heteronom ia tak mampu hidup menyendiri, ia menyatukan diri dengan persekutuan dan berpartisipasi ke dalamnya. Ia berkecenderungan untuk mempertahankan stabilitas sosial. Etik sosial itu yang bersifat heteronom terjelma dalam adat istiadat; kebiasaan maupun undang-undang. Adat istiadat, kebiasaan dan undang-undang inilah yang merupakan norma-norma yang menentukan kelakuan individu sebagai anggota sesuatu masyarakat.

Etik sosial yang lahir dari sistem kebudayaan pangngadereng telah mengalami kerontokan, dan etik sosial muncul dengan adat istiadat baru, kebiasaan baru dan juga undang-undang baru yang hendak menetukan kelakuan individu Bugis-Makassar, yang masing-masing dilekati oleh etik otonom sirik yang niscaya diperlukan dengan intensif oleh seseorang yang merasa diri orang Bugis-Makassar, maka terjadilah ketidak seimbangan. Norma-norma baru berupa perundang-undangan yang mengatur individu tak mampu meresapi etik otonom sirik yang kini didukung oleh indvidu saja. Jelaslah bahwa ada sesuatu yang harus diperbaharui. Salah satu diantaranya apakah etik individu yang otonom harus berobah, atau etik sosial yang heteronom harus berpijak pada nilai-nilai yang berpangkalan kepada inti kebudayaan yang menjadi ethos kebudayaan bangsa.
                                                                                                                                                           
Penutup Kita sudah menjelajahi sekadarnya proses kehidupan dan kehadiran sesuatu konsep yang disebut sirik. Sirik sebagai inti dan ethos pangngadereng, telah memindahkan poros penekanannya kepada etik indiidu yang otonom. Pada seginya yang positif, asal saja ia diberikan struktur yang sesuai dengan daya hidupnya, ia dapat menjadi potensi dorong yang kuat untuk mendinamisasikan sesuatu pertumbuhan kebudayaan.

Suatu struktur yang sesuai dengan tabiat etik otonom individu sirik adalah yang mempunyai akar yang membumi pada peradaban yang tidak asing baginya. Satu orientasi nilai yang berpijak pada kebudayaan sendiri perlu dikembangkan dengan teratur melalui pendidikan penelitian yang tidak boleh dikerjakan secara acak-acakan.

Pada hemat kita, sirik pada orang Bugis-Makassar, kalau itu benar masih potensial untuk dapat menemukan re-orientasi dan transformasi ke dalam interpretasi yang dapat menekapi Ethos kebudayaan Nasional Pancasila, yang segenap unsur-unsurnya merupakan darah-daging pibadi sirik, maka sirik itu niscaya dapat menjadi daya dorong yang kuat bagi pembinaan kebudayaan Indonesia.

Apalagi orang Bugis-Makassar, dapat meresapi dan menghayati Pancasila sebagai sirik dalam jelmaan etik sosial yang heteronom maka etik individu otonom yang disebut sirik itu akan menemukan tanah subur bagi pertumbuhannya.  
                                                                                                                                         PANDANGAN ISLAM TERHADAP SIRIK

Buya HAMKA (almarhun) pernah bermukim di Sulawesi Selatan pada tahun 1931 sampai tahun 1934. Sekitar tiga tahun sebelum Buya HAMKA berpulang ke Rahmatullah, beliau berkenan memberikan ceramah perihal pandangan islam terhadap sirik yang disampaikan didepan peserta seminar SIRIK di Ujung Pandang. Penulis merasa berbahagia sekali, karena sempat dengan mata dan telinga sendiri mendengar langsung uraian Buya HAMKA tersebut.karena ketika itu penulis bertugas mangcover jalannya seminar SIRIK tersebut, sebagai seorang journalist. Betapa mengagumkan Buya HAMKA dalam gaya dan penampilan serta materi-materi uraiannya dalam mengupas aspek-aspek SIRIK tersebut, ditinjau dari sisi pandangan islam. Melihat materi-materi buah pikiran almarhum Buya HAMKA tersebut, sebagai seorang tokoh yang pernah bertahun-tahun hidup ditengah-tengah penduduk Bugis-Makassar (Sulawesi Selatan ), bumi dimana lembaga SIRIK tersebut tumbuh sebagai lembaga masyarakat, maka penulis merasa perlu mengabdikan dan menyebarluaskan atau mengamalkan uraian Buya HAMKA tersebut, guna dieariskan kepada generasi pelanjut dalam kerangka penggalian Antropologi Budaya Bangsa. Pendapat Buya HAMKA tersebut antara lain sebagai berikut:

Pada tahun 1931 saya telah mulai masuk kedalam negeri Makassar, Bugis, Mandar, Toraja. Usai saya ketika itu baru 23 tahun, masih seorang anak muda. Pada waktu itu belumlah saya mengerti bagaimana sirik yang ada pada jiwa keempat suku bangsa itu. Yang mula saya rasakan adalah kehormatan yang tinggi kepada Guru terutama Guru Agama. Guru Agama disebut: Anre Gurutta atau Gurunta. Bila saya duduk berhadapan dengan murid- murid, mereka akan duduk dengan tafakkur dan merasa tidak akan bercakap sedikitpun jua kalau tidak saya ajak. Perkataan saya yang kelusr akan didengarkan dengan penuh hormat, sekali-kali tidak ada yang akan dibantahkan. Semua perkataan saya disambut dengan ucapan : “saya! Saya”.

Demikianlah pula saya lihat apabila mereka berhadapan dengan Karaeng, Maradia, dan dengan pemimpin-pemimpin mereka. Mereka akan bersikap hormat. Dan hormat mereka kepada Ulama, sama dengan hormat mereka kepada Raja dan orang-orang besar.

Setelah berbulan-bulan saya tinggal di Makassar mulailah saya mendengar tentang adanya adat yang dinamai sirik itu. Mulanya saya bertanya dalam hati, apa kepada orang- orang yang lemah berlaku hormat, kepada Karaeng dan Ulama akan terhadap kekerasan budi?

Pada tiap-tiap pinggang pada masa itu saya didapati ada badik. Hamper semua orang memakai badik, bercelana pendek, berlenso panjang, diatasnya memakai baju jas. Lalu saya mendapat keterangan beberapa pantangan yang tidak boleh dilanggar dan kebiasaan- kebiasaan pada orang Bugis-Makassar terutama dari almarhum Engku Abdul Wahid Gelar Kari Mudo, yang dibuang Belanda ke Makassar dari Minangkabau pada tahun 1909. Umur saya pada waktu itu baru satu tahun. Beliau dibuang karena berontak kepada Belanda di Kamang Bukittinggi. Nasehat beliau ialah “jangan mengangkat kaki dimuka orang –orang Aceh; jangan menyentak badik dimuka orang Bugis; jangan dipegang kepada orang Minang dengan tangan kiri”. Dan kata Engku Kari Mudo : “ orang Makassar menamai SIRIK, orang Minang menamai PANTANG.

Ketika kongres Muhammadiyah ke-21 pada tahun 1932, guru Salmun seorang anak Makassar mengajarkan lagu sambutan kongres dalam bahasa Makassar yang masih saya ingat ialah baitnya yang pertama:
“ Salloma majannang tinroh
Kumbangung ka tulu-tulu
Nampama’ anne
Enteng mangema’ pira’nyu....”

Seterusnya diucapkanlah sambungan nyanyian itu dalam bahasa Makassar yang penuh
sastera, yang saya ingat Cuma artinya yaitu:
“Bila perahuku telah berlayar
Dia tidak mengenal pulang lagi
Biar parah tiangnya di laut
Lebih baik tenggelam daripada pulang....”
Tena motere...
Kassipallui motere...


Pada kongres itu pula, saya melihat Almarhum Haji Abdullah pemimpin besar Muhammadiyah di daerah ini naik podium dan berpidato di dalam bahasa Bugis, menerangkan bahwa mati didalam mempertahankan Agama Allah adalah mati yang paling mulia dan bercita-cita supaya Agama Islam tegak di negeri ini adalah hidup yang berarti. Walaupun hidup beratus tahun, kalau tidak mempunyai cita-cita, samalah artinya dengan mati walaupun badan masih hidup.

Dari keterangan yang diberikan oleh almarhum Engku Abdul Wahid gelar Kari MUDO yang dibuang Belanda ke Makassar dan dari mendengar nyanyian pembukaan kongres oleg Guru Salmun dan mendengarkan isi pidato Almarhum Haji Abdullah yang sangat hebat dalam kongres Muhammadiyah ke 21,dan membaca buku Tahfatun Nafis karangan Raja Haji Ali di Riau keturunan Bugsi, mulailah saya mengerti apa yang dimaksud dengan SIRIK di Bugis dan Makassar, di Mandar dan Toraja. Yaitu bahwa orang Bugis dan Makassar, Mandar dan Toraja, adalah orang yang menjaga Maru-ah-nya : Memelihara harga diri baik didalam sikap hormatnya kepada orang lain ataupun didalam kerendahan hati dan tawadhu’. Dia bersedia memuliakan orang tetapi dia jangan dihinakan, dia mau memikul yang berat, menjinjing yang ringan tetapi sia jangan dianggap rendah. Tidak ada yang lebih berharga dari pada dirinya sebagai manusia. Disinilah timbul pepatah:
Ma tam papuang timukku, temmatangpapuang gajakku ( Mulutku bias berkata tuan, tetapi kerisku tidak). Atau orang Makassar berucap : Bawaku ji akkaraeng, badikku tena nakkaraeng ( Hanya mulutku yang bertuan, tetapi badikku tak mengenal tuan).

Sebab itu apabila keempat-empat suku bangsa ini menyisipkan badik pada pinggangnya bukan berarti bahwa dia akan menikam orang lain melainkan dia akan menjaga siriknya, menjaga kehormatan dirinya. Apalagi kehormatan itu yang diganggu oleh orang lain. Itu sebabnya maka menjadi sirik atau pantang menyentak badik tidak akan ditikamkan.

Tadi saya katakana bahwa tabiat-tabiat seperti ini bukanlah terdapat pada suku Bugis dan Makassar, Mandar dan Toraja saja tetapi terdapat pada tiap-tiap suku bangsa di seluruj Indonesia . bahkan terdapat juga pada bangsa-bangsa lain tahu akan harga diri. Cuma timbul kesalahan, karena tidak ada pendidikan dan pemeliharaan yang baik. Saya katakana ada pada segala bangsa, sebab tiap bangsa-bangsa mempunyai sirik. Pada bangsa Belanda pun ada sirik. Kita mengenal apa yang mereka sebut Beleideging atau penghinaan, merusakkan nama baik, seseorang yang merasa nama baiknya dirusak dizaman dahulu itu, baik meminta Duel dengan orang yang dianggapnya merusak namanya itu, baik dengan mati pistol atau dengan pedang.Dan dia rela menerima mati atau kalah dari musuhnya dalam Duel tersebut sebab
dengan demikian dia telah membela harga dirinya.

diteruskan dating seorang anak member tahu bahwa saudara Hambali telah meninggal baru kira-kira lima menit yang telah lalu. Maka semua kamipun pergilah melihat jenazah beliau di rumahnya. Dadanya masih panas karena baru saja meninggal dunia, seorang saudara perempuannya baru saja kembali dari sekolah siang tadi ia menangis, kami semuanya termengung menyaksikan kejadian ini dan saya teringat kembali akan perkataannya tadi siang; “ini sirik tuan !”.

Dari sangat kerasnya menahan hati sampai jiwanya melayang, sesudah kejadian itu tuan Mansyur mengulang kata-katanya kepada saya : “ kalau perbuatan saya ini salah, saya bersedia tuan tampar muka saya dengan terompa tuan-tuan , saya akan menyerah”.perkataannya itu saya tidak balas saya Cuma tersenyum saja.
Tuan Mansyur ya mani maklum bahwa senyuman saya adalah senyum setengah mati.

Satu setengah bulan kemudian itu saya mengirim surat kepada pengurus Muhammadiyah berhubung karena kesehatan anak, saya memutuskan buat pulang kembali ke kampung saya di Meninjau, Sumatera Barat . yaitu pada januari 1934.
Dengan air mata berlinang tuan Mansyur Yamani melepas ke kapal dan masih saya
senyum.
Dan kira-kira enam bulan dibelakang H.Abdullah berkirim surat minta dating
kembali.saya menjawab : “ terima kasih”. 
***********                                                                                                                                             Cerita yang kedua ini baru saja kejadian di Jakarta. Seorang yang pekerjanya menjadi
tukang patri yang bernama Idris berasal dari sebuah negeri Minangkabau.

Seorang kapten TNI berasal dari jawa tengah mengupahkan sesuatu barang kepada tukang patri itu menurut penjanjian yang telah ditentukan bahwa setelah tiba waktunya untuk menyerahkan barang-barang itu kembali, si kapten belum juga datang menjemput barang- barangnya sehingga telah lama janji terlampaui. Pada suatu hari diapun dating padahal sudah terlalu lama dari janji yaitu sudah beberapa bulan berlalu. Lalu si tukang patri tadi mengeluarkan barang-barang kapten tetapi ada sikap dari si kapten itu yang tidak menyenangkan hatinya. Dan ditunjukkan macam-macam celanya maka menjawablah si tukang patri sambil mengeluarkan surat perjanjian itu. Dia berkata bahwa apa saja yang dikehendaki telah dipenuhi oleh si tukang patri itu. Hanya si kaptenlah yang tidak menepati janji. Mendengar jawab yang demikian rupanya si kapten salah terima dan dia berkata: “ jangan menjawab begitu kasar kepada saya engkau tahu bahwa saya adalah kapten TNI. Saya banyak keperluan lain dari pada menjaga janji pada engkau, siapa engkau.”.

Dengan sangat tenang tuakng patri menjawab “ mangapa bapak tanyakan lagi pada saya, sedang dari dulu bapak sudah tahu bahwa saya tukang patri. Hidup saya Cuma makan upah, kalau cocok harga menjadi, kalau tidak tidak apa. Tetapi meskipun saya tukang patri, saya manusia bapak. Saya tahu harga diri, kalau bapak berjalan lurus berkata benar. Saya sengan kepada bapak, baik bapak kapten atau tukang patri sebagai saya”.

Dengan sangat marahnya si kapten telah mengangkat tangan hendak memukul si tukang patri. Untung saja dia membawa pistol. Tangan tangan si tukang patri mangankat tangan si kapten yang hendak memukulnya itu dan memutarnya kebawah. Dan untunh pula ditempat itu banyak orang-orang lain yang dapat memisahkan mereka. Tetapi si tukang patri masih sempat bercakap sekali lagi “ karena saudara kapten tidak membawa senjata, biar saya yang beri senjata dan beramuk kita di sini. Saya menerima halal, bukan menjual diri”.

Maka didalam pertimbangan saya, baik kematian saudara Hambali dengan tiba-tiba atau sikap saudara Idris mengangkat tangan si kapten adalah dari kesadaran harga diri. Yang disebut oleh orang-orang Bugis Makassar, Mandar dan Toraja sirik yang disebut oleh orang
arab syaraf. Yang disebut oleh nabi Muhammad SAW “AL-Hayaan Minal Imaani”. (malu itu
adalah bagian dari iman).

Maka terhadap masalah sirik yang menjadi problema di Bugis Makassar, Mandar dan Toraja sekarang ini dan pada suku-suku bangsa Indonesia pada umumnya, terutama pada kaum muslim bukanlah menghapuskan sirik melainkan mempertahankannya menurut budi bahasa yang tinggi dan luhur. Menurut hukum mental dan moral. Mental menurut penilaian masyarakat , moral menurut penilaian hidup beragama, sehingga seluruh bangsa Indonesia dalam jabatan apa saja harusnya mempunyai sitik yang sejati. Kalau sirik yang sejati tidak ada niscaya kita akan dijajah orang kembali, bukan saja penjajahan dari bangsa asing bahkan dari golongan yang kuat kepada yang lemah, dari pada golongan yang merasa dirinya berkuasa kepada golongan yang tidak mempunyai kuasa apa-apa dari keadilan sejati dan kebenaran sejati.
Maka kalau tidak berani lagi mempertahankam keadilan dan kebenaran berartilah
bahwa diri telah punah, dan punahlah kemerdekaan.

Sebagai penutup terkenglah saya ucapan Kyai H.Mas Mansyur dalam kongres Muhammadiyah di Makassar ke XXI tahun 1932: “ saya kagumi keberanian orang Bugis dan Makassar menghadapi maut, sehingga dari karena bertengkar pasal uang sepuluh sen mereka bias berbunh-bunuhan. Saya pujikan keberanian menghadapi mati itu. Tetapi alangkah baiknya kalau dia pergunakan untuk cita-cita yang lebih tinggi. Misalnya untuk kemuliaan tanah air dan bangsa kita dan ketinggian agama kita. Sehingga sepadanlah harga kematian dengan harga yang dipertahankan”.
                                                                                           
Sumber :
*http://www.scribd.com/doc/24317027/Menggali-Nilai-nilai-Budaya-Bugis-makassar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar