SRIK MENURUT HASIL PENELITIAN TEAM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
Hasi-hasil
penelitisn yang dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian kerja-sama
penelitian antara badan penelitian Hukum Nasional (BPHN) Departemen
Kehakiman RI dengan pihak Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang
dipimpin oleh Prof.Andi Zainal Abidin Farid,SH denganDr.Rusly Effendy,SH
dkk: suraut perjanjian kerja-sama tersebut No.J.H/803/III76 tertanggal
Ujung Pandang 10 juli 1977,yang man hasil penelitiannya ituantara
lain,sebagai berikut:
SIRIK
Srik merupakan adat kebiasaan yang
hidup danmelambangdalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan
sejakdahulu kala hingga dewasa ini. Sirik mempunyai nilai-nilai positif
dalam hidup bermasyarakat,namun tak dapat disangkal bahwa sirik juga
mempunyai aspek-aspek negative terutama dalam kasus penganiayaan dan
pembunuhan. Oleh karena itu, penelitian terhadap Sirik dirasakan penting
sekali. Nilai-nilai positif yang terkandung didalamnya perlu
diungkapkan dan dikembangkan dan yang negative perlu ditanggulangi.
APAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN SIRIK?
Jawaban
atas pertanyaan ini dapat diberikan baik menurut arti kata masyarakat
dalam bentuk suatu batasan (defenisi). Tetapi jawaban menurut arti kata
suatu batasan,tidak akan dapat memuaskan.
Jawaban menurut arti
kata mungkin tepat secara harfiah tetapi tidak cukup mewakili makna
sebenarnya. Sedangkan jiwanya dirumuskan dalam suatu batasan,inipun akan
terbatas pada aspek tertentu saja yang mewakili sesuai pendekatan objek
tersebut. Justeru disinilah letak kesulitannya,karena Sirik merupakan
suatu hal yang bersifat abstrak dan melembaga didalam masyarakat serta
mencakup berbagai aspek dalam kehidupan. Mattulada ( Prof.Dr. Mattulada,
sekarang Rektor Universitas Tadulako di Palu Sulawesi Tengah)
memandangnya sebagai suatu konsep yang mengintegrasikan secara organis
semua unsur pokok dari “ Pangngadereeng” atau Pangngadakkang
(keseluruhan norma dan aturan-aturan adat). Shelly Errington mengatakan
tidak mungkin dapat dimengerti susunan masyarakat Bugis Makassar tanpa
kita mengerti susunan atau bentuk masyarakat itu berdasarkan kepada
sirik dan darah. Keduanya adalah kye simbolis yang juga sekaligus
gagasan dan nilai yang erat hubungannya dan tak mungkin dapat
dipisahkan. Keluasan dan keabstrakan sirik ini disini hanya dibatasi
pada aspek hukumnya dengan disana sini menyingggung aspek-aspek lain
yang ada hubungannya, lagi pula sebagai suatu yang abstrak sifatnya maka
yang diamati adalah akibat- akibatnya juka dilihat dari segi hukum “
misalnya bidang hukum pidana in kasus KUHP yang berlaku sekarang”
merupakan suatu perbuatan melawan hukum .
Walaupun dari hari ke
hari mengalami perubahan, tetapi menurut Mattulada masih mempunyai arti
essensi untuk dipahami karena terdapatnya anggapan bahwa sirik itu bagi
orang-orang Bugis Makassar masih tetap merupakan suatu yang lekat pada
martabat kehadirannya sebagai manusia pribadi sebagai earga persekutuan.
Mereka menghayati sebagai panggilan yang mendalam dari pribadinya,
untuk mempertahanka nilai suatu yang dihormati, dihargai, dan
dimilikinya. Sesuatu yang dihormati, dihargai, dan dimilikinya mempunyai
arti yang essensi baik bagi dirinya maupun bagi persekutuannya. Di
daerah Jeneponto, dua belas responden mencatat mengenai pacce (
Makassar) atau pesse (Bugis0 secara harfiah, ini berarti pedis atau
pedih. Dari catatan responden tersebut dapat disimpulkan
bahwa
pacce dan pesse adalah suatu perasaan yang menyayat hati, pilu bagaikan
tersayat sembilu apabila sesame warga masyarakat ditimba kemalangan
(musibah). Perasaan yang demikian ini merupakan suatu pendorong kearah
solidaritas dalam berbagai bentuk terhadap mereka yang dulunya ditimpa
kemalangan itu. Karena kemalangan itu menurut catatan responden dapat
berupa ditempeleng di muka umum, diperkosa, kelaparan dan sebagainya,
maka dapat disimpulkan bahwa sirik atau pacce atau pesse tersebut adalah
sama tetapi yang terakhir ini lebih rendah tingkatannya. Namun
demikian, antara keduanya sangat erat hubungannya dan tak dapat
dipisahkan, seperti jelas dalam ungkapan-ungkapan berikut:
Unna tena sirita pacceta seng ammantang (Makssar) rekuade sirita ungga messa
peseta (Bugis), yang artinya: jika tak ada sirik niscaya masih ada pesse/paccenya.
Dari daerah soppeng, seorang responden mengemukakan penggolongan berikut ini:
istilah sirik sebaliknya dibahas dalam dua bagian, yaitu:
1. Sirik yang berasal dari pribadi yang merasakannya/ bukan kehendaknya
(penyebabnya dari luar), jadi sirik ripakkasirik.
2. Sirik yang berasal dari pribadi yang itu sendiri ( penyebabnya di dalam) disebut
sirik masirik.
Sirik
sukar sekali dinilai oleh orang yang tidak bersangkutan (abstrak).
Banyak sekali hal yang mengenai sirik yang tak dapat dituturkan dan
banyak diantaranya tak dapat diterima tasio, akan tetapi tak dapat
dikesampingkan kerena benar-benar pengaruhnya untuk menimbulkan
peristiwa pidana berdarah, antara lain: kentut tiba-tiba(nakelo ettu) di
maka umum.
Pernah seorang laki-laki nakelo ettu dimuka umum yang
secara refleks kemudian menghunus kerisnya. Hadirin sependapat bahwa
itu sirik, sehingga tiada seorangpun menegadah, semua tunduk terpaku
sebelum silaki-laki itu belum meninggalkan tempat. Oleh karena malunya,
maka setibanya dirumah ia selalu berteriak :saying sekali tiada
seorangpun yang menegadah, kalau ada akan ku tikam mati.oleh karena
menahan malu, maka diperintahkan istrinya untuk menumbuk lada
sebanyak-banyaknya kemudian dipulaskan ke jalan kentutnya sebagai
ganjaran dan ia lalu meninggl dunia.
Contoh kedua, seorang wanita dipegang bajunya(baju bodoh) yang sementara melekat
di badannya oleh seorang laki-laki yang bukan muhrimnya.
Contoh ketiga, apabila terjadi pertengkaran ringan tetapi seseorang diantaranya
meludah(mammiccu kepeang) dihadapan lawan tengkarkan termasuk pula persoalan sirik.
Pendapat,
perasaan sirik dipakasirik tidak akan lenyap di dalam perasaan
seseorang yang didalam tubuhnya mengalir darah ugi-mengkasara’(Bugis
Makassar, team) sampe akhir zaman.
Usul. Kiranya sirik ripakasirik dibagi untuk diberi tingkatan menurut macam dan
kejadiannya.
Pendirian, sirik ripakasirik harus dijunjung tinggi. Menurut alasan basyah, sirik dapat
digolongkan atas tiga pengertian, yaitu:
1. Sirik itu sama artinya dengan malu, isin(jw), shame(inggris).
2.
Sirik merupakan daya pendorong untuk melenyapkan (membunuh),
mengasingkan, mengusir dan sebagainya terhadap barang siapa yang
menyinggung perasaan mereka. Hal ini merupakan kewajiban dulu (adat),
kewajiban yang mempunyai sanksi adat, yaitu hukuman menurut norma-norma
adat, jika itu dilaksanakan.
3. Sirik itu sebagai daya pendorong bervariasi kearah sumber pembangkitan tenaga
untuk membanting tulang bekerja mati-matian untuk suatu pekerjaan atau usaha.
Dari hasil penelitian lapang dengan membandingkannya dengan hasil-hasil penelitian
kepustakaan, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.
Sirik yang merupakan suatu bagian integral dari pada adat istiadat
(termasuk hukum adat) di Sulawesi Selatan tidak dapat dilepaskan dengan
sistem nilai yang terdapat dalam masyarakat.
2. Sirik mengandung
segi yang positif disamping segi-seginya negatif. Segi-segi yang
negative adalah akibat atau ekses yang bersumber dari sirik tersebut
terutama jika dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dewasa ini, seperti misalnya: kitab undang-undang hukum pidana dan
undang-undang perkawinan.
3. Sirik yang ada hubungannya
stratifikasi masyarakat berdasarkan darah kebangsawanan yang sekarang
tidak terlalu dirasakan lagi. Menyebabkan beberapa sanksi-sanksi adat
tertentu sudah tidak merupakan hal yang hidup dalam masyarakat. Demikian
pula sanksi-sanksi yang bertentangan dengan sila peri kemanusiaan dari
pancasila.
4. Sirik yang bermotof kesusilaan masih merupakan hal
yang sangat peka, sehingga perlu menjadi bahan pertambangan dalam suatu
putusan pengadilan atau para fungsionaris lainnya dalam menetapkan
kebijaksanaannya.
5. Pendidikan, komunikasi yang baik dan
beraturan serta cara-cara yang dapat merubah sistem nilai dalam
masyarakat merupakan suatu proses yang diperlukan menuju kearah
pengurangan ekses negatif dalam sirik tersebut. SYAIR YANG MELAHIRKAN EKSES SIRIK DAN PACCE Dikalangan
orang-orang Bugis Makassar dikenal pula syair-syair menyatakan sesuatu
dengan perasaan . syair dapat melahirkan ekses sirik dan pacce.
Syair-syair yang erat kaitannya dengan sirik, antara lain berbunyi
sebagai berikut:
TAKUNJUNGA BANGUNG TURU
NAKUGUNCIRI GULINGKU
KUALEANNA
TALLANGA NATOALIA
Artinya:
Semula kuperturutkan arus mengalir
Kemudi kutancapkan
Dan kupilihlah
Lebih baik tenggelam dari pada surut kembali tanpa hasil.
KUSORONA BISEANGKU
KUCAMPANA SOMBALAKKU
TAMMAMMELAKKA
PUNNA TEAI LABUANG
Artinya:
Kudayung sampanku laju
Kukembangkan layar
Pantang berbelok kearah lain
Kecuali arah pantai berlabu
Syair
tersebut diatas melambang orang-orang Bugis Makassar yang pantang
menyerah menghadapi tantangan-tantangan betapapun wujudnya,karena
masyarakat menyerah menghadapi tantangan dinilai oleh orang Bugis
Makasaar sebagai sirik, contoh syair lain :
ANGGANGASSENG TONJA LABBA BOYO
PACCE TANAEBBA LADING
TENNA GARINGKU
NAMALANTANG PA’RISIKU
Artinya :
Daku nikmati tawarnya labu
Pedis tak tergores pisau
Kutak menderita penyakit
Namun betapa pedisnya terasa menusuk jauh dilubuk hati.
Pada umumnya, bila orang Makassar telah bersyair seperti tersebut diatas, lazimnya
disusul dengan rasa pacce (rasa pedih yang mendalam, kerena disinggu kehormatannya).
Logikanya, ia mengandung aspek-aspek sirik dan penyelesaiannya otomatis :
darah..... sebagai tebus ketersingggungan (pacce) tersebut.
Jadi,
pacce sebagai aspek yang hakiki dari pada sirik itu, bukan berarti
kesetiaan kawanan dalam membelah kehormatan (sirik), melainkan ia
mengandung makna : kepedihan yang tiada taranya, karena martabat harkat
diri tersinggung.
Ia tersayat-sayat menjangkau jauh kedalam lubuk hati. Itulah hakekat dasar yang
disebut pacce. Sebagai perwujudan lanjut (inti sari) dari pada sirik tersebut. SIFAT-SIFAT LANGIT SIRIK
Drs
isak ngelyaratan Dosen Fakultas Sastra Hasanuddin telah menyempatkan
diri mengkaji masalah sirik tersebut dan membuat sebuah sketsa ringkas,
perihal hakekat yang terkandung dalam sifat sirik tersebut.
Ia
mengemukakan sebagai berikut: dibentuklah tanah, lalu kedalam onggokan
bentukan tanah itu dihenbuslah nafas. Terciptalah manusia pertama adam.
Nafas itulah penentu hakekat kemanusiaan adam tanpa nafas itu adam
bukanlah manisia, melainkan sekedar tumpukan tanah kering anorganik.
Tanah
adalah milik bumi. Nafas adalah milik langit. Karena sifat bumi itulah
manusia bisa mati, namun dia juga melampaui sifat-sifat bumi. Dari dalam
lubuk sukmanya dia mendengar bisikan nafas langit yang menyanggukkan
dia untuk bias mengalami sesuatu kelanjutan dari suasana hidup dewata
dibalik bumi.
Nafas dalam kisah ini dapat dianalogikan dengan
sirik yang dimuat dalam kebudayaan tradisional di Sulawesi Selatan.
Tanpa sirik bukanlah manusia. Sirik adalah penentu hakekat diri
seseorang sebagai manusia. Kehilangan sirik samalah kehilangan dignitas,
ketiadaan atma, kehabisan sumanga’ ketiadaan sifat-sifat langit.
Kelebihan
manusia-manusia utama yang disebut para tomanurung di Sulawesi selatan
terletak justru karena keutamaan-keutamaan atau keadihan yang dimiliki
dan dicontohkannya dalam hidup. Mereka membela anggota masyarakat,
kesatria, bersih hati, jujur, berbelas kasihan, bertanggung jawab,
contoh terdepan kebaikan dan kebenaran. Segenap kehormatan masyarakat
dipundakkan di bahunya.
Seorang tumanurung menjadi petaruh sirik
segenap pengenut dan pengikutnya. Dia mau mengorbankan apa saja demi
tegaknya sirik warganya.dan para warga rela memberi apa saja demi san
hero yang melambangkan sirik bersama.
Sebagian besar, dapatlah
dilihat kebersamaan sirik itu di luwu yang disebut massed sirik. Luwu
merupakan asal dan gudang budaya sub kultur di Sulawesi Selatan. Luwu
merupakan pula buminya sawerigading dan budaya galigo. Atribut langit
yang dipunyai tumanurung menjadi persyaratan yang harus dimiliki oleh
sang raja serta warga kerajaan. Kita dapat belajar dari sejarah bahwa
kerajaan luwu tempo dulu telah menjadi sumber kekuatan yang telah
melambangkan budaya galigo. Yaitu massedi sirik. Budaya ini terasa
pengaruhnya secara peta bumi dihampir seluruh Sulawesi selatan dan
secara geopolitik meluaskan pengaruhnya jauh melebihi batas-batas
kerajaannya.
Sirik inilah yang menjadi anutan utama, nilai
suprema yang bersifat sentral. Dialah yang mengikat raja, mengikat
warga, menjiwai mekanisme politik, kekuasaan dan perilaku segenap warga,
utamanya sang raja.sirik melahirkan rasa keterikatan geneologis, juga
kesatuan dalam ikatan sosiokultural dan politik. Dia menjadi dasar
pikiran dasar moral serta kenyakinan religis warga kerajan. Kesatuan
atau kebersamaan sirik bukan sekedar suatu konsep hampa, melainkan diisi
oleh contoh hidup sang raja bersama para pemimpin dan warga yang
dipimpinnya. Kekuasaan bukanlah tujuan utama melainkan hanyalah alat
untuk menegakkan dan memperteguh sirik dalam kehidupan masyarakat.
Kesatuan dan keesksistensian antara warga ditandai oleh sifat-sifat
langit yang dipraktekkan oleh raja dan rakyatnya.
Kejujuran,
sifat berani dan terbuka untuk menyatakan yang benar, menjunjung tinggi
kebersihan pikiran dan tingkah laku tetap pendirian, mengutamakan
kepentinganmu dan percaya diri antara lain mengutamakan amalan yang
membuktikan adanya sirik itu.
Rakyat mencintai sang raja yang penuh dengan sifat yang sirik dan amal sirik. Mereka
menghormati namun dalam kontes budaya yang luhur bahwa bukan ansich yang bertulang dan
berdaging itu dipuja dan diabdi. Yang dipujanya adalah sirik yang
diusung dan di pikulnya adalah sirik dan sumanganya sendiri, yang
ditaati adalah sifat-sifat langit yang begiti nyata dalam sikap hidup
rajanya. Dan mereka akan menegur raja dengan segera, bila cenderung bila
tidak mempedulikan massed siriknya.
Bahkan raja diturunkan dari kerajaan bila sudah tak mampu memikul dan member
contoh hidup yang diwajibkan sirik.
Rajalah
yang bangun pagi pertama, tidur malam yang paling terakhir,setelah
berdoa dan menyerahksn seluruh kerajaan dan rakyat pada sang khalik,
Mahadewata. Rajalah yang paling depan membela Sirik rakyatnya dan tak di
biarkan sehelai rambut pun bagi rakyat yang di cintainya di cabut oleh
kekuatan apapun yang bertentangang dengan Sirik. Tidaklah heran bila
rakyat mengganggu rajanya sebagai angin, banjir, ataupun jarum. Angin,
banjir, dan jarum melambangkan Sirik bersama. Kemana Sirik itu,
begitulah ... kesan mereka. Raja bukanlah angin, bukanlah banjir dan
jarum yang harus di ikut-ikuti, bila dia sudah kehilangan Sumanga’ Sirik
dalam sukma dan tingkah laku lahirnya.
Sifat-sifat langit yang
Nampak dalam makna budaya ini menyebabkan masseddi Sirik tidaklah sama
dengan demokrasi dan monarchi di Barat. Demokrassi dan Monarchi barat
yang berderivasi dari budaya imperiumromanus cenderung untuk
menstabilkan kekuasaan yang hendak menjamin hak demos serta hak sang
monark. Oleh karena itu tidak sering bonum commune di nomor duakan, lalu
power atau kekuasaan menempati politik posisi paling atas. Corak
politik adalah politik kekuasaan, dan bukanlah politik yang secara Sirik
harus menjamin ruang gerak luas bagi nafas langit.
Justru
Masseddi Sirik menomor-satukan dignitas dan ,artabat luhur manusia, dan
kekuasaan harus tunduk padanya. Kekuasaan sewaktu-waktu bias di cabut,
namun Sirik mustahil, karena dialah hakekat yang menyebabkan seseorang
itu manusia dan bukan sesuatu yang lain.
Bagi penganut budaya
Galigo, yaitu Sirik apapun bias di korbankan dan di berikan, kecuali
Sirik itu sendiri. Bahkan ia rela mati demi tetap memiliki nafas langit
ini di balik maut. Dia bia kehilangan harta dan kedudukan, kehilangan
kuasa, bahkan kehilangan kesempatan hidup di bumi sekalipun , asal dia
tetap memperoleh sumanga’, atma dan sirik yang di pertahankannya. Dia
yakin bakal memiliki ruang dan keempatan mahaluas untuk turut menapasi
nafas langit di balik bumi tanah ini.
Kita beruntung masih
menganut paham Sirik. Namun kadarnya entahlah. Kitapun bahagia bahwa
Agama dan Pancasila justru memperkuat kebenaran nilai budaya Galigo
tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar