SIRIK DAN PEMBINAAN KEBUDAYAAN
Prof.
Dr Mattulada (seorang tokoh kebudayaan terkemuka) dan selain menjabat
Dekan Fakultas Sastera UNHAS di Ujung Pandang, beliaupun adalah Ketua
Dewan Kesenian Makassar (DKM). Pada medio tahun 1981, Prof.Dr.Mattulada
dilantik menjadi Rektor Universitas Tadulako di palu Sulawesi Tengah.
Salah satu tulisannya yang sangat menarik, adalah artikel tentang Sirik
yang kami coba mengangkatnya, guna melengkapi buku Sirik dan Pacce ini.
Prof.Dr. Mattulada itu menulis antara lain sebagai berikut (Judul “Sirik dan
Pembinaan Kebudayaan”).
Pendahuluan Sirik
dapt dipandang sebagai salah satu konsep cultural yang memberikan
impact aplikasi terhadap segenap tingkah laku nyata. Tingkah laku itu
diamati sebagai pernyataan atau perwujuda kebudayaan. Perwujudan dan
kebudayaan, bukan lain kenyataan-kenyataan yang lahir dari permanusian
alam, untuk manfaat sebesar-besarnya umat manusia.
Suatu konsep
cultural,memantapkan diri dalam suatu sistem budaya. Sistem kebudayaan
itu sendiri adalah rangkaian sejumlah konsep awbstrak yang bersemayam
dalm pikiran warga terbanyak suatu persekutuan hidup.
Dalam arti
Sirik apabila mengamati pernyataan-prnyataannya atau lebih konkrit
mengamati kejadiannya berupa tindakan-tindakan,perbuatan,atau tingkah
laku yang katanya dimotivasi oleh Sirik, maka akan timbul kesan bagi
para pengamat,bahwa Sirik itu pada bagian terbesar unsurnya dibangun
oleh perasaan,oleh sentimentality (perasaan halus),oleh emosi dan
sejenisnya. Dan penafsir yang berpijak kepada melihat kejadian-kejadian
itulah, timbul penafsiran atas Sirik itu misalnya: 1. Malu-malu,2.
Hina,/aib,3. Dengki/iri hati,4 harga diri/kehoormatan,dan 5. Kesusilaan .
Cara melihat seperti itu tentu saj
atidak salah, hanya saja kurang lengkap.,terutama apabila hendak
mengamatinya dari sudut konfigurasi kebudayaan . konfigurasi
kebudayaan,akan melihatnya dari totalitas atau keutuhan budinya manusia
yang terwujud dalam tindakan –tindakan berpola.
Jadi
tidakmelihatnya dari sudut kejadian yang berpisah,sesuatu itulah
hendaknya dilihat dalm rangkaian suatu sistem yang berhubung-hubungan
dengan sekalian sub-sistem yang mendukungnya.
Demikian pula hendaknya Sirik itu dilihat dalam suatu sistem budaya orang Bugis-
Makassar, agar dapat memahaminya secara lebih kompak.
Karena
judul tulisan ini memberikan tekanan kepada Sirik dan pembinaan
kebudayaan, maka satu kejelasan perlu disepakati lebih dahulu,tentang
pembinaan kebudayan itu sendiri. Pembinaan kebudayaan yang dimaksud di
sini,adalah pemantapan erah pertumbuhan kebudayaan yang mempunyai
dimensi lebih luas mendukung ketahanan Nasional Bangsa Indonesia dalam
membangun dirinya sebagai bangsa yang kuat dan besra dalam pergaulan
antar bangsa.
Pembinaan kebudayaan dengan demikian bukanlah
sekedar membangun tembok- tembok yang mempersempit ruang gerak berpikir
dan berinovasi tentang eksistensi Bangsa Indonesia agar dapat menjadi
bangsa yang besar, lagi terhormat dalam pergaulan antar-
bangsa,melainkan terbangunnya suatu kebudayaan bangsa Indonesia yang di
dalamnya terbangun dan terpelihara harkat dan martabat manusia orang
seorang makhluk Allah yang antara sesamanya makhluk manusia mempunyai
kedudukan yang sederajat.
Dari sudut inilah relevansi konsep Sirik orang Bugi- Makassar dibicarakan karena
diperkirakan dapat dijadikan daya dorong yang kuat dan berguna bagi perkembangan
kebudayaan di Indonesia,setidak-tidaknya bagi orang Indonesia yang hidup dalam
masasyarakat dan kebudayaan Bugis-Makassar.
Sirik Dalam Konteks Kebudayaan Pangngandereng
Tata
hidup orang seorang yang menciptakan tingkah laku individual berpola
dan tata hidup dalam masyarakat yang membangun sistem sosial pada orang
Bugis, itulah yang kita namakan Pangngadereng (Bugis) atau
Pangngadakkang (Makassar). Kalau itu kita jabarkan menurut isinya ,maka
itulah sesungguhnya makna kebudayaan pada orang Bugis-Makassar. Isi
Pangngadaeraeng atau hakekat kebudayaan orang Bugis-Makassar, sepanjang
pengetahuan kita wariskan oleh sejarah sampai dengan permulaan abad ke
XX terdiri atas lima anasir yang anatara satu sama lainnya sebagai satu
sistem merupakan panduan yang utuh.
Unsur-unsur itu ialah:(1). Adek,(2).BNicar,(3) Warik,(4) Rapang, dan (5) Sarak.
Kelima
analisir Pangngaderang itulah yang akan menjadi sumber sekalian
tingakah- laku dalam membangun segenap aspek kebudayaan rohaniah dan
kebudayaan pisik. Didalam aplikasi kelima anasir itu untuk menjalinnya
kedalam sau sistem yang utuh, agar antara sistem kepribadian, sistem
kemasyarakatan dan sistem budaya (pangngadereng) terjalin keserasian dan
keseimbangan dalam memberikan dinamik dalam kehidupan, maka terdapatlah
sesuatu yang merupakan inti, atau merupakan ethos, atau merupakan alat
integrasi, atau apa saja namanya yang menjadikan kebudayaan itu hidup
dan dikembangkan dengan gairah oleh para pendukungnya, yaitu orang-orang
yang terikat pada pola kehidupannya oleh kebudayaan itu. Tiap-tiap
kebudayaan dalam hidupnya mempunyai semacam inti yang menjadi pusat
motivasi bagi perkembangannya.
Kebudayaan Eropa modern umpamanya
menjadikan kebebasan sebagai inti perkembangan dari kehidupan kebudayaan
Eropa. Ethik Kristen, menurut Max Weber Sosiolog yang kenamaan itu
dalam wujud Shame Culture menjadi inti dorongan lahirnya kemajuan
peradaban dunia barat.
Maka apabila mengamati dengan seksama
setiap dambaan hati nurani orang Bugis- Makassar, yang memahami sirik
sebagai motif yang amat dalam dari segenap gerak hidupnya berpikir,
merasa dan berprakarsa, maka pada hemata kita sirik itu, tidak lain
daripada inti, ethos atau alat integrasi dan pangngadereng mereka, sirik
itulah inti kebudayaan orang Bugis Makssar. Sebagai inti kebudayaan,
niscaya dari sirik itulah berkembang segenap isi kebudayaan berupa lima
anasir yang disebut di atas.
Sebagai isi kebudayaan, sirik itu
dengan sendirinya tidak semata-mata mengandung perasaan. Didalamnya juga
terkandung dua potensi rohaniah lainnya yang menjadi potensi tiap-tiap
kebudayaan, yaitu pikiran dan kemauan, disamping perasaan itu tadi.
Kalau
secara teoritis kita dapat menerima bahwa sesuatu keutuhan dalam satu
sistem akan berkelanjutan dengan baik, bilamana segenap sub-sistem yang
mendukungnya berjalan dengan seimbang, maka kitapun niscaya dapat
menerima bahwa proses degenerasi sesuatu sistem akan terjadi, bilamana
salah satu unsur dalam sistem itu mengalami kepunahan. Apabila salah
satu unsur dalam sistem itu punah, maka potensi atau daya hidup itu akan
memusatkan diri pada unsur yang masih bertahan.
Teori ini, kita
coba gunakan pada proses degenerasi pangngadereng orang Bugis- Makassar,
yang dialaminya dalam sejarah selama kurang lebih seabad berselang.
Sirik sebagai inti pangngadereng itu menyatakan diri dengan amat keras
pada salah satu isi pangngadereng yang masih mampu bertahan. Sejarah
kebudayaan orang Bugis-Makassar dalam arti sejarah keutuhan
pangngadereng, sudah berakhir sejak negeri ini mengalami keruntuhan dan
kehilangan kemerdekaannya.
Secara sederhana dapat dikatakan unsur Adek, Bicara, dan Sarak dalam arti
sesungguhnya sudah berakhir atau kehilangan peranannya yang amat menentukan. Unsur satu-satunya
yang masih dapat hidup atau berkelanjutan dalam kepincangan adalah
Warik, yaitu unsur pangngadereng yang mengatru jenjang kehidupan dalam
pembinaan keluarga, diantaranya soal kawin-mawin. Karena inilah
satu-satunya unsur pangngadereng yang masih dipunyai dan masih dapat
dikuasai, maka ke dalam unsur itu tercurah segenap kepekaan kehidupan
orang Bugis-Makassar. Unsur itu dijaga sebagai batas terakhir dari milik
peradaban yang ada, karena unsur lainnya belum lagi membawa nilai ganti
yang setara dengan yang hilang.
Demikianlah, maka dalam keadaan perjalanan unsur Warik yang sudah amat pincang
itu pangngadereng yang disebut sirik menyatakan diri dengan amat intensif.
Dalam
hal kawin-mawinlah selama kurang lebih seabad berselang, sirik itu
menyatakan diri. Sirik diberi batasan semata-mata kepada
perbuatan-perbuatan yang bersangkut-paut dengan urusan perkawinan, lari
kawin, tomasirik dan pembunuhan yang membawa dendam berkelanjutan. Sirik
deberi arti sebagai peluapan perasaan yang tidak membawa akibat-akibat
perbuatan yang merendahkan martabat kemanusiaan.
Sirik Sebagai Sumber Motivasi
Apa
yang mendorong seseorang warga masyarakat Bugis-Makassar untuk pada
suatu ketika dalam hidupnya berbuat sesuatu yang amat nekad, memilih
menyerahkan milik hidupnya yang terakhir, yaitu NYAWA, acapkali
dikembalikan kepada konsep yang mereka namakan sirik. Ia dapat atau rela
mengorbankan apa saja untuk tegaknya sirik. Katakanlah itu satu
kesadaran tentang nilai MARTABAT yang didukung oleh tiap-tiap orang
dalam tradisi kehidupan masyarakat Bugis-Makassar. Katakanlah itu satu
kesadaran kolektif yang amat peka, dibebaskan kepada tiap-tiap orang
anggota persekutuan hidup untuk membangunnya untuk mempertahankan dan
menegakkannya.
Ada berbagai ungkapan dalam kepustakaan Lon-tara
Bugis-Makassar yang menunjukkan bahwa sirik bukanlah suatu sikap yang
semata-mata berpangkal dari keluapan emosi. Dalam persekutuan hidup,
desa, wanua ataupun tanah, niscaya terdapat pemimpin dari persekutuan
itu. Tiap-tiap pemimpin menurut jenjangnya masing-masing, menjadi orang
pertama tempat sirik itu harus terpelihara, dikembangkan dan dibela.
Tiap-tiap orang anggota persekutuan yang dipimpinnya, merasa diri
bersatu dengan pemimpinnya karena sirik yang dimilikinya bersama. Antara
pemimpin dengan yang dipimpin terikat oleh satu kesadaran martabat diri
yang menimbulkan sikap pesse(Bugis) = Pacce ( Makassar) yang dapat
disebut solidaritas yang kuat.
Masing-masing orang yang
ditentukan dan mengetahui hak-hak dan kewajiban- kewajiban masing-masing
yang mendapat sandaran dari sirik dan pacce. Itulah yang melarutkan
tiap-tiap orang pribadi mendukung sirik melebur diri untuk kepentingan
bersama. Pacce atau pesse itulah yang mendorong dalam kenyataan adanya
perbuatan tolong- menolong, adanya tindakan saling membantu, adanya
pembalasan dendam, adanya tuntut bela dan segala kenyataan lain yang
mirip pada solidaritas yang mendapatkan hidupnya dari konsep sirik.
Pemimpin kaum terhina berarti sirik atau martabat negeri terhina,
tiap-tiap orang terhina siriknya. Maka pesse atau paccepun muncul
menjadi pendorong untuk menuntut bela.
Anak negeri terhina,
berarti sirik (Martabat) negeri ternoda. Pemimpin kehinaan, maka pesse
atau pacce mendorong sang pemimpin untuk bertindak. Apabila antara
pemimpin dan yang dipimpin sudah tidak terdapat sirik bersama yang
masing-masing mengetahui hak dan kewajiban untuk memikulnya, maka pesse
atau pacce itupun tidaklah akan menjadi motif untuk perbuatan dan
tindakan masing-masing. Dalam pesse atau pacce itulah melarut tiap- tiap
pribadi didalam kesatuan antara pemimpin dengan yang dipimpin.
Sirik
menjadi sumber dari panggilan pesse atau pacce itu. Karena siriklah
yang menimbulkan kewajiban masing-masing untuk saling memelihara batas,
sehingga tidak saling cegat-mencegat daulat-mendaulat.
Di sini
terletak aspek kesadaran atau pikiran yang member batas-batas rasional
dari sirik itu. Bahwa masing-masing orang sepadan dengan siriknya, milik
pribadi dan kepunyaannya, dibatasi oleh kesadaran adanya pesse atau
pacce, menimbulkan kewajiban untuk bekerja sama, bantu membantu,
bersetia kawan dalam lapangan-lapangan pekerjaan yang menyangkut sirik
yang bersama-sama mereka miliki, dan penghinaan atas seseorang, berarti
penghinaan atas semua. Lapangan-lapangan kehidupan yang menempati posisi
demikian , disitulah perbuatan atau tindakan solidaritas berlangsung
dengan intensifnya solidaritas seseorang terhadap kaumnya, merupakan
totalitas yang pada oleh dorongan sirik.
Konfigurasi kebudayaan
yang demikian, sesuai dengan tabiatnya menonjolkan kedepan nilai-nilai
kekuasaan, solidaritas, seni dan religi, sebagai nilai yang amat tinggi.
Nilai-nilai dari lapangan itu memotori sekalian sikap yang tidak cepat
berkembang, dalam gambaran kemasyarakatannya, di sana terdapat
persekutuan yang komunalistik. Persekutuan berada di atas kepentingan
individu. Penonjolan prestasi pribadi dipandang perbuatan yang tercelah.
Orang mempergunakan juga pikirannya, tetapi pikiran itu haruslah sesuai
dengan kepentingan perskutuan, kepentingan kommun. Penajaman pertanyaan
sirik berupa tindakan- tindakan yang dianggap melanggar ketertiban atau
perbuatan-perbuatan a sosial yang orang tafsirkan sebagai perbuatan
atas nama sirik sangat erat pertaliannya dengan proses degenerasi
pangngadereng di satu pihak dengan proses perobahan sosial yang menyerap
nilai-nilai baru.
Dalam kegoncangan nilai-nilai dan rontoknya
hamper segenap aspek kebudayaan pangngadereng terjadilah berbagai ragam
isolasi sosial yang mencoba hendak menyelamatkan sisa peradaban yang
masih dipunyai. Sesuatu kaum mengurung diri terhadap kaum yang lain.
Stereo-type sesuatu kaum atau golongan kerabat tertentu, terhadap kaum
atau golongan lain dipertajam dengan batas-batas yang sekeras mungkin.
Sirik menjadi symbol kaum yang semakin menyempit dan semakin sempurnalah
kelunturan maka sirik yang pernah menjadi daya dorong bagi pola tingkah
laku yang bermakna positif bagi kehidupan kebudayaan pangngadereng
orang Bugis-Makassar.
Kejadian-kejadian berupa kasus-kasus nyata
yang member makna betapa negatifnya sirik itu, memanifestasikan diri.
Hal demikian itu pun tak salah, karena seseorang akan memberikan makna
kepada sesuatu konsep, menurut kenyataan yang ia jumpai dan kenyataan
itu orang menyebutnya sebagai konsep itu sendiri. Orang pada umumnya
melihat apa adanya. Orang tak mudah dipaksa untuk memikirkan bagaimana
mestinya. Sirik sebagai inti kebudayaan pangngadereng, telah mencair
maknanya, bersama dengan tidak berperanannya secara utuh anasir
pangngadereng itu sendiri. Satu struktur sosial yang dihidupi oleh
fungsi pangngadereng sudah lama redup, dengan demikian, inti hidupnya
pun masih terasa oleh sebahagian orang yang masih hidup, dicoba dengan
berbagai dalih dan perbuatan untuk memberinya makna dan pembenaran.
Makna yang diberikan itu adakalanya baik dan positif tetapi seringkali
juga buruk dan amat negative.
Memang, sesuatu yang disebut inti,
atau sesuatu apalagi kalau ethos itu, ethos kebudayan, akan bertahan
lama hidupnya, walaupun ia tidak fungsional lagi, karena tak ada
struktur yang medukungnya. Akan tetapi karena ethos itu dapat
bertransformasi kedalam suatu struktur baru yang menjelma dalam
perubahan-perubahan, maka adalah tidak mustahil kalau ethos itu dapat
berfungsi kembali, karena dapat mengambil tempatnya yang tepat dalam
struktur baru itu. Demikian pula adanya dengan sirik sebagai ethos
kebudayaan pangngadereng. Walaupun struktur pangngadereng yang
mendukungnya tidak utuh lagi mendukung fungsi-fungsi sosial, namun satu
struktur baru yang lahir dari perobahan- perobahan, belum lagi dapat
memantapkan sesuatu ethos baru yang dapat menggantikan ethos sirik yang
masih bergentayangan dalam kehidupan orang Bugis Makassar, sampaizaman
Mutakhir inipun. Karena itu, sirik masih dipersoalkan sebagai sesuatu
yang dipandang masih potensial untuk kebudayaan yang sedang dalam
pembinaannya, seperti kebudayaan nasional Bangsa Indonesia,
Suatu
kebijaksanaan pembinaan kebudayaan, mencoba mengaitkan masa sialm
dengan jalan mentransformasikan nilai-nilai zaman lalu itu ke masa
kini,agar memperolehnya akar pertumbuhan yang membumi, artinya berpijak
kepada realitasnya sendiri menuju masa depan dengan keperibadian yang
kuat.
Barangkali ethos sirik dapat menemukan tempatnya dalam bertransformasi ke struktur
masa kini, kita coba melihatnya pada bagian berikut.
Sirik Sebagai Ethos Kebudayaan
Ethos
kebudayaan berperan sebagai dinamisator dalam hidup sesuatu kebudayaan.
Apapun nama kebudayaan itu, niscaya ada intinya yang member arti yang
pasti bagi kebudayaan itu! Ia menyentuh esensil keberadaan sistem yang
menyertai kehidupan itu sendiri. Ia mempengaruhi temperamen tiap-tiap
orang, ia memberikan warna pada tata- kehidupan dalam persekutuan hidup
kemasyarakatan.
Sirik dalam arti demikian, adalah mengandung
nilai-nilai universal. Ia dipunyai oleh semua umat manusia yang telah
membina kebudayaan sepanjang sejarah kemanusiaan. Semua kebudayaan yang
dimiliki oleh umat manusia di muka bumi ini mempunyai sirik denga
sebutannya masing-amsing, dan aksentuasi pernyataan-peryataannya yang
berbeda pada tiap kebudayaan ruang dan waktu. Semua kebudayaan
mendapatkan daya hidupnya dari tripotensi rohaniah yang sama bagi
seluruh umat manusia. Hanyalah cara menggunakan potensi itu berbeda-beda
antara setiap golongan manusia, berbeda menurut waktu dan ruang. Tetapi
potensi itu berkesinambungan, yang acapkali dalam kesinambungannya itu
mengalami re-inovasi, re-interpretasi malah re-konstruksi. Ia memberikan
gairah dalam kehidupan untuk membanting tulang, bekerja keras,
menciptakan semangat hidup, yang mendorong kepada kemajuan.
Gairah
hidup itu baru mungkin berkembang, bila tersedia sarana yang cocok bagi
pertumbuhannya. Bilamana tidak, maka ia akan menjelma sebagai kekuatan
liar yang semena-mene.
Selama kurang lebih satu abad berselang,
sirik telah menjelma sebagai kekuatan liar yang semena-mena, karena
ketiadaan sarana yang cocok bagi pertumbuhannya. Ia memberontak terhadap
segala ikatan yang meronrongnya . ia bersikap agresif terhadap barang
sesuatu yang asing baginya. Ia tidak mengalami proses transmisi dan
transformasi sebagaimana layaknya sesuatu nilai diwariskan dari generasi
ke generasi. Karena itu ia hanya mengalami degenerasi. Proses pewarisan
nilai adalah bahagian dari kehidupan budaya yang terselenggara dengan
cermat Melalui proses edukasi, kesinambungan pendidikan. Dan inilah yang
mandek selama berpuluh tahun dalam zaman kekacau-balauan nilai.
Perlu
pula diperhatikan bahwa sirik dalam proses penilaian bukan hanya
menyangkut proses kebudayaan. Nilai bukan hanya inti daripada benda
kebudayaan, melainkan proses penilaian dan nilai-nilai adalah potensi
integrasi baik pribadi maupun masyarakat. Proses penilaian dan nilai
yang menjadi penentu adalah juga dengan sendirinya potensi yang
menentukan konfigurasi proses penilaian dan nilai pribadi serta
masyarakat yang berpola sebagai sistem kepribadian dari sistem
kemasyarakatan. Proses penilaian dan nilai-nilai yang lain, sedikit atau
banyak tuduk kepada tujuan, logika dan kenyataan dari proses penilaian
dan nilai-nilai yang menentukan itu menjadi norma yang tertinggi atau
etik dari seluruh konfigurasi, baik dalam sistem kepribadian maupun
dalam sistem kemasyarakatan.
Demikianlah kalau kita telah mencoba menempatkan sirik sebagai nilai terdalam dari
kebudayaan pangngadereng sebagai sistem kebudayaan dan yang menurunkan sistem kemasyarakatan
serta sistem kepribadian, maka dapatlah diungkapkan penjelasannya,
bahwa : yang dimaksud dengan sistem penilaian atau nilai pada seseorang
individu diingrasikan, diorganisasikan oelh tujuan, logika dan kenyataan
dari proses penilaian atau nilai yang menjadi etik pribadi. Oleh etik
pribadi itu yang terjelma dalam kata hati atau hati nurani tiap-tiap
orang, kelakuan tiap-tiap pribadi mendat tujuan, norma dan organisasi
untuk pertumbuhannya yang berbeda dari tingkah laku dari individu yang
lain. Etik pribadi yang berpusat pada kata hati itu disebut etik otonom,
dan oleh orang Bugis-Makassar disebut sirik.
Manusia dengan
kebudayaannya sebagai kesatuan menilai dan menjelma makan nilai- nilai.
Karena itu massa dalam masyarakat, individu itu mempunyai sifat
Dwi-ganda ; (1) sebagai pribadi yang beretik otonom, berkecenderungan
kepada kebebasan, tak ingin diganggu. Ia menjadi alat dinamisator dan
innovator pembaharuan kebudayaan. (2) sebagai anggota masyarakat ia
beretik heteronom ia tak mampu hidup menyendiri, ia menyatukan diri
dengan persekutuan dan berpartisipasi ke dalamnya. Ia berkecenderungan
untuk mempertahankan stabilitas sosial. Etik sosial itu yang bersifat
heteronom terjelma dalam adat istiadat; kebiasaan maupun undang-undang.
Adat istiadat, kebiasaan dan undang-undang inilah yang merupakan
norma-norma yang menentukan kelakuan individu sebagai anggota sesuatu
masyarakat.
Etik sosial yang lahir dari sistem kebudayaan
pangngadereng telah mengalami kerontokan, dan etik sosial muncul dengan
adat istiadat baru, kebiasaan baru dan juga undang-undang baru yang
hendak menetukan kelakuan individu Bugis-Makassar, yang masing-masing
dilekati oleh etik otonom sirik yang niscaya diperlukan dengan intensif
oleh seseorang yang merasa diri orang Bugis-Makassar, maka terjadilah
ketidak seimbangan. Norma-norma baru berupa perundang-undangan yang
mengatur individu tak mampu meresapi etik otonom sirik yang kini
didukung oleh indvidu saja. Jelaslah bahwa ada sesuatu yang harus
diperbaharui. Salah satu diantaranya apakah etik individu yang otonom
harus berobah, atau etik sosial yang heteronom harus berpijak pada
nilai-nilai yang berpangkalan kepada inti kebudayaan yang menjadi ethos
kebudayaan bangsa.
Penutup Kita sudah menjelajahi sekadarnya
proses kehidupan dan kehadiran sesuatu konsep yang disebut sirik. Sirik
sebagai inti dan ethos pangngadereng, telah memindahkan poros
penekanannya kepada etik indiidu yang otonom. Pada seginya yang positif,
asal saja ia diberikan struktur yang sesuai dengan daya hidupnya, ia
dapat menjadi potensi dorong yang kuat untuk mendinamisasikan sesuatu
pertumbuhan kebudayaan.
Suatu struktur yang sesuai dengan tabiat
etik otonom individu sirik adalah yang mempunyai akar yang membumi pada
peradaban yang tidak asing baginya. Satu orientasi nilai yang berpijak
pada kebudayaan sendiri perlu dikembangkan dengan teratur melalui
pendidikan penelitian yang tidak boleh dikerjakan secara acak-acakan.
Pada
hemat kita, sirik pada orang Bugis-Makassar, kalau itu benar masih
potensial untuk dapat menemukan re-orientasi dan transformasi ke dalam
interpretasi yang dapat menekapi Ethos kebudayaan Nasional Pancasila,
yang segenap unsur-unsurnya merupakan darah-daging pibadi sirik, maka
sirik itu niscaya dapat menjadi daya dorong yang kuat bagi pembinaan
kebudayaan Indonesia.
Apalagi orang Bugis-Makassar, dapat
meresapi dan menghayati Pancasila sebagai sirik dalam jelmaan etik
sosial yang heteronom maka etik individu otonom yang disebut sirik itu
akan menemukan tanah subur bagi pertumbuhannya. PANDANGAN ISLAM TERHADAP SIRIK
Buya
HAMKA (almarhun) pernah bermukim di Sulawesi Selatan pada tahun 1931
sampai tahun 1934. Sekitar tiga tahun sebelum Buya HAMKA berpulang ke
Rahmatullah, beliau berkenan memberikan ceramah perihal pandangan islam
terhadap sirik yang disampaikan didepan peserta seminar SIRIK di Ujung
Pandang. Penulis merasa berbahagia sekali, karena sempat dengan mata dan
telinga sendiri mendengar langsung uraian Buya HAMKA tersebut.karena
ketika itu penulis bertugas mangcover jalannya seminar SIRIK tersebut,
sebagai seorang journalist. Betapa mengagumkan Buya HAMKA dalam gaya dan
penampilan serta materi-materi uraiannya dalam mengupas aspek-aspek
SIRIK tersebut, ditinjau dari sisi pandangan islam. Melihat
materi-materi buah pikiran almarhum Buya HAMKA tersebut, sebagai seorang
tokoh yang pernah bertahun-tahun hidup ditengah-tengah penduduk
Bugis-Makassar (Sulawesi Selatan ), bumi dimana lembaga SIRIK tersebut
tumbuh sebagai lembaga masyarakat, maka penulis merasa perlu mengabdikan
dan menyebarluaskan atau mengamalkan uraian Buya HAMKA tersebut, guna
dieariskan kepada generasi pelanjut dalam kerangka penggalian
Antropologi Budaya Bangsa. Pendapat Buya HAMKA tersebut antara lain
sebagai berikut:
Pada tahun 1931 saya telah mulai masuk kedalam
negeri Makassar, Bugis, Mandar, Toraja. Usai saya ketika itu baru 23
tahun, masih seorang anak muda. Pada waktu itu belumlah saya mengerti
bagaimana sirik yang ada pada jiwa keempat suku bangsa itu. Yang mula
saya rasakan adalah kehormatan yang tinggi kepada Guru terutama Guru
Agama. Guru Agama disebut: Anre Gurutta atau Gurunta. Bila saya duduk
berhadapan dengan murid- murid, mereka akan duduk dengan tafakkur dan
merasa tidak akan bercakap sedikitpun jua kalau tidak saya ajak.
Perkataan saya yang kelusr akan didengarkan dengan penuh hormat,
sekali-kali tidak ada yang akan dibantahkan. Semua perkataan saya
disambut dengan ucapan : “saya! Saya”.
Demikianlah pula saya
lihat apabila mereka berhadapan dengan Karaeng, Maradia, dan dengan
pemimpin-pemimpin mereka. Mereka akan bersikap hormat. Dan hormat mereka
kepada Ulama, sama dengan hormat mereka kepada Raja dan orang-orang
besar.
Setelah berbulan-bulan saya tinggal di Makassar mulailah
saya mendengar tentang adanya adat yang dinamai sirik itu. Mulanya saya
bertanya dalam hati, apa kepada orang- orang yang lemah berlaku hormat,
kepada Karaeng dan Ulama akan terhadap kekerasan budi?
Pada
tiap-tiap pinggang pada masa itu saya didapati ada badik. Hamper semua
orang memakai badik, bercelana pendek, berlenso panjang, diatasnya
memakai baju jas. Lalu saya mendapat keterangan beberapa pantangan yang
tidak boleh dilanggar dan kebiasaan- kebiasaan pada orang Bugis-Makassar
terutama dari almarhum Engku Abdul Wahid Gelar Kari Mudo, yang dibuang
Belanda ke Makassar dari Minangkabau pada tahun 1909. Umur saya pada
waktu itu baru satu tahun. Beliau dibuang karena berontak kepada Belanda
di Kamang Bukittinggi. Nasehat beliau ialah “jangan mengangkat kaki
dimuka orang –orang Aceh; jangan menyentak badik dimuka orang Bugis;
jangan dipegang kepada orang Minang dengan tangan kiri”. Dan kata Engku
Kari Mudo : “ orang Makassar menamai SIRIK, orang Minang menamai
PANTANG.
Ketika kongres Muhammadiyah ke-21 pada tahun 1932, guru
Salmun seorang anak Makassar mengajarkan lagu sambutan kongres dalam
bahasa Makassar yang masih saya ingat ialah baitnya yang pertama:“ Salloma majannang tinroh
Kumbangung ka tulu-tulu
Nampama’ anne
Enteng mangema’ pira’nyu....”
Seterusnya diucapkanlah sambungan nyanyian itu dalam bahasa Makassar yang penuh
sastera, yang saya ingat Cuma artinya yaitu:“Bila perahuku telah berlayar
Dia tidak mengenal pulang lagi
Biar parah tiangnya di laut
Lebih baik tenggelam daripada pulang....”
Tena motere...
Kassipallui motere...
Pada
kongres itu pula, saya melihat Almarhum Haji Abdullah pemimpin besar
Muhammadiyah di daerah ini naik podium dan berpidato di dalam bahasa
Bugis, menerangkan bahwa mati didalam mempertahankan Agama Allah adalah
mati yang paling mulia dan bercita-cita supaya Agama Islam tegak di
negeri ini adalah hidup yang berarti. Walaupun hidup beratus tahun,
kalau tidak mempunyai cita-cita, samalah artinya dengan mati walaupun
badan masih hidup.
Dari keterangan yang diberikan oleh almarhum
Engku Abdul Wahid gelar Kari MUDO yang dibuang Belanda ke Makassar dan
dari mendengar nyanyian pembukaan kongres oleg Guru Salmun dan
mendengarkan isi pidato Almarhum Haji Abdullah yang sangat hebat dalam
kongres Muhammadiyah ke 21,dan membaca buku Tahfatun Nafis karangan Raja
Haji Ali di Riau keturunan Bugsi, mulailah saya mengerti apa yang
dimaksud dengan SIRIK di Bugis dan Makassar, di Mandar dan Toraja. Yaitu
bahwa orang Bugis dan Makassar, Mandar dan Toraja, adalah orang yang
menjaga Maru-ah-nya : Memelihara harga diri baik didalam sikap hormatnya
kepada orang lain ataupun didalam kerendahan hati dan tawadhu’. Dia
bersedia memuliakan orang tetapi dia jangan dihinakan, dia mau memikul
yang berat, menjinjing yang ringan tetapi sia jangan dianggap rendah.
Tidak ada yang lebih berharga dari pada dirinya sebagai manusia.
Disinilah timbul pepatah: Ma tam papuang timukku, temmatangpapuang
gajakku ( Mulutku bias berkata tuan, tetapi kerisku tidak). Atau orang
Makassar berucap : Bawaku ji akkaraeng, badikku tena nakkaraeng ( Hanya
mulutku yang bertuan, tetapi badikku tak mengenal tuan).
Sebab
itu apabila keempat-empat suku bangsa ini menyisipkan badik pada
pinggangnya bukan berarti bahwa dia akan menikam orang lain melainkan
dia akan menjaga siriknya, menjaga kehormatan dirinya. Apalagi
kehormatan itu yang diganggu oleh orang lain. Itu sebabnya maka menjadi
sirik atau pantang menyentak badik tidak akan ditikamkan.
Tadi
saya katakana bahwa tabiat-tabiat seperti ini bukanlah terdapat pada
suku Bugis dan Makassar, Mandar dan Toraja saja tetapi terdapat pada
tiap-tiap suku bangsa di seluruj Indonesia . bahkan terdapat juga pada
bangsa-bangsa lain tahu akan harga diri. Cuma timbul kesalahan, karena
tidak ada pendidikan dan pemeliharaan yang baik. Saya katakana ada pada
segala bangsa, sebab tiap bangsa-bangsa mempunyai sirik. Pada bangsa
Belanda pun ada sirik. Kita mengenal apa yang mereka sebut Beleideging
atau penghinaan, merusakkan nama baik, seseorang yang merasa nama
baiknya dirusak dizaman dahulu itu, baik meminta Duel dengan orang yang
dianggapnya merusak namanya itu, baik dengan mati pistol atau dengan
pedang.Dan dia rela menerima mati atau kalah dari musuhnya dalam Duel
tersebut sebab
dengan demikian dia telah membela harga dirinya.
diteruskan
dating seorang anak member tahu bahwa saudara Hambali telah meninggal
baru kira-kira lima menit yang telah lalu. Maka semua kamipun pergilah
melihat jenazah beliau di rumahnya. Dadanya masih panas karena baru saja
meninggal dunia, seorang saudara perempuannya baru saja kembali dari
sekolah siang tadi ia menangis, kami semuanya termengung menyaksikan
kejadian ini dan saya teringat kembali akan perkataannya tadi siang;
“ini sirik tuan !”.
Dari sangat kerasnya menahan hati sampai
jiwanya melayang, sesudah kejadian itu tuan Mansyur mengulang
kata-katanya kepada saya : “ kalau perbuatan saya ini salah, saya
bersedia tuan tampar muka saya dengan terompa tuan-tuan , saya akan
menyerah”.perkataannya itu saya tidak balas saya Cuma tersenyum saja.
Tuan Mansyur ya mani maklum bahwa senyuman saya adalah senyum setengah mati.
Satu
setengah bulan kemudian itu saya mengirim surat kepada pengurus
Muhammadiyah berhubung karena kesehatan anak, saya memutuskan buat
pulang kembali ke kampung saya di Meninjau, Sumatera Barat . yaitu pada
januari 1934.
Dengan air mata berlinang tuan Mansyur Yamani melepas ke kapal dan masih saya
senyum.
Dan kira-kira enam bulan dibelakang H.Abdullah berkirim surat minta dating
kembali.saya menjawab : “ terima kasih”. *********** Cerita yang kedua ini baru saja kejadian di Jakarta. Seorang yang pekerjanya menjadi
tukang patri yang bernama Idris berasal dari sebuah negeri Minangkabau.
Seorang
kapten TNI berasal dari jawa tengah mengupahkan sesuatu barang kepada
tukang patri itu menurut penjanjian yang telah ditentukan bahwa setelah
tiba waktunya untuk menyerahkan barang-barang itu kembali, si kapten
belum juga datang menjemput barang- barangnya sehingga telah lama janji
terlampaui. Pada suatu hari diapun dating padahal sudah terlalu lama
dari janji yaitu sudah beberapa bulan berlalu. Lalu si tukang patri tadi
mengeluarkan barang-barang kapten tetapi ada sikap dari si kapten itu
yang tidak menyenangkan hatinya. Dan ditunjukkan macam-macam celanya
maka menjawablah si tukang patri sambil mengeluarkan surat perjanjian
itu. Dia berkata bahwa apa saja yang dikehendaki telah dipenuhi oleh si
tukang patri itu. Hanya si kaptenlah yang tidak menepati janji.
Mendengar jawab yang demikian rupanya si kapten salah terima dan dia
berkata: “ jangan menjawab begitu kasar kepada saya engkau tahu bahwa
saya adalah kapten TNI. Saya banyak keperluan lain dari pada menjaga
janji pada engkau, siapa engkau.”.
Dengan sangat tenang tuakng
patri menjawab “ mangapa bapak tanyakan lagi pada saya, sedang dari dulu
bapak sudah tahu bahwa saya tukang patri. Hidup saya Cuma makan upah,
kalau cocok harga menjadi, kalau tidak tidak apa. Tetapi meskipun saya
tukang patri, saya manusia bapak. Saya tahu harga diri, kalau bapak
berjalan lurus berkata benar. Saya sengan kepada bapak, baik bapak
kapten atau tukang patri sebagai saya”.
Dengan sangat marahnya si
kapten telah mengangkat tangan hendak memukul si tukang patri. Untung
saja dia membawa pistol. Tangan tangan si tukang patri mangankat tangan
si kapten yang hendak memukulnya itu dan memutarnya kebawah. Dan untunh
pula ditempat itu banyak orang-orang lain yang dapat memisahkan mereka.
Tetapi si tukang patri masih sempat bercakap sekali lagi “ karena
saudara kapten tidak membawa senjata, biar saya yang beri senjata dan
beramuk kita di sini. Saya menerima halal, bukan menjual diri”.
Maka
didalam pertimbangan saya, baik kematian saudara Hambali dengan
tiba-tiba atau sikap saudara Idris mengangkat tangan si kapten adalah
dari kesadaran harga diri. Yang disebut oleh orang-orang Bugis Makassar,
Mandar dan Toraja sirik yang disebut oleh orang
arab syaraf. Yang disebut oleh nabi Muhammad SAW “AL-Hayaan Minal Imaani”. (malu itu
adalah bagian dari iman).
Maka
terhadap masalah sirik yang menjadi problema di Bugis Makassar, Mandar
dan Toraja sekarang ini dan pada suku-suku bangsa Indonesia pada
umumnya, terutama pada kaum muslim bukanlah menghapuskan sirik melainkan
mempertahankannya menurut budi bahasa yang tinggi dan luhur. Menurut
hukum mental dan moral. Mental menurut penilaian masyarakat , moral
menurut penilaian hidup beragama, sehingga seluruh bangsa Indonesia
dalam jabatan apa saja harusnya mempunyai sitik yang sejati. Kalau sirik
yang sejati tidak ada niscaya kita akan dijajah orang kembali, bukan
saja penjajahan dari bangsa asing bahkan dari golongan yang kuat kepada
yang lemah, dari pada golongan yang merasa dirinya berkuasa kepada
golongan yang tidak mempunyai kuasa apa-apa dari keadilan sejati dan
kebenaran sejati.
Maka kalau tidak berani lagi mempertahankam keadilan dan kebenaran berartilah
bahwa diri telah punah, dan punahlah kemerdekaan.
Sebagai
penutup terkenglah saya ucapan Kyai H.Mas Mansyur dalam kongres
Muhammadiyah di Makassar ke XXI tahun 1932: “ saya kagumi keberanian
orang Bugis dan Makassar menghadapi maut, sehingga dari karena
bertengkar pasal uang sepuluh sen mereka bias berbunh-bunuhan. Saya
pujikan keberanian menghadapi mati itu. Tetapi alangkah baiknya kalau
dia pergunakan untuk cita-cita yang lebih tinggi. Misalnya untuk
kemuliaan tanah air dan bangsa kita dan ketinggian agama kita. Sehingga
sepadanlah harga kematian dengan harga yang dipertahankan”.
Sumber :
*http://www.scribd.com/doc/24317027/Menggali-Nilai-nilai-Budaya-Bugis-makassar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar