SISI LAIN PANDANGAN PERIHAL “SIRIK”
Pada
dasarnya sirik itu, tiada lain suatu kehormatan, suatu nilai-nilai
harga diri yang begitu mendasar, yang begitu dijunjung tinggi oleh
pemiliknya, seperti teruraikan terdahulu maka lahirlah
ungkapan-ungkapan, misalnya ungkapan-ungkapan dalam bahasa Makassar:
Mannassana Sirika ji tojeng(bahwa sesungguhnya, harag diri sesorang
ditentukan oleh kemampunnya menjunjung tinggi nilai-nilai siriknya).
Atau sirik tadji nakitau yang artinya: hanya memiliki sirik maka dapat
disebut manusia.
Sedangkan ungkapan dalam bahasa Bugis adalah Sirik emitu tariaseng tau, narekko dei sirikta tania ni tau rupa gaung mani asennayang artinya : hanya dengan sirik kita dapat disebut
manusia, jikalau kita tak ada sirik bukan lagi manusia kita hanya
bernama orang- orangan.
Lebih ektrim lagi sebuah ungkapan dalam bahas Bugis yaitu : Naiya tau deE Sirikna,
de lainna olo olok”, artinya : kalau manusia tidak ada sirik tidak berbeda dengan binatang.
Dari
ungkapan pengertian tersebut berarti sirik bagi masyarakat Sulawesi
Selatan adalah yang melekat pada diri manusia, merupakan lambing dari
keutuhan manusiawinya, mencakup segala kewajiban serta hak-haknya selaku
manusia baik secara pribadi maupun sebagai anggota masyarakat.
Dari
pengertian inilah mungkin setelah bersntuhan dengan dunia luar dan
dengan dunianya denga setiap pribadi yang sangat ditentukan oleh
keseluruhan jiwanya dan juga tingkat kecerdasan dan nilai kesusilaan
yang dimilikinya sangat erta hubungannya dengan harda diri dan
martabatnya sebagai manusia.
Akibat mempertahankan harga
dirinyalah sehingga banyak ornag yang mengidentikkan bila siriknya
terlanggar, maka bagi orang yang bersangkutan hanya ada dua pilihan
yaitu ia akan mati atau hidu. Akibatnya terjadilah penganiyaan bahkan
pembunuhan.
Itukah arti sirik? Kalau kita amati kejadian suatu
tindak pidana penganiyaan yang oleh pelakunya dinyatakan sebagai akibat
maka cenderung sirik itu terbangunb karena perasaan, sentimental oleh
emosi dan sejenisnya.
Dari segi hukum yang berlaku di Indonesia, akibat perbuatan tindak pidana
pembunuhan tersebut bukan mengangkat martabat manusia justru sebaliknya.
Namun
dalam berbagai ungkapan maupun dalam lontara Bugis Makassar menunjukkan
sirik bukan semata-mata dar5i luapan emosi. Ia lebih banyak berkadar
ketersinggungan nilai-nilai kehormatan pribadi atau keluarga atau
lingkungan.
Soal Perasaan
Menurut H. Dg. Mangemba, seorang
budayawan dari universitas Hasanuddin mengungkapkan, berbicara tentang
sirik tak dapat di lepaskan dari unsur pacce atau pesse dala bahasa
Bugis Makassar. Pacce maksudnya adalah perasaan yang terbit dari dalam
kalbu yang dapat menuju kepada sesuatu tindakan. Dari unsur sirik dan
pacce inilah, katanya timbul ungkapan sipasiriki nasipapacce.
H.
Dg. Mangemba mengungkapkan dalam makalahnya tentang pengertian dan
pengembangan sirik bagi Makassar. sipasiriki nasipapacce berarti saling
menjaga harkat sirik dan pacce bersama. Dengan sendirinya dia berusaha
menjauhkan diri menyinggung kohormatan orang lain dan siap membantu bila
perlu.
Ditegaskannya semangat ini terlebih-lebih ditujukan
kepada lingkungan keluarga, menciptakan suatu masyarakat keluarga besar
yang mengikat hubungan antara satu dan yang lain, menimbulkan
solidaritas sosial. Bagi orang Bugis Makassar dalam.
Solidaritas
sosial berarti kepentingan pribadi akan terdesak dan yang mennonjol
adalah menegakkan kepentingan manusianya. Bahkan kalau perlu jiwanya
rela dikorbankan demi perterapam ungkapan mempertegak sirik napacce
disebut mate nisantangi yang artinya mati berlumpur dengan santan , mati
dengan terhormat dan mulia.
Disisi lain ungkapan lontara, di
tanah Bugis Makassar dalam suatu persekutuan hidup desa, wanua atau
tanah niscayaterdapat pemimpin dalam persekutuan itu. Dan menurut
jenjangnya, pemimpin menjadi orang pertama yang siriknya harus
dipelihara. Mereka sangat merasa bersatu antara yang memimpin dan yang
dipimpin oleh suatu kesadaran harga diri, martabat diri yang menimbulkan
pesse atau pacce ( bahasa Makassar). Apabila mereka mengahadapi
persoalan sesuatu terjadilah perbuatan tolong-menolong tindakan saling
membantu dan saling membela. Jika seorang dihina maka negeri yang merasa
dihina. Jika pemimpin yang merasa dihina maka serentak anggotanya
bangkit bersama-sama membela dan memikul tanggung jawab.
Hasil Penelitian
Seorang
antropolog wanita bangsa Amerika dari Universitas California di tahun
1975 sampai dengan 1976 mengadakan penelitian di Luwu. Ia mengungkapkan :
tidak ada moral yang lebih penting buat orang Sulawesi Selatan dari
pada mempunyai sirik sehingga seseorang yang kurang siriknya maka
dianggap kurang juga kemanusiaannya. Menurut Erington, orang-orang
Bugis-Makassar terkenal dimana-mana, karena dengan mudah mereka
berkelahi kalau merasa dipermalukan, yaitu dipermalukan dengan cara yang
tidak sesuai dengan derajatnya. Namun disisi lain, Erington
mengemukakan pula, sirik tidak bersifat menentang saja, tetapi juga
merupakan perasaan halus dan suci.
Menurutnya pendapatnya, sirik
itu tidak dapat diterjemahkan dengan harga diri saja, tetapi termsuk
pula malu. Bagi orang yang tidak beragama, suk mencuri, bersifat tidak
suci atau kurang sopan dan dikategorikan kewpda orang yang tak memiliki
unsur harga diri dan malu, dalam bahasa makassarnya disebut jurang
Sirik, kata Erington. Sebagai contoh, katnya, nampak jelas dalam cara
orang Sulawesi selatan mendidik dan membesarkan anaknya. Dianggap sama
sekali tidak baik memukul anak, terutama menempelengnya.
Sebab
menurut pendapat mereka, kata Erington, klau sejak kecil sudah terbisa
ditempeleng orang maka saat di dewasa, ia tidak akan merasa tersinggung
lagi kalau orng lain menghinanya.
Maslah kedua, nanti anak itu kurang sirik-nya atau perasaan halusnya, karena sejak
kecil dipaksakan dengan kekerasan Melakukan kewajibannya dan akhirnya kurang sirik.
Erington menambahkan Sirik jelas ada hubungannya dengan susunan masyarakatyang
makin bertingkat, makin bangsawan seseorang mka makin banyak Sirik-nya
yang harus dijaga. Dan mereka bersatu Sirik, tolong menolong bukan hanya
dalam dukun tetapi juga dalam suka.
Nah, dengan uraian tersebut
diatas, pada sisi lain dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa Sirik
tidaklah identik dengan pembunuhan dan kekerasan atau dasar luapan
emosional, atau luapan rasa dendam yang tak terkendali. Tetapi ia lebih
banyak bertahan pada sikap harga diri yang merupakan subkultur budaya
orang-orang Bugis-Makassar. Ia merupakan warisan leluhur dalam kerangka
warisan yang bertali temali dengan nilai-nilai Sirik tersebut sebagai
harga diri.
Menurut Prof.Dr.Mattulada, tragedy bnerdarah karena
Sirik hanyalah salah satu tindakan, tetapi bukan arti dan hakekat Sirik.
Dalam hal ini Sirik adalah kultur, budaya nenek moyang kita karena
sirik, meninggalkan Tanah Bugis dan tak akan kembali kalau belum
tercapai cita-citanya. Maksudnya tak akan kembali sebelum menjadi orang
yang berpengetahuan atau orang yang berharta.
KEPRIBADIAN MANUSIA BUGIS
Pada
dasarnya, masyarakat Bugis itu dibina mentalnya lewat pappaseng
(pesan-pesan) yang merupakan pola dasr pegangan hidup. Tersebutlah,
bahwa ada lima pappaseng (lima pesan pegangan hidup) orang Bugis
tersebut.
Mengkaji pola hidup tersebut, maka tidak heran jika
pancasila, memang digali dari nilai-nilai luhur budaya yang hidupo dalam
masyarakat suku-suku bangsa di Republik ini, secara Bhinneka Tunggal
Ika.
Kajaolaliddo (1507-1586). Nama lengkapnya, La Mellong To
Suwalle Ta Tongeng MaccaE Kajaolaliddo (La Mellong Si Arif Bijaksana dan
Pintar Kajaolaliddo), seorang pemikir intelektual yang arif, Negrawan
dari Bone.
Ketika La Mellong bertugas sebagai pemndidik anak-anak
raja dan bangsawan, mak tema pendidikan moral yang diberikannya
meliputi lima hal utama, yaitu : 1) kejujuran disertai taqwa (Lempuk-E
na-sibawang tya’), 2) Kebenaran kata-kata (satunya kata dengan
perbuatan) disertai keteguhan pada prinsip (Sirik nasibawangi getting),
4) Keberanian disertai kasih saying (Awariningeng nasibawangi
nyamekki-ninnawa), 5) Mappesona Ri Dewata SeuaE (Pasrah pada kekuasan
Tuhan Yang Maha Esa). Lima prinsip utama inilah yang menjadi tema
pendidikan moral yang diberikan Kajaolaliddo, yang secara dominan
menguasai pemikiran-pemikirannya mengenai hukum, kemasyarakatan, malahan
juga dalam pembinaan kpribadian individu.
Dari lima tema
tersebut, Kajaolaliddo memilih lagi tiga tema utama yang paling sering
dikemukakannya, yaitu kejujuran, kecerdasan dan keberanian. Dalam
catatan-catatan lontara, Kajaolaliddo disebutkan sebagai manusia yang
tidak pernah berbohong, tegas, dan jujur dalam setiap tindakannya,
sederhana dan rendah hati, berni menghadapi musuh dan tangkas dalam
diplomasi.
Kejujuran
Sifat ini agaknya diutamakan dalam
Kajaolaliddo, yang berhubungan dengan kejujuran terhadap diri sendiri,
masyarakat dan Negara serta terhadap diri sendiri, masyarakat dan Negara
serta terhadap Dewata.
Kajaolaliddo mengajarkan jangan mengambil
tanaman yang bukan tanamanmu, jangan mengambil harta benda yang bukan
milikmubukan pula pusakamu, jangan keluarkan kerbau (dari kandang) yang
bukan kerbaumu, dan kuda yang bukan kudamu; jangan pula mengambil kayu
terletak sebelh menyebelah yang bukan kamu menetaknya.
Sifat-sifat
tersebut harus dijadikan sikap jiwa melatari segenap perbuatan setiap
individu, melatari kpribadian setiap warga msyarakat. Dalam hukum dan
pelaksanaan hukum, Kajaolaliddo mengajarkan untuk memperlakukan setiap
individu secara jujur dan sama untuk semua strata sosial.
Kebesaran
dan kejayaan suatu Negara ditandai antara lain oleh nampaknya kejujuran
ini dalam kehidupan masyarakat, terutama malempukina macca arung
mangkauk-E (Raja jujur dan cerdas).
Tanda kerapuhan suatu Negara,
yaitu apabila Raja tidak jujur dan ceroboh, Raja tidak mau diperingati
(dikritik), tidak ada lagi orang pintr dalam Negara, kalau Hakim
menerima sogokan; dan kejahatan merajalela serta raja tidak mengasihi
rakyatnya. Kejujuran ini, menurut Kajaolaliddo didasari dan disertai
terus-menerus oleh ketaqwaan kepada dewata (pada masa itu, Agama Islam
belum masuk ke kerajaan Bone), karena menurut kepercayaannya, setiap
tingkah laku manusia disaksikan sepenuhnya oleh dewta pawinruk-E (Sang
Pencipta).
Adatongeng na tike’ (berkata benar dan hati-hati).
Setiap individu harus memiliki sifathanya mengeluarkan kata-kata
(ucapan) yang benar, menghindarkan diri dari kedustaan; serta
berhati-hati dalam setiap ucapan dan tindakan.
Setiap ucapan
harus disertai pertambangan natangnga’i olona munrinna (memperhatikan
sebab dan akibatnya). Individu-individu dianjurkan untuk macca pinru ada
dan macca duppai ada (pandai mengatur/membuat kata-kata dan pandai
menjawab kata-kata). Orang yang disebut pandai mengatur kata-kata adalah
orang yang tidak membuat kesalahan dan pelanggaran terhadap
pangngadereng (sistem budaya), sedang yang disebut pandai menjawab
kata-kata ialah yang mengusai berbagai perumpamaan, analog, kias
(rapang).
Dalam ajaran Kajaolaliddo, disebutkan bahwa manusia
disebut manusia, karena ucapannya yang benar, yang sesuai dengan
perbuatan. Ada tongeng, disebut sebagai salah satu azas kehidupan dan
kepribadian. Sesungguhnya, kepandaian pinru ada dan duppai ada juga
berkaitan dengan lempuk (kejujuran) serta mappesona ri dewata seuwaE
tawakakal kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Siri’na getting (Sirik
disertai getting). Harga diri (Sirik) erat kaitannya dengan lempuk dan
ada-tongeng. Pada azasnya disebut bahwa manusia (yang memiliki sirik)
adalah mereka yang melempuk (jujur) dan makeada tongeng (berkata benar).
Orang yang tidak menjaga kejujuran dan kebenaran kata-katanya dianggap
sebagai tidak memilihara harga dirinya, sehinggaorang demikian tidak
lagi disebut tau (manusia) melainkan disebut rapang-rapang tau (seperti
manusia boneka) atau olok-olok(binatang).
Harga diri menurut
Kajaolaliddo, harus pula disertai dengan getting (teguh berpegang pada
prinsip kebenaran). Dengan sifat ini dimaksudkan bahwa setiap orang
tidak mudah tergeser dari prinsip kebenaran yang dianutnya. Sekalipun
bumi pecah berantakan, langit runtuh, tidak membuat kita bergeser dari
keyakinan dan prinsip kebenaran.
Kebenaran
Warani na cirinna
(kebenaran disertai kasih saying). Dalam ajaran Kajaolaliddo, keberanian
dianggap penting tetapi harus disertai dengan perasaan kasih saying
yang besar terhadap sesame manusia.
Hanya dengan keberanian, maka
prinsip lempuk, ada tongeng dan getting bias ditegakkan dalam kehidupan
sebagai individu dan warga masyarakat. Tetapi keberanian pun harus
selalu bertolak dari ketiga prinsip tersebut. Disebutkan bahwa bila
jalan itu yang kulalui (maksudnya: tiga prinsip tersebut), maka tak ada
lagi yang perlu aku takuti.
Keberanian yang bertolak dari tiga
prinsip tersebut, dengan sendirinya akan disertai pula oleh rasa kasih
saying terhadap sesame manusia. Kajaolaliddo menganggap bahwa kasih
saying terhadap sesame manusia, yang merupakan bagian dari prinsip
sipakatau( saling menghargai sesame manusia) haruslah menjiwai
keberanian, karena tanpa kasih saying itu, keberanian akan membawa
kebinatangan (olok-olok). Keberanian utama adalah keberanian untuk
melawan binatang yang ada pada diri sendiri.
Akkaleng na nyameng
melawan binatang yang ada pada diri sendiri. Kecerdasan dan kepandaian
dinilai sangat penting oleh Kajaolaliddo, yang disertai pula oleh
nyameng ininnawa. Istilah terakhir ini bermakna kernyamanan dan
ketemtraman hati yang terpencar keluar dalam setiap penampilan. Juga
bermakna ketenangan dan keteduhan hati, hingga memungkinkan orang
berfikir dengan jernih. Akal tanpa disertai ketentraman dan ketyeduhan
hati, tak akan melahirkan pikiran yang jernih, tak dapat melahirkan
kecerdasan. Kajaolaliddo menjadikan akkaleng dan nyameng ininnawa
sebagai pasangan yang menyatu.
Dari lima prinsip tersebut,
Kajaolaliddo selalu menekan pada tiga hal, yaitu kejujuran, kecerdasan,
dan keberanian. Sistem ide Kajaolaliddo, dengan nilai-nilai tersebut
diatas sebagai nilai utamanya dijadikan didikan dasar/utama kepada
setiap individu, khususnya keluarga bangsawan. Namun, Kajaolaliddo tidak
berhenti pada sistem gagasan itu. Ia
lebihlanjut mengatakan bahwa nilai-nilai itu harus diaktualisasikan dalam pola-pola tindakan
dan perbuatan dalam kehidupan bermsyarakat dan bernegara.
Tak
ada nilai-nilai itu, tanpa persaksian, sedang persaksian nilai-nilai
itu adalah pada seruan, dan persaksian seruan adalah perbuatan.
Seruan(obi) bermakna ganda, yaitu seruan kedalam diri sendiri dan seruan
keluar diri. Seruan untuk dan Berdasar pada penghayatan nilai-nilai
itu. Seruan itu, harus diaktualkan pada perbuatan. Karena itu harus
Nampak pada sistem sosial dan sistem kenegaraan.
Kajaolaliddo
memperoleh peluang untuk melaksanakan ajaran-ajarannya. Kedudukannya
sebagai lise’Saoraja (penghuni istana), penasehat Raja dan kerajaan,
pendidik anak-anak dan keluarga istana Raja Bone, memungkinkan La
Mellong yang hanya turunan Matowa (semacam Lurah) ini, mengajarkan dan
mengamalkan ajaran lempuk, ada tongeng dan getting serta harga diri.
Kedudukannya
sebagai Lasykar ketika terjadi penyerbuan oleh Lasykar Gowa,
memungkinkan ia memperlihatkan keberanian dan rasa kasih sayangnya serta
cimtanya pada perdamaian.
Kedudukannya sebagai duta keliling
Kerajaan Bone, membuktikan kecerdasan, kecakapan serta kterampilannya
didalam diplomasi, dengan tetap berpedoman pada nilai-nilai ajarannya.
Ia menjalin persahabatan antara Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu serta
beberapa kerajaan kecil lainnya, Kajaolaliddo pun memperhatikan
pandangan futuristiknya dengan membuat ramalan (perkiraan) jangka pendek
dan perkiraan jangka panjang mengenai sikap dan tindakan yang akan
diambil oleh Kerajaan Gowa yang kalah (Raja Gowa I Tajibarani Dg Marompa
gugur dalam perang) dan terpaksa menandatangani perjanjian di Caleppa.
Ternyata
ramalan Kajaolaliddo tidak meleset, karena Raja Gowa XII, I Manggorai
Dg Mammeta Karaeng Bontolangkasa Melakukan serangan ke Bone, 10
tahunsetelah perjanjian itu. Kedudukannya sebagai pemimpin Lasykar dan
penasehat Raja Bone, memungkinkan Kajaolaliddo memperlihatkan
kecakapannya menyusun strategi politik.
Kajaolaliddo, adalah
salah seorang diantara sedikit tomacca (intelektual) Bugis masa lalu,
yang berhasil mempraktekan ajaran-ajarannya. Ajaran-ajaran kemudian
terhimpun dalamn lontarak Latoa, yang menjadi buku pelajaran wajib bagi
setiap turunan bangsawan/raja diseluruh daerah Sulawesi Selatan.
Catatan : bahan-bahan hasil kajian Drs.M.Anwar Ibrahim, sarjana Sastra lepasan Universitas
Hasanuddin dan Sekretaris Dewan Kesenian Makassar.
ASPEK-ASPEK KEBUDAYAAN
TERHADAP SISTIM KEMIMPINAN DIPEDESAAN
(TANAH BUGIS-MAKASSAR)
Mungkin
ada manfaatnya, untuk sekedar digorskan ala kadarnya(aspek-aspek)
pengaruh kebudayaan pada sector kepemimpinan di Tanah Bugis-Makassar
pada jamaannya. Sebagai suatu studi perbandingan.
Kepemimpinan
itu muncul dengan munculnya kehidupan manusia secara bersama
(bermasyarakat), yang bermula digua-gua sejak dahulu kala. Bahkan
didalam ajaran Islam dikatakan bahwa kepemimpinan itu muncul sejak Adam
dan Hawa hidup bersama. Pada sat itu seseorang yang kuat dan punya
keistimewaan menundukkan makhluk-makhluk gaib yang sering mengganggu
kehidupan manusia. Karena tugas dan kewajiban seorang pemimpin ialah
melindungi dan mensejahterakan rakyatnya lahir bathin serta menjaga
keseimbangan kehidupan dan lingkungan alamnya.
Kepemimpinan
sebagai salah satu unsur kebudayaan manusia senantiasa berkembangan
mengikuti perkembangan masyarakat dan kebudayaan. Makin maju dan
berkembang suatu masyarakat, makin komplek dan banyak jenisnya pemimpin.
Perkembangan kepemimpinan suatu masyarakat itu meliputi segala
aspeknya.
Oleh karena itulah pada masyarakat yang masih sederhana
akan dijumpai pula kepemimpinan yang sederhana akan dijumpai pula
kepemimpinan yang sederhana, baik persyaratan, hak dan
kewajiban-kewajibannya maupun tugas-tugasnya. Seseorang pemimpin
walaupun dia mendapatkan kedudukan yang istimewa tetapi ia tetap
dipandang sebagai anggota masyarakat biasa. Dia dibutuhkan oleh
masyarakat hanya karena dia memiliki kelebihan-kelebihan dari anggota
masyarakat biasa berupa kepandaian gaib.
Seorang pemimpin pada saat itu memegang.
Pemerintah tidak secara mutlak, atau aristokrasi.
Dalam
perkembangan selanjutnya, muncullah type kepemimpinan yang bersifat
mutlak, dimana kekuasaan tertinggi berada ditangan raja. Bentuk-bentuk
kepemimpinan seperti tersebut diatas dijumpai pada saat munculnya
kerajaan di beberapa daerah di Sulawesi Selatan, termasuk kerajaan
sidenreng-Rappang. Pada saat itu ada anggapan atau kepercayaan dari
kalangan rakyat bahwa : Arung (raja) itu adalah orang dari keturunan To
Manurung yaitu orang yang merupakan asal mula nenek moyang raja-raja di
Sulawesi Selatan yang turun dari kayangan atau suatu tempat yang tinggi.
Oleh
karena itulah raja-raja itu dianggap tidak sama dengan orang-orang
biasa. Berdasarkan kepercayaan dan anggapan itulah seorang raja sangat
dihormati oleh rakyatnya. Di Kerajaan Tanah Bugis (Sulawesi Selatan)
pada saat itu sesuai dengan yang tertulis dalam kontrak terkenal Ikrar
(Pernyataan Kesetiaan) rakyat kepada Arung atau raja yang memegang Pemerintahan. Ikrar tersebut sebagai berikut :“Tenri Cacca mupojie, Tenri Poji muccaE.
Angikko kiraukkaju, Solokko nikibatang.
Lompok-lompok mutettongi, Lompok-lompok kilewo.
Bulu-bulu mutettongi,bulu-bulu kilewo.
Makedako mutenribali, mettekko mutenri Sumpalak”.
Maksudnya :
“Takkan kami tolak apa yang engkau sukai.
Takkan kami sukai apa yang engkau tolak.
Engkau adalah arus, sedang kami adalah batang kayu. Lembah
tempat engkau berpijak, bukit yang kami pagari. Sabdamu kami junjung,
titahmu kami patuhi”.
Pernyataan
kesetiaan rakyat kepadanya hanya sepanjang ia dapat memegang dan
mengembangkan nilai-nilai adat yang dikeramatkan oleh masyarakatnya.
Bila hal itu tidak ada pada dirinya, maka serentak rakyat akan
melaksanakannya.
Ikrar kesetiaan itu erat sekali kaitannya dengan
syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang calon Arung (raja) atau
pemimpin. Menurut adat pada kerajaan-kerajaan Bugis- Makassar,
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin adalah sebagai
berikut :
1. To malebbi artinya orang yang mulia, ini teru tama dilihat dari keturunanya (bangsawan atau bukan).
2. To Acca artinya orang pandai.
3. To Warani artinya orang berani.
4. To Sugi artinya orang kaya.
Persyaratan-persyaratan seperti tersebut di atas dimaksudkan agar seorang pemimpin
betul-betul mempunyai kelebihan dari pada rakyat yang dipimpinnya.
Bila
seorang pemimpin yang menurut penilaian betul-betul telah memnuhi
persyaratan menurut nilai-nilai dan norma-norma yang dijunjung tinggi
oleh masyarakat, maka kepada pemimpin seperti itulah ditujukan Ikrar
(pernyataan-kesetiaan) seperti tersebut diatas. Bahkan bukan hanya
sampai disitu saja kalau betul-betul raja itu berlaku seperti apa yang
diharapkan, maka kepadanya diperlakukan ikrar:“Polo pang Polo panni”
Maksudnya
“ kalau perintah raja, tidak ada alasan menolak, segalanya dikerahkan untuk
melaksanakannya”.“Napo Sirik ajjoarengnge, Napomatei JoaE”
Maksudnya:
“ kalau raja dipermalukan, kami rakyat lebih baik mati saja”.
Pernyataan-pernyataan
seperti tersebut di atas menunjukkan bahwa bila sesuatu itu telah
memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh adat, apapun yang akan terjadi
harus dilaksanakan/dijalankan.
Pernyataan-pernyataan seperti
tersebut diatas juga sekaligus menjadi control bagi tindakan-tindakan
raja (pemimpin). Sebab bila seorang pemimpin sudah tidak dapat menjadi
panutan rakyat, maka dia akan serentak diturunkan oleh rakyatnya seperti
halnya yang dialami oleh salah seorang Arang Rappang yang pernah
mengadakan kerja sama dengan Arung Pammana yang dianggap merugikan
rakyat, maka ia serentak diturunkan dari tahtanya. Karena menurut adat
Bugis bahwa pemimpin tana (pemerintah)itu adalah merupakan pusat
(tumpuan) harapan rakyat untuk tetap terpeliharanya nilai-nilai dan
norma- norma yang menjadi pedoman hidup masyarakat. Jika hal seperti
itulah tiba saatnya diadakan penggantian.
Sebagai pasangan pernyataan dari rakyat seperti tersebut diatas, maka oleh Arung
(raja0 dibalas pula dengan pernyataan sebagai berikut:
“Assama Iyyako muabbulo sipeppa, Mupenrekengak Nanre manasu”.
Maksudnya:
“Bermusyawarah dan bermufakatlah karena apa yang telah kamu mufakati,
itulah yang akan aku jalankan”. “Pura taro Arung, teppura taro adek. Pura taro adek teppura taro maranang”. Maksudnya:
“keputusan raja dapat dirobah, keputusan Adat tidak dapat dirobah. Keputusan
Adat dapat dirobah, keputusan bersama tidak dapat dirobah.
Setelah masuknya Agama Islam di Sidenreng-Rappang, maka di tambah pula menjadi:
“Pura taro maranang teppura taro syarak(Agama)”. Maksudnya:
“keputusan bersama dapat dirobah, keputusan Agama tidak dapat dirobah”. “Teccau Maegae, tebbakke tongengnge”.
Maksudnya:
“yang banyak tak pernah tersisihkan, yang benar tak pernah kalah”.
Dengan
pernyataan-pernyataan timbale-balik seperti tersebut diatas, suatu
pertanda bahwa di Tanah Bugis sejak dahulu sudah dikenal sistim
pemerintahan yang bersifat Demokrasi. Dalam bahasa Bugis pemerintahan
seperti ini dikenal dalam istilah Mangolo Pasang, maksudnya ada
komunikasi timbale-balik dari raja kepada rakyat dan dari rakyat kepada
raja.
Dari uraian seperti tersebut diatas jelas terlihat bahwa
sistim nilai adat mempunyai peranan penting dalam interaksi rakyat
dengan pimpinannya dan sebaliknya. Juga dapat dilihat bahwa seluruh
kegiatan pemerintahan/ politik didasarkan pada sistim masyarakat
mufakat. Keputusan-keputusan yang harus dilaksanakan terlebih dahulu
Melalui musyawarah. Hal ini jelas dilihat pada Ikrar raha seperti yang
telah disebutkan ai atas yang berbu-nyi :
“ Assama Iyyako muabbulo sipeppa mupenrikengnga nanre manasu”.
Maksudnya:
“ Bermusyawarahlah untuk mengambil keputusan karena keputusan itulah
yang akan aku laksanakan”.
Disamping
itu juga dapat dilihat bahwa sejak masuknya Islam di Sulawesi Selatan
(Bugis-Makassar) yaitu kira0kira tahun 1908/1909, maka nilai-nilai
Islam-pun mulai berbaur dengan nilai-nilai Adat untuk dijadikan pedoman
hidup bermasyarakat. Ini dibuktukan dengan Ikrar raja seperti tersebut
diatas, setelah masuknya Islam disempurnakan dengan menambah nilai-nilai
Islam sehingga berbunyi:
“Pura taro maranang teppura taro syarak”.
Maksudnya:
“Keputusan bersama dapat dorobah, keputusan Agama tidak dapat dirobah”.
ASPEK-ASPEK SIRIK
MENURUT PENDANGAN DAN PENGALAMAN PENELITIAN
Prof. Mr.Dr.A.Zainal Abidin Farid
Prof.
Mr.Dr.A.Zainal Abidin Farid, sebagai ahli budaya Bugis dan merupakan
bangsawan Bugis yang pernah mengalami sendiri pola budaya asli Bugis
pada zaman jayanya, merupakan seorang tokoh di Sulawesi Selatan tang
berminat keras mempelajari dan mengungkap masalah-masalah budaya
Bugis-Makassar guna diwariskan pada generasi penerus Bangsa,
mengemukakan pandangannya mengenai SIRIK dan PESSE ATAU PACCE SEBAGAI
BERIKUT:
Pada tahun 1977 saya menanyakan tentang arti dan fungsi
SIRIK dan sebab-sebab orang-orang Bugis yang merantau ke Malaysia,yaitu
johor. Mereka pada umumnya tidak bias meneruskannya, tetapi sekedar
memberikan contoh saja, paham mereka tak jauh beda dengan
responden-responden di Sulawesi Selatan. Ada beberapa orang yang
menyatakan bahwa sesungguhnya orang yang mappakasirik tak perlu membunuh
tapi cukup menempeleng penghina didepan umum, sebab tindakan itu lebih
berat dari pada pembunuhan. Mereka juga mengakui bahwa mereka
meninggalkan Sulawesi Selatan karena sirik, yaitu menderita, miskin, dan
beberapa orang yang orang tuanya atau neneknya yang berasal dari wajo’
menyatakan bahwa mereka yang merantau karena ingin hidup yang lebih
baik....., karena mereka mennganggap diri mereka tinggal di negeri
orang, maka mereka sangat menghemat uang dan hartanya, sebab adalah
sirik hidup merana di negeri orang, seorang turunan orang Bugis dan
nenek moyangnya merantau pada abad XVIImasih merasa bangga disebut orang
Bugis, karena orang Bugis terkenal berani, kuat bekerja, percaya diri,
serta bersemangat tinggi untuk memperbaiki ehidupan. Seorang Bugis lain
ketika saya Tanya, hanya menjawab dalam pantun terkenal”.
Dekgaga pasak ri lipukmu, balanca ri kampong mu, mulanco mabela? (Apa tak ada
pasar dinegerimu, tak ada belanja di kampungmu sehingga merantau jauh?).
Engka pasak ri lipukmu, balanca ri kampongku, ininnawamu kusappak ( Ada pasar
dinegeriku, ada belanja dikampungku, namun aku mencari hati nurani).
Pada
bulan Januari tahun ini, saya mengunjungi lagi kampung Benut, Pontian,
Johor dan memperoleh keterangan tentang petualangan seorang Bugis yang
telah berhasil mengangkat dirinya dari lumpur kesengsaran menjadi salah
seorang Bugis yang berhasil.
Ia berangkat dari kampung Cilireng
(Wajo) ketika berumur 25 tahun menuju Kalimantan Barat dengan bekal
seadanya. Dari sana ia bersama tiga orang temannya ke Singapura. Disana,
seorang kawannya ditangkap polisi, dan ia kehabisan uang sehingga 3
hari 3 malam tak pernah makan.
Sekalipun ia berhasil dari kampung
yang terkenal sebagai pemberani dan orang-orang nakal, ia menahan diri
untuk Melakukan kejahatan, sebab ia sirik keluarga erta sempuginya
(sesame Bugis) akan tercemar.
Dengan pakaian yang melekat
dibadannya ia ikut sebagai penumpang gelap kereta api yang menuju ke
Benut, Malaya. Setibanya, ia melamar untuk bekerja diperkebunan kelapa
milik orang Bugis dan dipekerjakan sebagai pemanjat pohon kelapa, suatu
pekerjaan yang tak pernah dilakukan di Cilireng. Sesungguhnya ia berasal
dari keluarga baik-baik dan berada. Kalau bukan karena sirik dan pesse
ia tak akan berhasil mengerjakan pekerjaan itu. Berkat ketekunannya ia
kemudian dipromosikan menjadi mandor, sehingga ia telah memenuhi pesan
orang –orang tua dikampung:
“kalau engkau merantau jaganlah engkau menjadi anak buah, jadilah Punggawa
sekalipun punggawa kecil saja”.
Pada
waktu pecahnya perang Dunia ke II ia memberanikan diri untuk berdagang
di Singapura dengan resiko bahaya perang. Dikala itu tak seorangpun
berani Melakukan pekerjaan demikian. Ia berusaha sekuat tenaga tanpa
mengenal takut dan lelah dan pantang mundur sehingga memenuhi semboyang
perantau Bugis pura babarak sompekku, pura tangkisik gulikku.
Ulebbirengngi telling na tualie (layarku sudah berkembang, kemudian
telah kupancangkan, lebih baik tenggelam daripada balik langkah). Yang
mendorongnya ialah apa yang dinamakan wawang asugirenna to wajo’E (ilmu
untuk menjadi orang kaya bagi orang wajo’). Ia menghayati dan
mengamalkan pesan orang tua –tua di negeri asal yang berbunyi : Resopa
natinuluk, natemmengngingngi, malomo neleteipammase Dewata Seua(jerih
payah dan kerajinan serta ketidak borosan, mudah dititi oleh kemurahan
Tuhan Yang Maha Esa), pesan mana diberikan oleh La Tadamparek Puang ri
Maggalatung (+ 1491- 1521).
Sekalipun ia tidak mempunyai latar
belakang pendidikan, namunia pandai menggunakan kesempatan, jadi
menghargai waktu yang biasanya tidak dimiliki oleh masyarakat
tradisonil.
Memang ada ungkapan turun-temirun yang sesuai hal itu:
1.“Matuk pa baja pae, pura pae, temmappapura jama-jamang” (sebentar, besok, nanti, tak
akan menyelesaikan pekerjaan).
2.“Onroko memmatu-matu napole marekkae nala makkaluk” ( Tinggallah bermalas-malas,
lalu dating yang bergegas maka ialah yang melingkar”.
3.“Ajak mumaelok ribetta makkalluk ri cappakna letengnge” ( jangan engkau mau didahului
menginjakkan kaki di ujung titian).
Keberhasilan,
demikian orang Bugis-Malaysia itu, sangat tergantung pada semangat
juang yang tinggi (pesse’) dan ketabahan sertakemauan untk bekerja keras
yang tak mengenal menyerah. Itulah lelaki Bugis yang sejati. Pernyataan
tersebut didukung oleh ungkapan : Dek nalabu essoE ri tengngana bitaraE
(Mtahari tak akan tenggelam di tengah langit ) dan Iammi waroane
maperrengnge (Hanya yang mempunyai daya katahanan dapat disebut
laki-laki).
Pada saat penyerbuan antara tentara jepang ke
Malaysia, Sultan Johor mencari orang yang berani menunggui istananya,
karena ia pindah ke istana lain. Tak ada orang yang berani melamar,
karena takut bahwa tentara Jepang akan memasuki rumah itu, dan rumah itu
konon kabarnya dihuni setan. Sekalipun ia merasa takut juga, tetapi ia
menghadap Sultan dan menyatakan bahwa ia sanggup.
Yang membuatnya
terdorong berbuat nekad itu karena sirik dan pesse. Ketetapan hati
demikian memang dikenal oleh ungkapan : Tanranna towaranie.
Napappada-pada ri engkana ri dekna, ceddekna, enrengnge maEgana, ri
paddiolona, nenniak ri paddimunrinna, ri mangkalingana, karena majak dek
natassunrewe, nakareba madeceng dek natakkauang= Tandanya orang berani
ialah menyamakan adanya dan tidak adanya, sedikit atau banyaknya,
didahulukan atau dibelakangkan, dan disaat mendengar kabar buruk ia tak
gentar dan waktu mendengar berita baik ia tak menampakkan kegembiraan.
Ternyata
orang Bugis itu selamat, dan oleh Sultan Johor di depan orang banyak ia
dinyatakan sebagai orang terberani di Johor, Sedangkan Sultan yang
turunan Bugis itu menyatakan dirinya nomor dua.
Kini orang Bugis itu memiliki kelapa dan pabrik minyak kelapa serta menjadi
kontraktor. Andaikata ia berpendidikan, maka pasti ia akan menjadi Singa Terbang.
Dari kisah tersebut diatas, masih dapatlah
disimpulkan, bahwa apa yang dikemukakan oleh Dr.L.A. Andaya tentang
konsep sirik, pesse/pacce dan were/sare adalah benar yang selama itu
bergelimang lumpur sejarah penderitaan yang bermuara pada culturallag:
persangan yang tidak fair tanpa sirik, tetapi semata-mata siriati,
dendam kesumatyang menghasilkan pembunuhan, penganiayaan dan intrik
serta fitnah, sehingga
orang akan takut berprestasi, karena bias dianggap serangan terhadap sirik orang lain,
sakratul mautnya idealisme karena terdesak oleh materialisme Barat.
Orientasi vertical ke atas serta memandang hina ke bawah, meremehkan mutu karena
hanya mementingkan kulit luar, tercekiknya kebudayaan suka membaca dan menulis...
KesimpulanAndaya istilah bahwa sirik itu harga diri, tetapi ia juga berarti aib dan
malu.
Menurut
hemat saya sirik sebagai substansi berarti harkat martabat serta harga
diri sebagai manusia. Sedangkan perasaan yang ditimbulkan bilamana
harkat itu dilanggar oleh orang lain atau diri sendiri yang merasa aib
karena keadaan diri memang juga sering disebut sirik(akibat). Kebanyakan
orang secara keliru hanya mengartikan sirik sebagai perasaan malu
belaka. Lebih dapat dipahami jikalau istilah bahasa lain digunakan,
misalnya di Jawa :wirang, di Bali: jengga, di Inggeris:honour, dijerman:
die ehre, di Belanda: eer.
Demikianlah Prof.Mr.Dr.A.Zainal
Abidin Farid dalam mengemukakan pendapatnya, yang dikutip penyusun
sebagai bahan pelengkap dalam mendalami pengertian dan makna seluk-beluk
sirik dan pacce atau pesse tersebut. Serta menambah perbendaharaan dan
makna serta wawasan pemahaman terhadap hakekat yang terkandung pada
BudayaSIRIK yang melembaga pada masyarakat Bugis-Makassar(Sulawesi
Selatan).
SIRIK MENURUT PANDANGAN SARJANA ASING
Dr.H.Th.Chabot (1950:246) berdasarkan penelitian, menyatakan antara lain:
Tiap-tiap
perbuatan untuk melebihi orang lain, baik secara besar atau kecil, baik
dengan angan-angan atau sesungguhnya mengakibatkan bahwa yang menderita
karena perbuatan itu merasa harga dirinya dalam masyarakat terganggu.
Tentang orang itu dikatakan bahwa ia merasa dirinya sirik dan bahwa ia
akan membalas dendamnya dengan jalan melebihi lawannya itu.
Pandapat
Chabot tersebut didukung oleh survey POLRI terhadap sejumlah pelajar
SMA dan hasilnya ialah bahwa 97% memberi arti sirik secara luas sehingga
sirik-sirik (malu- malu) yang bias membuahkan balas dendam.
Sejumlah
32% orang dewasa berpendapat serupa arti sirik demikian merupakan Das
Sein yang berbeda dengan Das Sollen. Jikalau digunakan Kriteria ajaran
yang terdapat di dalam lontarak, maka apa yang dilukiskan oleh Chabot
itu termasuk SIRIK ATI yaitu rasa cemburu, sakit hati dan dendam, yang
justru melawan dengan sirik yang asli.
Sherly Errington, seorang Antropoloog Amerika yang pernah mengadakan penelitian
di Luwu (1976-1977) antara lain mengemukakan sebagai berikut (1977.No.2):
“...
untuk orang Bugis tiada tujuan atau alasan untuk hidup lebih tinggi
atau lebih penting daripada menjaga siriknya, dan kalau merasa
tersinggung, atau nipakasirik atau dipermalukan mereka lebih senang mati
dengan perkelahian untuk memulihkan siriknya dari pada hidup tanpa
sirik. Dan memang orang Bugis /Makassar terkenal dimana-mana di
Indonesia karena dengan mudah merekasuka berkelahi kalau dipermalukan
tidak sesuai dengan derajatnya. hhMeninggal karena sirik dikatakan Mate
Rigollai, Mate Risantangi, artinya mati diberi pula gula dan santan,
artinya mati untuk sesuatu yang berguna.
Sebaliknya, hanya dengan
memarahi dengan kata-kata seorang lain, bukan karena sirik, tetapi
dengan alasan lain, dianggap hina. Begitu pula lebih-lebih dianggap hina
Melakukan kekerasan terhadap orang lain hanya dengan alasan politik
atau kepentingan ekonomi, atau dengan kata lain semua alasan perkelahian
selain dari pada sirik dianggap semacam kotoran jiwa yang dapat
menghilangkan kesakitan, kita harus mengerti bahwa sirik itu tidak
bersifat menantang saja, tetapi juga merupakan perasaan halusdan
suci...”
Seorang yang suka mencuri atau yang tidak beragama atau yang bersifat tidak suci
atau yang tidak sopan santun semua kurang siriknya.
Sejarawan
Amerika yang berhasil menemukan konsep kebudayaan SIRIK, PESSE DAN WERE
orang–orang Sulawesi Selatan ialah Dr.L.A.Andaya (1979: 366-369) yang
menyatakan antara lain:
Dalam istilah sirik terkandung dua makna yang saling bertentangan. Dia dapat berarti
aib(malu) atau juga bias berarti harga diri.
Suatu
keadaan siri’ terjadi bilamana seseorang merasa status dan prestise
sosialnya dalam masyarakat diserang di muka umum. Bias juga timbul
perasaan aib jika seorang dituduh, difitnah telah Melakukan perbuatan
tercela, pada hal tidak.
Dalam masyarakat Sulawesi Selatan rasa
keadilan itu bias muncul secara mendadak. Orang Bugis-Makassar akan
bereaksi keras bilamana mereka percaya bahwa mereka itu berada pada
pihak yang benar, tetapi dipersalahkan.
Mereka akan merasa
derajatnya direndahkan bilamana telah merasa aib, maka dia oleh
masyarakat dituntut untuk menghilangkan ketidakadilan dan menghilangkan
harga dirinya. Masyarakat menuntut supaya orang yang disebut malu, wajib
mengambil tindakan terhadap orang yang menghinanya. Karena menurut
masyarakat, lebih baik mati dalam mempertahankan harga diri daripada
hidup penuh aib.
Seseorang yang dipandang mati siriknya, karena
tidak berbuat apa-apa untuk mengembalikansiriknya, dinilai oleh
masyarakat orang yang tidak berguna. Kedua aspek sirik rasa aib dan malu
harus dijaga untuk seimbang.
PACCEPacce,bilamana bukan sirik yang menyebabkan orang Makassar bersatu, maka pacce,
inilah yang mempersatukan kami. Adapun orang Bugis, bilamana tidak ada siriknya, masih
ada pacce.
Pacce dan sirik adalah konsep dwitunggal yang mendefinisikan orang Bugis dan
Makassar.
Sedang
pacce itu bagi orang Makassar, menimbulkan rasa kebersamaan yaitu
perasaan iba melihat penderitaan-penderitaan orang. Turut merasakan
penderitaan sesame manusia, bagi orang Bugis dan Makassar diwajibkan.
Itulah yang menimbulkan solidaritas antara individu dan anggota
masyarakat lainnya.
Were, mengajarkan bagi orang Bugis dan Makassar bahwa nasib seseorang tidak
menjadi baik, bila tidak berusaha untuk memperbaiki. Dalam hal ini, jangan menyandarkan
diri pada rahmat Allah, tetapi upayakan dahulu memperbaiki nasib itu.
Dr.L.A.Andaya lah yang menemukan tiga konsep kebudayaan orang-orang Bugis-
Makassar (sebenarnya juga orang Mandar dan Toraja) yang terdiri atas tiga unsur essensial :
SIRIK, PESSEdan WERE, yang menurut dugaan saya dapat ditingkatkan menjadi
kebudayaan Nasional dan bukan saja bermanfaat tetapi merupakan condition sine qua non
dalam memajukan dan mensukseskan Pembangunan Nasional dan Daerah.
Didalam
uraianAndaya-lah dapat disimpulkan bahwa ada dua macam sirik, yaitu
rasa aib disebabkan oleh serangan orang lain, rasa malu yang disebabkan
oleh nasib buruk yang menimpa seseorang. (Baca :ZAINAL ABIDIN). Unsur-unsur Positif dan Negatif
Ditinjau
dari segi kepentingan masyarakat dan kepentingan pembangunan budaya
bangsa yang Bhoneka Tunggal Ika ini sesungguhnya masalah Sirik tersebut
mengandung nilai-nilai/unsur-unsur positif dan negative. Namun dalam
beberapa hal pada perwujudannya kadang kala menjurus pada yang negative.
Karena salah diartikan atau ditafsirkan secara tidak tepat.
Nilai Positif
1.
Bertolak dari hakekat Sirik, yakni masalah harga diri atau pride, maka
Sirik sesungguhnya merupakan hal yang sangat positif untuk dikembangkan
bagi kepentingan kemajuan masyarakat yang sudah berlembaga dengan
tatanan nilai-nilai budaya ini.
2.Sirik pada pokoknya bersumber pada dasar dan nilai-nilai bentuk ikatan dalam masyarakat
mentaati hukum, peraturan, perjanjian, dan lain-lain bentuk ikatan dalam masyarakat
(community) sehingga dapat menjaga kelestarian hidup sesuatu kelompok masyarakat.
3.
Dengan prinsip sirik, mendorong masyarakat untuk tidak tertinggal dalam
bentuk kemajuan apapu. Sebab motivasi terhadap rasa tidak ingin
ketertinggalan adalh bersumber pada sirik itu sendiri.
4. Sirik adalah merupakan harkat yang berlembaga dan hodup terus dihati masyarakat,
berarti ia positif.
5.
Sirik dapat dikembangkan lebih jauh untuk kepentingan kemajuan
masyarakat disebabkan oleh rasa solider yang tinggi terhadap nilai-nilai
saja yang bersikap untuk kepentingan kemajuan masyarakat.
6.Sirik oleh masyarakat Sulawesi Selatan telah dianggap sebagai suatu nilai budaya yang
harus dipegang teguh (terus). Sebab tanpa sirik, manusia ini dianggap sangat rendah nilai
kemanusiaanya (harkatnya).
7.Dengan memberikan bntuk dari segi basic Moral tentan sirik yang positif, maka sikap budaya
ini mendorong masyarakat untuk mendukung masalah Kamtibmas. Utamanya
dalam permasalahan pembinaan moral bangsa yang diarahkan pada
nilai-nilai semangat juang 1945 dan pengamalan Pancasila serta
ke-Bhinneka Tunggal Ika-an.
8.Sirik dengan kaitannya sebagai unsur kewiraan / kepatriotikan kepahlawanan / ketahanan, dapat
dijadikan unsur-unsur ketahanan. Yakni pantang menyerah kalah pada
musuh atau pada setiap bentuk tantangan yang timbul (menantang
kebathilan), dalam kerangka menegakkan yang haq. Yakni, pendirian
(sikap) yang tak tergoyahkan, yang dalam istilah Bugis-Makassar disebut :
Toddopuli. Yakni, Memaku dalam sikap pendirian. Tidak tergoyahkan dalam
keyakinan.
Sisi Negatifnya
1. Sirik banyak diselewengkan oleh
pribadi-pribadi pembawanya, menyimpang dari harkatnya sebagai aspek
kebudayaan yang nilainya luhur. Karena terkadang perbutan yang negative
dan sifatnya sangat sepele atau tidak prinsipil dikait-kaitkan dengan
Sirik yang bernilai positif (mengandung nilai kulturil yang agung).
2.Kadangkala nilai Sirik itu ditunggangi untuk kepentingan-kepentingan mencapai sasaran-sasaran
atau melindungi perbuatan-perbuatan yang negatif dari semantara
pelaku-pelaku khausu kejahatan tersebut (lihat contoh-contoh sirik pada
halaman terdahulu yang mengambarkan proses terjadinya erosi dalam
penilain sirik terswebut sebagai suatu yang bernilai tinggi.
Saran-saran / Pendapat-pendapat 1.
Sirik perlu digali sebagi suatu aspek budaya bangsa kita sebagai sub
kultur budaya bangsa yang Bhineka Tunggal Ika. Guna dimanfaatkan sebagai
ramuan-ramuan pembinaan kebudayaan Nasional dan aspek-aspek pembangunan
Nasional pda umumnya yang Bhineka Tunggal Ika itu.
2.Seminar tentang sirik sangat positif artinya sebagai suatu pembahasan ilmiah dan
karya budaya. Utamanya karena sejalan dengan materi ketentuan-ketentuan GBHN
(Bidang Budaya) .
3.
Sirik sebagai aspek budaya bangsa yang Bhineka Tunggal Ika ini perlu
diangkat nilai- nilai positifnya. Digali nilai-nilai mutiaranya, demi
kepentingan identitas bangsa dalam kerangka penghayatan dan pengamalan
pancasila
4. Perlu ditempu langkah-langkah agar nilai-nilai sirik
tersebut, terpisahkan dari nilai- nilai emosional. Dengan
kegiatan-kegiatan berupa merasionalkan masyarakat bersangkutan Melalui
sarana-sarana pendidikan. Hal ini memungkin kan dengan berkembang
pesatnya dunia pendidikan yang kini merata sampai ke pelosok-pelosok
desa dimana desa sebagai tempat pesemaian sirik itu masih merupakan
sesuatu yang berakar (melembaga).
5. SIRIK sebagai manifestrasi
harga diri dan pegangan hidup untuk tidak berbuat yang bercela atau
a’moral,disamping merupakan tekat untuk memperkuat iman untuk mencapai
sukses yang dicita-citakan serta daya dorong untuk mengatasi hambatan
yang dihadapi perlu dilestarikan sebagai aspek budaya bangsa yang
Bhineka Tunggal Ika dan upaya mengamalkan nilai-nilai luhur falsafah
pancasila. Dalam pengertian
Bahwa kebudayaan Nasional kita,
adalah puncak-puncak Air Republik ini. Karena telah disepati bahwa:
nilai harkat sesuatu bangsa diukur dari nilai harkat kebudayaan
masyarakat.
Namun syarat untuk pembangunan kebudayaan, mengenal
terlebih dahulu antropause yang merupakan pangkalnya. Karena itu
pembanguna-pembanguna yang kita rencanakan dan yang akan kita laksanakan
tak mungkin selama antropologi budaya Indonesia tidak merupakan latar
belakang dalam menyusun dan melaksanakan pembangunan itu.(pasal 180 Buku
gaya Baru-Drs Sidi Gazaiba).
Dalam pada itu, penulis merupakan
rumusan pada UUD ‘ 45 BabXIII pasal 32 nyata disebutkan: Bahwa
kebudayaan Bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai budi-daya rakyat
Indonesia seluruhnya.
Kebudayaan lama yang asli yang terdapat sebagai puncak kebudayaan daerah-daerah
diseluruh Indonesi, terhitung sebagai kebudayaan bangsa.
Usaha
kebudayaan,harus menuju kearah kemajuan abad,budaya dan persatuan
dengan baik tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang
dapat dikembangkan atau diperkaya kebudayaan bangsa sendiri,serta
mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. Demikian bunyinya UUD
tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 itu, nyatalah
betapa pentingnya setiap daerah di Indonesia memperkembangkan kebudayaan
daerahnya untuk mencaipai puncak-puncak guna kebanggaan Nasional
Indonesia. Dalam kaitan ke- Bhineka Tunggal Ika-an berbeda namun tetap
satu jua. Dan last but not leasty,segalanya demi melastarikan
nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Karena pancasila itu, dsesungguhnya
digali dari sumber-sumber nilai budaya Bangsa Indonesia itu sendiri.
Kunci untuk mengenal dan mengetahui kebudayaan bangsa Indonesia adalah
faham Bhineka Tunggal Ika. Tanpa pemahaman akan Indonesia terlatak pada
ke-Bhinekaannya. Tetapi dalam ke-Bhineka-an tetap ada kesamaan(Franz
Magnis Suseno).
Sirik, hakekatnya adalah milik bangsa Indonesia.
Ia adalah subkultur Bangsa Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika ini.
Karenanya, maka nilai-nilai positifsirik tersebut perlu dibina,sebagai
kekayaan khasanah kebudayaan Nasional kita.
Akhirul kalam :
sesungguhnya hanya mereka yang bertekad berkerja tanpa kenal
lelah(memiliki etos kerja yang tinggi) tabah menghadapi
tantangan-tantangan dan hambatan serta mampu menghemat (tidak boros dan
serakah) yang mampu mencapai titik sasaran sukses perjuangan (peribahasa
Bugis; Resopa Na Tinuluk Temmangingi Na Marekking Ri Waramparang
Naletei Pammase Puang Dewata SeuwaE)
Namun untuk segalanya itu,
kuncinya terlatak pada prinsip ; Ada’Na gau (satu-satunya kata dan
perbuatan). Ketulus-ikhlasan dan itikad baik. Yakni kemampuan untuyk
berkata yang benar itu benar. Dan yang salah itu salah. Demikian adanya.
Semoga Tuhan melimpahkan Rahmat dan HidayatNya pda kita sekalian dalam
berlomba-lomba berbuat kebaikan bagi Bangsa dan Negara Republik
Indonesia tercinta ini
Lampiran:
Hasil Rumusan Tudang Sipulung Kebudayaan Majelis Pertimbangan Buidaya Daerah
Propensi Sulawesi Selatan tanggal 15-17 Juli 1989.
Malam
tanggal 16 Juli 1989,pukul 20.00 kita baru saja mengkhiri rangkaian
diskusi tentang Nuansa Kebudayaan kita. Semua ini kita lakukan sebagai
suatu ikhtiar mencari jalan ; bagaimana memanfaatkan Budaya Tradisional
dalam proses dan kreativitas Budaya Kontemporer.
Berbagai permasalahan dibicarakan selama dua hari dalam sebuah symposium yang
kita sebut Tudang Sipulung Kebudayaan Daerah Sulawesi Selatan. Ada sepuluh buah
makalahyang
dibicarakan selama dua hari ini. Seluruh ditulis dengan penuh
kesungguhan, mereka seakan-akan mengajak kesuatu wawasan kreativitas
budaya kontemporer sementara itu kita pun diperhadapkan pada realita
bahwa sesungguhnya perjalanan kita kearah itu tersendat atau mungkin
meluncur tanpa arah. Jika hal itu dibiarka terus-menerus, dapat
dipastikan akan mengerdilkan kreativitas budaya kita.
Tudang
Sipulung yang semiula direncanakan hanya dihadiri oleh 60 orang,ternyata
kemudian meningkat menjadi 83 orang. Tanggapan dari Sulawesi
Selatan,sungguh sangat mengembirakan. Semua ini seakan satu pertanda
akan lahirnya suatu generasi budaya yang berkualitas di Negeri ini.
Tujuh
orang Nara Sumber yang penuh kebijakan dan pengetahuan yang luas
tentang manusia dan kebudayaan Sulawesi Selatan telah memberikan pula
inspirasi yang tidak kering-kering dalam Tudang Sipulung ini. Semua ini
mendorong terciptanya iklim jerni. Ketulusan dan kesungguhan semua
peserta seminar selama dua hari Tudang Sipulung memungkinkan lahirnya
nberbagai butir-butir rumusan sebagai rancangan kebijakan dapat
diperoleh dari Tudang Sipulung ini :
1.Perlu adanya upaya menerjemahkan berbagai literature asing tentang Sulawesi selatan ke
bahasa Indonesia. Hal ini penting karena banyak informasi tentang
Sulawesi selatan yang harus diketahui dari persepsi penulis Asing.
Dengan tetap bersikap kritis terhadap hasil-hasil terjemahan itu.
2.
Upaya penerbitan atau peningkatan kualitas dan kuantitas terhadap
karya-karya terbitan local sangat dibutuhkan. Berbagai jenis
naskah-naskah local serta bermacam-macam isi kandungannya perlu segera
diterjemahkan dan diterbitkan.
3. Untuk meningkatkan kreativitas bidang kesenian dan kebudayaan diperlukan kerja
sama antara Pemerintah, seniman, budayawan, ilmuwan, dan masyarakat.
4. Professionalisasi pengelolahan kesenian, baik dalam penciptaan mupun dalam
pemasaran sangat perlu untuk mendorong perkembangan kesenian di Sulawesi Selatan.
5.Refungsionalisasi organisasi-organisasi kesenian ditunjukan kepada berperannya grup- grup kesenian sebagai Sanggar-Sanggar dan Bengkel-Benmgkel kerja. Untuk memacu
prestasi kesenian dan sanggar-sanggar/bengkel-bengkel kerja tersebut, Dewan kese
nian Makassar hendaknya berperan dalam memberikan pemantauan, dorongan dan
evaluasi di bidang Seni kontemporer dan BKKNI di bidang Seni Tradisional.
6. Tudang Sipulang yang kita lakukan ini adalah upaya yang kita tempuh untuk
memantapkan sikap mental manusia Sulawesi Selatan pada inti budayanya yang paling
esensial, Sirik, sehingga terbangun perilaku yang dapat menjawab tantangan zaman.
7. Menciptakan iklim berkesenian yang baik untuk melahirkan seniman yang berkualitas.
Harus disadari bahwa yang terpenting dari seorang sniman adalah kualitas karya dan
kualitas pri-badinya, bukan statusnya dalam organisasi kesenian atau organisasi
kebudayaan. Karena itu perlu ditumbuhkan kemandirian untuk tampil sebagi pribadi
yang tangguh.
8.Sosok
budaya tradisional Sulawesi Selatan ada-lah budaya yang telah Mapan, ia
lahir dari kearifan manusia yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa. Karena
itu unsur budaya yang diciptakannya bersifat adaptif dan selektif.
Unsur-unsur itu-lah yang menjadi ladang kreativitas yang harus kita
garap di Sulawesi Selatan.
9. 0rganisasi-organisasi kebudayaan di
Sulawesi Selatan tampaknya mandek dan kurang berfungsi. Untuk
refungsionalisasi organisasi-organisasi kebudayaan, pemerintah Daerah
Sulewesi Selatan perlu memberikan perhatian yang serius.
10.
Untuk maksud butir tersebut diatas, diharapkan Majelis Pertimbangan
Budaya Daerah Propinsi Sulawesi Selatan dapat menjadi jembatan antara
pemerintah Sulawesi selatan dengan organisasi-organisasi kebudayaan.
Sebaliknya Majelis Pertimbangan
Budaya Daerah kita jadikan lembaga konsultasi tentang hasil karya budaya/kesenian
dari berbagai sumber dengan tidak membedakan latar belakang.
11.
kebudayaan di Sulawesi Selatan yang hendak dikembangkan adalah seluruh
unsur budaya, termaksud kesenian lama dan baru, bahkan kesenian yang
dikembangkan oleh seniman garda depan.
12. Majelis Pertimbangan
Budaya Daerah Propinsi Sulawesi Selatan hendaknya berperan semaksimal
dan seobjektif mungkin dalam mengambil langkah-langkah penjernihan
budaya sulawesi selatan.
Makassar,16 juli 1989
Tim Perumus:
-Anggota: Husni Djamaluddin
: Sagimun MD.
: Rachman Arge.
: H.D.Mappatunru.
: Darmawan.
: Ishak Ngeljaratan.
: S.A.Yatimayu
: Fahmi Syariff.
-Ketua : Mukhlis
*http://www.scribd.com/doc/24317027/Menggali-Nilai-nilai-Budaya-Bugis-makassar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar