PUISI I LA GALIGO
Termasuk karya Sastra Dunia Yang Paling Besar
Dalam tahun 1939, R.A.Kern manertbitkan bukunya yang berjudul CATALOGUS
van de BOEGINEESCHE, tot den I La Galigo-cyclus behorende handschriftender
Leidsche Universiteitbibliotheek alsmede van die in andere Europeesche bibliotheken.
Tebal buku ini meliputi 1.088 halaman, ukurannya 17 X 25cm.
Dalam
kata pendahuluannyaolehR.A.Kern dinyatakan bahwa apa yang telah
dikumpulkanDr.B.F.Matthes mengenai puisi I La Galigo barulah meliputi
jumlah 2.848 muka folio. Biarpun demikian, perhitungan itu hampir tidak
mencukupi 1/3 dari keseluruhan buah tangan itu. Jika ditambahkan dengan
yang lain dikenal, termasuk kumpulan-kumpulan yang baru dan
diperhitungkan satu dan lain dalam ukuran yang sama, maka orang akan
memperolehsuatu jumlah yang secara kasar dapat diperkirakan
sekurang-kurangnya 7.000 folio kurang dari perkiraan Matthes, oleh
karena hal itu diberikan dengan suatu pembatasan pengertian.
Bagaimanapun juga, tidak diragukan lagi bahwa I La Galigo termasuk puisi
yang paling besar dalam kesusasteraan dunia(Hoe ditzij, het lijdt geen
rwijfel dat de I La galigo tot de omvangrijkste gedichten der wereld
literatur behoort).
PendapatR.A.Kern ini diperkuat pula oleh
Ds.H.van den Brink dalam bukunya yang berjudul “Dr.Benyamin Frederik
Matthes, zijn leven en arbeid in dienst van het Nederlandsch
Bijbelgenoot schap”.
Buku mengenai riwayat hidup dan
pekerjaanDr.B.F.Matthes ini diterbitkan di Amsterdam dala tahun 1943.
Dalam buku itu, (dihalaman 79) ada diterangkan mengenai puisi I La
Galigo sebagai berikut:
“Wat Dr.Matthes ten slotte ver
zameldheeft,was reeds bij elkaar 2.848 bladzijden folio !. Als
mendaarbijtelt wat daarna nog verzameld is (o.a.door
prof.Dr.c.c.Jonker), dan komt men toteen omvang van minstens 7.000
bladzijden folio. Maar dan lijdt het ook geen twijfel dat, zooals de
Heer R.A.Kern in zijn uitgave van de La Galigo zegt, dit gedicht tot de
omvangrijkste der wereldliteratuur behoort”.
Bahwa apa yang
akhirnya telah dikumpulkan oleh Dr. Matthes telah berjumlah 2.848 muka
folio. Kalau ditambahkan dengan apa yang telah dikumpulkan kemudian
(antaranya oleh Prof.Dr.J.C.C.Jonker), maka orang akan mencapai paling
sedikit 7.000 muka folio. Olehnya tidak diragukan lagi sebagaimana yang
dikatakan oleh tuan R.A.Kern dalam bukunya tentang La Galigo, bahwa
puisi ini terhitung yang paling besar dalam kesusteraan dunia.
Selanjutnya
dapat diberikan bahwa dalam tahun 1954 oleh R.A.Kern diterbitkan pula
buku yang sama judulnya dengan buku yang tersebut pertama, tetapi isinya
mengenai naskah- naskah yang terdapat di Yayasan Matthes (Mathes
tiching) di Makassar.
Buku ini berjudul “CATALOGUS van de
Boeginese, tot de I La Galigo cyclus behorende handschariften van
Jajasan Matthes (matthes stiching) te Makassar (Indonesia). Tebal
bukunya 268 halaman, ukuran 16 X 24cm.
Apabila pendapat R.A.Kern bahwa puisi I La Galigo termasuk kesusasteraan dunia yang
besar dapat diterima, maka dapatlah dikemukakan disini bahwa ini terdapat tiga pundak kesusasteraan dunia lama, yaitu:
1. Homerus di Yunani dengan karyanya yang berjudul “Odysee(Odysey) dan Ilias (Ilied).
2. Vyasa di India dengan karyanya Mahabrata, dan
3. La Galigo di Indonesia dengan karyanya yang berjudul I La Galigo.
Homerus, pujangga lama Yunani, adalah penulis dua buah ciptaan berupa epic-
raksasa yaitu Ilias dan Odysee.
Amat besar kemungkinan bahwa Homerus hanya merupakan tenaga penyusus
daripada karangan-karangan tersebut karena sebelum zamannya, kedua cerita itu sudah menjadi
kisah-kisah yang dilisankan oleh para penyanyi, sebagaimana halnya
cerita Sinrilik bagi daerah Sulawesi Selatan. Penyanyi yang menyampaikan
cerita-cerita diluar kepala itu disebut rhapsodi. Dan para rhapsodi ini
banyak jasanya bagi perkembangan epos-rakyat. Tetapi namun demikian,
bangsa Yunanimengakui bahwa Homerus-lah yang diberi hak sebagai pencipta
kedua epikitu.
Dari kedua buah karangan itu tadi, maka Ilias lah yang tertuadan memiliki keaslian.
Sebahagian besar dari karangan itu menceritakan tentang pengepungan Troya dan
kemarahan daripada Akhilles.
Mahabrata, merupakan buku kecil Hindu, salah satu dari dua epic besar dan India
Purba ( yang lainnya : Ramayana).
Mahabrata
( perjuangan besar) adalah epic terpanjang dunia delapan kali lebih
panjang dari gabungan karangan Homeru Ilias dan Odyssee. Pengarangnya
ialah vyasa. Cerita utamanya berkisar pada pertarungan antara golongan
Kaurawa, yang merupakan personifikasi dari yang buruk, dengan golongan
pandawa, yang memiliki yang baik. Terdapat 100.000 kuplet (bait).
Diantara bagian-bagian dari Mahabrata terdapat cerita-cerita Nala dan Damayanti,
Savitri dan Bhagavadgita (lagu Ketuhanan).
Sebagaimana
tadi telah diterangkan bahwa disamping Mahabrata, India punya cerita
epik besar lainnya yang bernama Ramayana yang dikarang olehValmiki.
Ramayana dianggap lebih tua dari Mahabrata, tetapi isinya lebih pendek,
hanya terdiri dari 24.000 kuplet.
La Galigo adalah putera Sawerigading dari isterinya yang bernama We Cudai,
Sedangkan Sawerigading sendiri ialah keturunan raja yang berkuasa di Luwu(palopo).
La Galigo tidak diberikan kekuasaan oleh Dewata untuk memerintah, tetapi
dianugerahi suatu kepandaian yang luar biasa yaitu kepandaian menciptakan suatu rangkaian
besar puisi yang diberi nama I La Galigo.
Puisi
I La Galigo memuat peraturan-peraturan dan upacara-upacara yang
merupakan pokok adat dengan segala cabang-cabangnya dan
ranting-rantingnya yang harus berlaku dibawah kekuasaan turunan-turunan
Baginda Sawerigading.
TIGA UJUNG BEKAL ORANG BUGIS-MAKASSAR
Daerah,kebudayaan
tradisional,atau unsur-unsur kebudayan warisan nenek moyang. Memang
untuk sementara para cendikiawan,para ahli sains dan teknologi dan para
seniman masih sibuk dengan perjuangan hidup yang sulit di Negara
berkembang,dan belum mampu menjalin hidup seluruh warganya itu,sehingga
mereka belum sempat menghasilkan karya-karya agung. Hal ini mungkin
dapat berubah dalam waktu tiga-empat dasarwarsa lagi, apabila Negara
Indonesia sudah menjadi lebih makmur, dan kalau perangsang-perangsang
yang mendorong putere-putera Indonesia untuk bekerja, menghasilkan
karya-karya agung yang dapat menimbulkan kebanggaan bagi seluruh bangsa.
Tabel
itu juga menunjukkan bahwa tidak semua unsur bagian dari kebudayaan
Nasional Indonesia termasuk unsur-unsur yang harus dikembangkan dengan
biaya dan anggaran Departemen dan Kebudayaan untuk membangun kebudayaan
karena menurut penjelasan Menteri Fuad Hasan pada seminar budaya
tersebut, biaya dan anggaran itu memang tidak ada.
Kita memang
melihat tidak ada unsur-unsur yang dapat dikembangkan dengan pembiayaan
yang dapat diambil dari luar anggaran untuk pembangunan budaya tadi,
misalnya dari anggaran untuk pendidikan bahasa, anggaran untuk
pengembangan seni film dari Departemen Penerangan , anggaran untuk
pengembangan hukum Nasional dari Departemen Kehakiman, anggaran untuk
pengembangan sistem pengelolaan gaya Indonesia yang khas yang harus
berbeda dengan gaya manajemen dalam perusahaan-perusahaan di Eropa atau
Amerika, yang dijiwai oleh sikap lugas dan berazas guna. Penelitian,
pengembangan dan pendidikan suatu gaya manajemen yang khas Indonesia,
yang lebih banyak ijiwai oleh hubungan pribadi, dapat dibiayai oleh
swasta dan sebagainya.
Walaupun demikian, upaya pengembangan
kebudayaan Nasional indonesia tidak hanya menyangkut pengembangan dari
unsur-unsur bagiannya saja, tetapi juga dari watak umumnya, ideologinya,
etiknya, dan sistem nilai budayanya.
Baca : (Koentjaraningrat, guru besar antropologi pada Fakultas Sastra U.I Jakarta Kompas).
SIRIK DAN PESSE DIUNGKAPKAN
DARI MATERI LONTARAK “LATOA”
Prof.DR.Mttulada
( Rektor universitas Tadulako) dan ahli Budaya,menguraikan perihal
SIRIK dan PESSE (PACCE) dengan mendasarkan pada Lontarak LATOA.
Sebagaimana study ,atar belakang pengertian SIRIK dan PACCE, maka
pemyusunan buku ini menyajikan sebahagian dari tulisan Prof.DR.Mattulada
yang berjudul :LATOA, SUMSER INFORMASI BUDAYA DI SULSEL.
Latoa adalah nama salah satu enis Lontara dalam kepustakaan berbahasa Bugis di
Sulawesi Selatan.
Penulisan
atau pencatatan Latoa sebagai Lontara, diduga berlangsung pada zaman
Raja Bobe (Arumpone) ke-7 yang bernama La Tenrirawe Bongkannge
(1560-1578) bertakhta di Tana Bone. Baginda mempunyai seorang cendekia
penasehat, bernama La Tenrirawe Bongkange (1560-1578) bertahta di Tana
Bone. Baginda mempunyai seorang cendikia penasehat, bernama La Mellong
adalah seorang anak Matoa di sebuah desa yang bernama Laliddo(ng), dalam
wanua (negeri) Cina, di tana Bone. La Mellong inilah pada masa tuanya
terkenal dengan sebutan Kajaolaliddo, yang berarti orang bijaksana dari
Laliddo, atau orang tua (berasal) dari Laliddo.
Menurut anggapan
umum dikalangan orang Bugis(terutama didaerah Bone) Latoa berisi
pembicaraan antara Kajao Laliddo dengan Arumpone. Anggapan umum itu
tidaklah seluruhnya benar, karena itu pula tidaklah seluruhnya salah.
Menurut batasan yang lebih terurai,dapat dikatakan bahwa Latoa adalah
lontara dalam kepustakaan orang Bugis,berisi kumpulan ucapan-ucapan atau
petuah-petuah dari Raja-raja dan orang-orang bijaksana orang
Bugis-Makassar dari zaman dahulu (termaksud zaman Kajao-Laliddo),
mengenai bebagai masalah, terutama yang berkenan dengan
kewajiban-kewajiban raja terhadap rakyat dan tuntutan bagi peguasa
terutama dalam menjalankan pemerintah dan melaksanakan peradilan.
Menurut Metthes, Latoa pada orang bugis, dapat dipersamakan dengan Rapang pada
orang Makassar,seperti yang termuat dalam NCHr, pada halaman 456s/d 460 dan halaman.
GARIS BESAR ISI LATOA
Latoa,
sebagai salah satu diantara sekian banyak (Lontara) atau manuscrip
orang Bugis-Makassar,memiliki arti khusus, karena kepeminpinan
masyarakat dan kekuasaan. Latoa telah berperan sebagai pedoman bagi raja
dalam memerintah, dan telah menjadi penuntun bagi Rakyat untuk
menentukan sikap terhadap sesuatu kekuasaan yang hendak diikuti atau tak
sudi ditaatinya.
Sebagai Rapang (pedoman,tuntutan atau
guidlines) Latoa mengandung kalimat- kalimat hikma;
pikiran-pikiran,petunjuk-petunjuk, malahan dokrin-dokrin dari Raja-Raja
dan orang-orang Bugis-Makassar dan lain-lain,pada masa lalu, kira-kira
meliputi abad ke-14 sampai abad ke-17.
Azas-azas dasar Negara dan
masyarakat, seperti dilukiskan dalam Latoa, tersimpul dalam apa yang
dinamakan Pangngadereng, sebagai ujud kebudayaan yang mempunyai lima
aspek yaitu : (1) ade’ ;(customs), (2) bicara (peradilan); (3) rapang
(kaidah yang telah terjadi), (4) Wari’ (tata tertib keturunan,
kekeluargaan dan lain-lain); (5) Sara’ (syariat Islam).
Aspek ke-5 ini diadaptasi kedalam Pangngadereng, setelah Islam diterima sebagai
agama yang umum dianut oleh rakyat sebagai aspek kelima dari Pangngadereng.
Pangngadereng
dengan 5 aspeknya itu, memperoleh kekuatan gerak dan dorongan dari apa
yang disebut sirik. Konsepsi Sirik seperti dinyatakan dalam
Pangngadereng (Ujud Kebudayaan) dapat ditanggapi sebagai ethos budaya
yang menjadi sumber motifasi yang amat kuat dalam menetapkan pola-pola
perilaku dan mewarnai keputusan-keputusan tindakan atau perbuatan orang
Bugis-Makassar, menghadapi hamper segenap masalah dalam kehidupannya.
Melalui
Latoa dalam pengkajian daripadanya dapat direkonstruksi beberapa
kerajaan utama Bugis-Makassar dan kerajaan sekeluarga lainnya pada masa
lampau, seperti Bone, Gowa, Wajo, Soppeng dan lain-lain, yang telah
dibangun Berdasar lima aspek Pangngadereng. Rekonstruksi itu dapat juga
meliputi berbagai pranata dan lembaga kekuasaan, yang rupa-rupanya masih
memainkn peranan dalam kehidupan orang Bugis- Makassar sampai pada
zaman mutakhir, walaupun sudah semakin samar. Pengaruh itu terutama
meliputi bentuk-bentuk sikap hidup, seperti : (1) sikap spontanitas yang
tinggi; (2) struktur dari stratifikasi apriori; (4) sikap kekeluargaan
yang keras.
Latoa dan Lontara Bugis-Makassar lainnya, juga dapat
menjadi sumber sejarah mengenai keadaan sekitar abad ke-14 dan
sesudahnya sampai abad ke-17. Sejak permulaan abad ke-16,
kerajaan-kerajaan orang Bugis-Makassar, lambat-laun kefilangan
kemerdekaan dan kedaulatannya. Mereka mulai hidup perang-memerangi
antara satu sama lainnya, sampai pada kedatangan dan penaklukan total
oleh Belanda pada tahun 1906.
Dalam waktu tidak kurang dari 3
abad lamanya orang Bugis-Makassar berada dalam keadaan tidak aman, kacau
tak berkesudahan, dan terisolasi dan perkembanganyang terjadi
dibahagian lain dari kepulauan Nusantara. Keadaan tidak stabil itu,
berkepanjangan sampai pada Proklamasi Kemerdekaan Ri 17 Agustus 1945,
dan kira-kira sepuluh tahun lebih sesudahnya. Dalam keadaan goncangan
yang tak berkesudahan itu, maka dapatlah juga ditemukan dalam Latoa
adanya pedoman-pedoman yang member arah bagi seseorang untuk menentukan
sikap yang berkelanjutan dengan akibat dalam perilaku bahagian terbesar
orang Bugis-Makassar, sampai pada hari ini, yang (1) Bercuruga kepada
barang sesuatu yang baru yang mendatanginya; (2) Bersikap apriori
terhadap barang sesuatu yang berlawanan dengan perasaan keadilannya; (3)
Cepat mengambil keputusan atau tindakan terhadap barang sesuatu yang
menyangkut martabat atau harga diri (Siri’) pribadi atau kaumnya.
Apabila
didalami tentang makna etik yang terkandung dalam Latoa, maka untuk
masa kinipun Latoa agaknya dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam
mendekati dan menuntun orang Bugis-Makassar, menghadapi pembangunan dan
ketahanan Integritas Nasional Bangsa Indonesia.
Penutup dan Kesimpulan
Semua
tokoh yang tercamtum buah pikirannya dalam Lontara Latoa, adalah tokoh-
tokoh sekitar abad ke_15 dan 16. Pada zaman itu, adalah zaman
tergenting yang dihadapi oleh masyarakat Sulawesi selatan. Genting
karena timbulnya peperangan yang berkecamuk antara kerajaan-kerajaan
dalam wilayah sendiri di Sulawesi Selatan. Bertambah genting lagi karena
harus menghadapi arus kekuatan Kolonial (Belanda, Inggris dan Portugis)
dari dunia Barat. Dan pada zaman itu pula, berlangsung kontak dengan
dunia Islam yang sudah mulai berakar dibahagian Barat Nusantara dan
Pulau Jawa. Sulawesi selatan pada zaman itu mengalami masa peralihan
yang amat dahsyat, yang sampai kini memberikan warnanya, dalam kehidupan
sosial-budaya orang Bugis-Makassar.
Kapan isi kandungan Latoa
dituangkan kedalam Lontara dan siapa yang mula-mula menulisnya, belum
dapat diketahui dengan pasti. Akan tetapi idea-idea yang terkandung
dalam Latoa, seperti disebut pada bahagian depan, mengungkapkan
buah-pikiran raja-raja dan orang-orang bijaksana sebelumKajao Laliddo,
dengan sesudah datangnya islam, dapat dijadikan pegangan sementara,
bahwa penulisnya itu kedalam Lontara, mungkin sudah dilakukan berulang
kali, sampai pada bentuk dan isinya yang mutakhir. Friedericy
memPERKIRAKAN TENTANG USIA Latoa sebagai Lontara, yaitu tidak kurang
dari tiga abad, adalah anggapan yang beralasan kuat.
Apabila kita
coba menyimpulkan isi kandungan Latoa dan yang menjadi pola piker orang
Bugis-Makassar dalam hidup kemasyarakatan dan kebudayaannya, maka ia
dapat dikategorikan kedalam tiga pola umum, yaitu :
1) Manusia
itu (tau), apapun dan bagaimanapun tingkat atau derajat sosialnya, ia
adalah makhluk yang sama (derajat) dengan manusia lainnya sebagai
makhluk Allah.
2) Manusia itu (tau) dalam tujuan hidupnya berhasrat untuk selalu berbuat
kebajikan.
3)Manusia itu (tau), dalam membangun nilai-nilai dan pranata-pranata sosial dan
kebudayaannya, selalu berusaha mencapai keselarasan antara kepentingan
kolektif dengan kepentingan individunya.
Ketiga
pola sikap umum tersebut yang mendasari alam pikiran yang dituangkan
kedalam Latoa ini, memberikan bentuk perwujudan nilai-nilai dan
kaidah-kaidah sosial- budaya, yang disebut Pangngadereng. Ini menjadi
ukuran nilai (waarde-oordeel) bagi tingkah laku sosial-budaya.
Apabila
kita memperhatikan buah pikiran dalam Latoa sebagai himpunan pedoman
tentang nilai-nilai dan kaidah-kaidah normatif yang ideal bagi orang
Bugis-Makassar pada samannya, maka kita akan jumpai bahwa pola piker
itu, telah memberikan tempat terhormat kepada manusia (tau), sebagai
makhluk yang bermartabat, sederajat dengan sesama manusia, apapun
kedudukan sosial dan asal keturunannya. Pola sikap yang demikian itulah
yang dipergunakan oleh orang Bugis-Makassar menyongsong kedatangan Islam
dan menghadapi orang barat yang dipandang memiliki pola pandangan hidup
yang amat berlainan dengan orang Bugis-Makassar. Persentuhan dua pola
piker yang berbeda itu, yang satu (Barat) didorong oleh kehendak untuk
mengusai dan yang lain (Bugis-Makassar) didorong oleh keinginan berbuat
kebajikan kepada semua orang. Berdasar prinsip persamaan. Akhirnya pola
piker yang mengandalkan kehendak praktis untuk menguasai (Barat yang
berpegang pada pandangan superioritas orang kulit putih), mengalahkan
pola-pikir (Bugis-Makassar) yang berkehendak berbuat kebajikan, dengan
prinsip persamaan yang dijunjung tinggi dalam pangngadereng.
Penaklukan
atau fitrah berbuat kebajikan itulah yang menyebabkan timbulnya ekses-
ekses yang jauh dalam sikap hidup menghadapi lingkungannya. Ia menjadi
liar, menjadi sangat curiga kepada barang sesuatu yang baru, menjadi
explosive, seolah-seolah lahir dari emosi yang tidak terkendali. Keadaan
jiwa yang demikian itulah diwarisi orang Bugis- Makassar, yang
rupa-ruoanya masih berbuntut sampai pada masa kini bekas-bekasnya.
Sekilas
lalu dapat kelihatan bahwa seluruh kegiatan orang Bugis-Makassar dalam
hidup politik dan kemasyarakatannya sebagaimana nyata dalam Latoa, pada
hakekatnya didasarkan pada ajaran moral atau kesusilaan yang memudahkan
Agama Islam memberikan sumbangan yang positif terhadap bangunan
Pangngadereng. Tetapi disamping itu,pola pikir Barat yang menguasai
dunia Barat, ketika mula mengadakan perlawatan kekawasan Nusantara ini,
juga menyumangkan pengaruhnya yang tidak sedikit. Pengaruh itu di
Sulawesi Selatan memberikan ujud dalam bentuk visual dari kelembagaan
Raja-Raja, yang rupa- rupanya berkecederungan mencomohi bentuk-bentuk
luar dari kelembagaan Raja-Raja Barat, yang mengalami sistem feudal
sebagai model pengendalian kekuasaan. Kecenderungan mencontohi
model-model kekuasaan feodalistik muncul dengan pesatnya, setelah
sebahagian besar wilayah Nusantara dikuasai langsung oleh Belanda. Tana
Ugi;, dan Buui Mangkasara, mengalami kepungan-kepungan yang mematihkan.
Akan
tetapi, bentuk dalam (isi), yamg menjadi semangat hidup yang tertanam
dalam kalbu rakyat, tetapi menjadi dasar pola piker yang tegak diatas
keluhuran martabat manusia yaitu Sirik, dan fitrahnya untuk berbuat
kebajikan terhadap sesame manusia. Pola piker ini, karena sifat
esensialnya adalah fitrawi bagi sekalian umat manusia, maka ia telah ada
juga pada orang Bugis-Makassar. Islam-lah yang dating kemudian lebih
mempertegas mengenai hakekat dan perwujudannya, yaitu beberapa buah
Hadist yang telah diadaptasikan kedalam suasana kehidupan masyarakat
Bugis-Makassar.
Ajaran-ajaran tentang moral, yang menjadi sendi
dari sistem Pangngadereng, terppantul pada aspek-aspek yang empat
macamnya, yaitu : Ade’, Bicara, Rappang dan Wari;. Setelah masuknya
agama Islam ditambah pula aspek sara’. Dasar-dasar ajaran moral dapat
disimpulkanpada adanya tuntutan untuk menyadari dengan sungguh-sngguh,
tentang apa yang disebut kebajikan dan Keculasan. Adapun yang paling
lekat pada hakekatnya manusia sebagai tau, ialah hasrat atau keinginan
ber5buat keajikan.adapun gejala-gejala kejahatan yang selalu dating
menggoda, itulah yang menjaditantangan setiap saat agar tetap waspada,
mengintai diri dengan kesadarannya yang setinggi-tingginya. Dapat
dikatakan bahwa ketaatan kepada Ade’ (pemerintah), bagi orang
Bugis-Makassar, tidak lain kaerna adanya keyakinan yang mendalaman pada
mereka bahwza Ade’ (pemerintah) adanya keyakinan yang mendalam pada
mereka atau mengayomi Siri’ mereka, dalam arti essensi kebajikan dan
martabat manusia.
Dasar inilah yang telah membawa kekuatan pada pola piker dalam Pangngadereng,
sehingga menjadi identitas yang padu dalam perilaku kehidupan orang Bugis-Makassar.
Apa
yang disebut Tau(Manusi), pada dasarnya ialah manusia yang mengetahui
dan menghayati Pangngadereng itu ditatai, karena ialah yang memilihara
martabat atau harga diri sseorang sebagai Tau Masirik dan Dasirik. Untuk
Sirik itulah orang Bugis-Makassar pada waktu yang lalu, bersedia hidup,
rela berkorban dan ikhlas menerima kematian.
Bilamana kita
menelaah kembali Pangngadereng sebagai wujud kebudayaan (pada masa
lampau), dan menghubungkannya dengan pengalaman sejarah yang pahit yang
dilalui oleh orang Bugis-Makassar, maka kiranya akan menjadi lebih jelas
lagi, makna dan peranan Sirik, yang melatar belakangi watak dan sikap
orang Bugis-Makassar, dalam rangka usaha menempatkan dan mempertahankan
apa yang dapat dipertahankannya dari kepingan- kepingan Pangngdereng
yang masih tersisi, sebagai alat pengukuh integritas dalam kehidupan
sosial budaya. Masalah Sirik ketika Pangngadereng masih merupakan satu
keutuhan yangn fungsional, dengan aspek-aspeknya sebagai sumber kaidah
dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan, maka Siriklah yang menjadi
tolak ukur bagi perkembangan kehidupan.
Sesunguhnya secara
esensial dalam kalbu orang Bugis-Makassar maka kinipun, sirik menjadi
dambaannya yang amat hakiki. Untuk dipelihara dan dijaga, sehingga
setiap sikap yang mendasarkan diri kepada sirik itu, niscaya akan sesuai
dengan Pangngadereng dalam segenap aspeknya. Karena kedudukan Sirik
yang demikian itu, maka tak dapat tiada Sirik itu menjadi hakekat dari
kenginan manusia. Sirik demikian adalah harga diri, martabat
kemanusiaan. Martabat dan Harga diri, tidak mungkin lain
sumbernyadaripada susila, kenginan berbuat kebajikan dan itulah
sesungguhnya fitrah manusia, secara universal.
Masalah penyaluran
idea-idea baru kedalam kumpulan idea-idea yang sudah mendarah daging
dalam kebudayaan tertentu, hanya mungkin dapat terlaksana secara wajar,
apabila ia dibangun atas saling pengertian akan kepentingan itu sendiri
terasa ada manfaatnya.
Adapun garis besar sikap umum orang
Bugis-Makassar yang bersumber dari Latoa, yang rupa-rupanya masih
dijadikan tolak ukur dalam menghadapi segenap perkembangan yang
mendatnginya, dapat disimpulkan dalam penutup ini, sebagai berikut :
1)Hidup keagamaan dan moral agama (Islam), pada umumnya sangat tebal.
Apabila
terjadi, bahwa pada suatu saat dirasakan kepercayaan mereka dihinakan
maka mereka adakan antara essensi keyakinan keagamaan (aqidah) dengan
atribut atau ritus keagamaan. Apabila sesuatu atribut
keagamaan(kepercayaan) mereka mendapat gangguan maka bagi mereka berarti
seluruh sistem itu dihinakan. Mereka lalu nerasa terpanggil oleh Sirik
untuk melakukn suatu tindakan, dantindakan itupun terjadilah. Tindakan
itu disebutnya Mapatettong Sirik (menegakkan kembali martabat yang
hilang.
2)Mereka masihsangat peka terhadap masalah (aturan) kekerabatan.
Memperluasjaringan
keke rabatan dikalangan orang Bugis-Makassar memperluas satu jalan
untuk mencapai relasi sosial yang luas jaringan- jaringannya. Oleh
karena itu, maka jalan terbaik untuk mendekati orang Bugis-Makassar
dalam kehidupan sosialnya adalah Melalui perkawinan. Bila diterima dalam
perkawinan, berarti diterima dalam jaringan kekerabatan yang melahirkan
hubungan Sirik dan Pesse (solidaritas) kaum.
3) Hasrat berbuat
kebajikan terhadap sesame manusia mebnjadi bahagian dari fitrah hidup
kemanusiaan, sangat ditekankan dalam Latoa. Dalam kehidupan sehari-hari
orang Bugis-Makassar, persaan hutang budi, ditanggapi sebagai beban
batin dalam hidupnya ia senantiasa merasa diburu oleh kewajiban untuk
membayar hutang-budi kepada seseorang yang pernah diterimanya.
Dari sumber inilah hadir kekuatan tolong menolong yan menimbulkan
suasana yang mendalam yang tersimpul dalam konsep Pesse.
Dalam bahasa Makassar : Pacce.
MASALAH SIRI DARI SEGI HUKUM ACARA
PIDANA
C.H. Salam Basyah S.H. dibantu oleh Drs. Sappena Mustaring menulis dalam bukunya
berjudul : SIFAT KEWAJIBAN SUKU BUGIS DAN MAKASSAR, antara lain :
1. Sirik sama artinya dengan malu
2. Sirik merupakan daya pendorong untuk melenyapkan (membunuh, mengasingkan,
menguasai dan sebagainya ) barang siapa menyinggung perasaan mereka ;
3.Sirik sebagai pendorong mempunyai variasi merupakan sumber pembangkit tenaga,
Prof Chabot dalam disertasinya pada tahun 1950 yang disetir oleh Prof. Andi Zainal
Abidin Farid S.H. dalam karangannya dalam majallah L.P.H.N. sebagai berikut :
“Tiap
perbuatan untuk melebihi orang lain, baik secara besar atau kecil, baik
dengan angan-angan atau dengan sesungguhnya mengakibatkan, bahwa yang
menderita perbuatan itu merasa harga dirinya dalam masyarakat terganggu.
Tentang orang itu dikatakan, bahwa ia merasa dirinya Sirik dan bahwa ia
akan membalas dendamnya dengan jalan melebihi pula lawannya itu”.
Dr. B. F. Matthes menyatakan sebagai arti daripada Sirik ialah :
1. Beschaamd
= malu: kata keadaan
2. Schroomvalling
= takut
3. Verlegen
= malu-malu
4. Schaamte
= malu : kata benda abstrak.
5. Schande
= aib
6. Wanggunst
= dengki
7. Eergevoel
= rasa kehormatan
Saya
tidak akan menguraikan satu persatu pengertian tersebut, karena sudah
banyak pemrasaran melakukannya. Akan tetapi yang terang ialah, tidak
orang yang senang dibikin malu. Dalam sejarah dunia banyak peperangan
terjadi, disebabkan karena satu pihak merasa dibikin malu oleh pihak
lawannya. Dalam ceritera Minangkabau tentang kisah SABAI NAN ALUIH Datuk
Rajo Nan Panjang menentang Datuk Rajo Berbanding untuk berperang
tanding, karena malu lamarannya ditolak untuk mempersunting sigadis
SABAI menjadi isterinya yang kesekian.
Walaupun sirik itu dapat
diartikan dapat malu, akan tetapi malunya itu tidaklah sama drngan
verlegen zijn menurut istilah Belanda, atau shame menurut Inggeris yang
pengertiannya malah sebaliknya, yaitu menyebabkan seseorang tidak hendak
berbuat, karena dianggap tidak sepantasnya untuk berbuat itu.
Malu
pada sirik ialah suatu perasaan tersinggung yang ditimbulkan oleh
perbuatan orang lain yang menyebabkan orang yang perasaannya tersinggung
itu merasa dirinya dijatuhkan....orang yang demikian mempunyai rasa
terdorong harus Melakukan sesuatu untuk mengembalikan keseimbangan
daripada rasa perasaan tersinggung itu.
Sirik selalu
membangkitkan semangat, mendorong orang yamng menderita Sirik itu untuk
Melakukan kerja keras, memeras keringat, mendorong suksesnya segala
usaha dan sebagainya, demikian C.H. Salam Basyah S.H , orang yang
menderita Sirik harus melenyapkan orang yang menimbulkannya. Pepatah
adatnya ialah “Sungek naranreng nyawa na kira-kira” yang artinya “Jiwa
yangdisapa, nyawa yang dikira-kira”.
Sebab bagi yang menderita Sirik itu leuzenya ialah : lebih baik mati berdarah daripada
mati menderita Sirik (“Lebbi mui mate maddarae na mate, masirikE”).
Menghina
orang dimuka umum adalah perbuatan yang menimbulkan Sirik. Orang yang
dihina mungkin orang yang terkena sirik itu sendiri, akan tetapi dapat
pula atasannya atau seseorang yang akrab dengannya.
Seorang
laki-laki orang Bugis-Makassar adalah to masirik dari seorang gadis atau
istri orang itu, Demikian menurut Prof. Mr. Dr. R. Soepomo yang disitir
oleh C.H. Salam Basyah S.H.. dalam bukunya “sifat kejiwaan Suku
Bugis-Makassar”. Jangankan mengganggu atau memperkosa, memasuki
sajakamar seorang gadis atau isteri orang adalah perbuatan yang
menimbulkan sirik. Yang terkena sirik kecuali saudara dari si gadis
atausuami dari si isteri, juga adalah seluruh keluarga, hal mana dapat
menimbulkan dendam yang tidak berkesudahan.
Hal yang ketiga ialah kalu orang Bugis-Makassar ditantang untuk berkelahi, ia kan
terkena sirik ia akan melawan sampai tetesan darahnya yang penghabisan.
Hal
lain yang dapat menimbulkan sirik ialah, kalau bagian kepala seseorang
dipukul atau seseorang Bugis-Makassar merasa dilebihi kwpandaiannya,
kalau kepala seseorang kena pukul, maka ia diwajibkan oleh seluruh
keluarga untuk membunuh orang yang telah memukulnya itu. Dan kalau ia
tidak berana, maka keluarganya akan membunuhnya sendiri. Tentang
melebihi kepandaian ialah sebagai mana yang dikatakan oleh Prof. Chabot
yang disitir oleh Prof. Andi Zainal Abidin Farid, S.H. diatas.
Kalau
kita renungkan sejenak, maka orang yang terkena sirik itu Melakukan
perbuatan yang mengandung arti membalas atas perbuatan orang lain yng
membuat ia malu. Kalau hanya sekedar membalas itu, didalam sejarah
perbuatan membalas dengan yang setimpal dalam dunia hukum sudah lama
ditinggalkan orang.
Talio dizaman Betavier, yaitu gelijik om
gelijik adalah sudah lama liwat dizaman yang lampau, yang tidak
dilakukan lagi sekarang ini, walaupun orang-orang Betavier tetap ada
berupa orang-orang Belanda.
Vergeldinngstheorrie dalam ajaran
hukum pidana adalah teori klasik yag dikenal hanya berlaku sampai abad
ke XVIII dan sesudah itu tidak diikuti lagi. Malah dizaman Ultra modern
sekarang ialah banyak Negara yang membuang jauh hukuman mati dengan
alasan- alasan yang dapat dibenarkan, pendapat mana dianut oleh
kebanyakan guru-guru besar kita di Indonesia, antara lain : Roeslan
Saleh, S.H. dalam bukunya Masalah Hukuman Mati, 7 September 1958, hal.
37 yang disitir oleh E. Utrecht S.H. dalam bukunya Hukum pidana II.
Alasannya ialah hukuman mati yang telah terlanjur dilaksanakan tidak
dapat diperbaiki kembali, kalau kemudian ternyata bahwa terhukum tidak
bersalah. Hal ini sehubungan dengan suatu perkara pidana yang saya
hadapi sendiri dalam tingkat banding pada Pengadilan Tinggi Ujung
Pandang, dimana dalam suatu kasus seseorang mempunyai dua orang ipar,
yang mana salah satu diantaranya disetubuhi menyebabkan hanil adiknya
terbungsu, lalu dibunuh. Kemudian ternyata yang menyebabkan hamil itu
adalah iparnya yang lainnya yang telah melarikan diri dan tidak pernah
pulang kembali.
Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Setiap
penghukuman haruslah melewati Pengadilan. Membalas sendiri suatu
perbuatan yang merugikan peseorangan adalah perbuatan yang disebut
menjdi hakim sendiri.hal yang demikian tidak dinarkan oleh Negara kita
sebagai Negara Hukum. Dalam peradilan sehari-hari, khususnya didaerah
Sulawesi Selatan perbuatan pidana yang ditimbulkan dengan sirik dihukum
dengan pertimbangan hal yang meringankan, sesuai dengan adat yang
berlaku. Akan tetapi apakah pertambangan yang meringankan itu terdapat
diseluruh Nusantara kita masih dipertanyakan. Belum tentu
Pengadilan-pengadilan yang terdapat diluar daerah sulawesi selatan
selalu mengingat, bahwa Bugis-Makassar mengenal lembaga adat sirik yang
harus diperhatikandalam menjalnkan hukuman. Dan saya yakin, bahwa ada
bagian-bagian dari Negara kita yang meletakkan kepentingan nyawa diatas
segala kepentingan-kepentingan untuk dilindungi. Hal-hal yang demikian
dapat menimbulkan tidak adanya kesatun dalam member putusan tentang
sirik tersebut. Dan alangkah menciutnya pikiran kita, kalau
leerstoel dalam dunia Internasional menyebut, bahwa disalah satu bagian
di Indonesia dizaman Ultra modern sekarang yang menimpa diri dengan
membunuh orang yang menimbulkan onrecht itu.
Kalau kita pelajari
sejenak buku kecil tentang “Fungsi dan perkembangan Hukum Dalam
Pembangunan Nasional” yang diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Hukum dan
Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Pajajaran sebagai uraian dari
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H.L.L.M. pada suatu seminar Hukum
Nasional, antara lain mengatakan :
Ketertiban adalah tujuan pokok
dan pertama dari segala hukum, kebutuhan akan ketertiban ini syarat
poko (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur.
Lepas daripaa segala kerinduan akan hal-hal lain yang juga menjadi
tujuan dari pada hukum, ketertiban sebagai tujuan utama hukum merupakan
suatu fakta objektif yang berlaku bagi segala masyarakat dalam segala
bentuknya. Mengingat bahwa kita tidak mungkin gambarkan hidupnya manusia
tanpa atau diluar masyarakat. Maka manusia dan hukum merupakan
pengertian yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Pemeo Rumawi ibi societies
ibi ius menggambarkan keadaan ini diusahakan adanya kepastian dalam
pergaulan antar manusia dalam masyarakat yang teratur, tetapi merupakan
syarat mutlak bagi suatu organisasi hidup yang melampaui batas-batas
saat sekarang.
Dalam hubungan hukum dengan kekuasaan diuraikan antara lain :
1.Mengingat bahwa hukum itu Memerlukan paksaan bagi penataan ketentuan-
ketentuannya,
maka dapat dikatakan bahwa hukum Memerlukan kekuasaan bagi penegaknya.
Tanpa kekuasaan hukum itu tak lain akan merupakan kaidah sosial yang
berisikan anjuran belaka. Sebaliknya hukum berbeda kaidah sosial lainnya
yang juga mengenal bentuk-bentuk paksaa, dalam hal bahwa kekuasaan itu
sendiri diatur, baik mengenai cara, maupun ruang gerak atau
pelaksanaannya oleh hukum. Kita mengenal Polisi, Kejaksaan dan
Pengadilan sebagai pemaksaan atau penegak hukum Negara yang
masing-masing ditentukan batas-batas wewenangnya. Hubungan hukum dan
kekuasaan dalam msyarakat dengan demikian dapat kita simpulkan sebagai
berikut : Hukum Memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaannya, sebaliknya
kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya oleh Hukum.
2.Dalam membandingkan nilai-nilai hukum dengan nilai-nilai sosial budaya
lainnyadikatakan
bahwa yang baik adalah hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat,
yang tentunya sesuai pula atau merupakan penerimaan daripada nilai-nilai
yang berlaku dalam masyarakat itu. Nilai-nilai itu tidak lepas dari
sikap (attitude) dan sifat-sifat dimiliki orang-orang yang menjadi
anggota masyarakat yang sedang membangun itu. Tanpa perobahan
sikap-sikap dan sifat kearah yang diperlukan oleh suatu kehidupan yang
modern, maka segala pembangunan dalam arti benda fisik akan sedikit
sekali artinya. Jadi, hakekat daripada masalah pembangunan Nasional
adalah masalah pembaharuan cara berpikir yang berobah, maka pengenalan
(induction) lembaga-lembaga modern dalam kehidupan tidak berhasil.
Apabila kita sudah sepakati prinsip, bahwa demi pembangunan pembaharuan
sikap, sifat atau nilai-nilai adalah perlu, persoalannya adalah
nilai-nilai manakah dari keadaan masyarakat yang ada hendak ditinggalkan
dan diganti dengan nilai-nilai baru dan yang diperkirakan lebih sesuai
dengan nilai kehidupan dunia dewasa ini, dan nilai-nilai lama manakah
yang bias dan patut dipertahankan. Pada beberapa puluh tahun yang lalu
dizaman Hindia Belanda telah dilakukan tindakan dibidang Hukum (pidana),
yaitu larangan praktek pemanggalan kepala di pedalaman Kalimantan yang
pada waktu itu masih merupakan praktek yang lazim menurut adat setempat.
Masyarakat Indonesia yang sedang membangun dalam definisi kita berarti
masyarakat sedang cepat; hukum tidak cukup
memiliki fungsi hanya
sebagai alat untuk memilihara ketertiban. Pandangan yang kolot tentang
hukumyang menitik-beratkan fungsi pemeliharaan ketertiban dalam arti
statis dan menekankan sifat konservatif daripada hukum, mengganggap
bahwa tidak dapat memainkan suatu peranan yang berarti dalam proses
pembaharuan. Ucapan bahwa dengan ahli hukum orang tak dapat membuat
revolusi menggambarkan anggapan demikian. Anggapan itu tidak benar dan
dibantah oleh pengalaman antara lain di Amerika Serikat. Di Negeri ini
terutama setelah dilaksanakannya New Deal mulai tahun tiga puluhan kita
telah menyaksikan dipergunakannya hukum sebagai alat untuk mewujudkan
perobahan-perobahan di bidang sosial. Di Negri inilah timbul istilah Law
is tool of social Engineing (R. Pound). Dengan dasar pikiran
sebagaimanaterurai diatas, marilah kita adakan pembaharuan dan
pembangunan dibidang hukum Negara Republik Indonesia yang kita cintai,
sesuai yang termaktub dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara.
3.
Memupuk kesadaran hukum dalam msyarakat dan membina sikap para Pengusaha
dan para Pejabat Pemerintah kea rah penmgakuan hukum, keadilan serta
perlindungan terhadap martabat manusia dan kepastian hukum sesuai dengan
undang-undang Dasar 1945.
Catatan :
Diuraikan oleh B. Bastian Tafal S.H. pada Seminar Sirik di Sulawesi Selatan,
sebagai sumbangan pikiran.
Bagi yang berminat buka la galigo RA Kern silahkan kunjungi lapak kami https://www.bukalapak.com/p/buku/sastra/7dau4-jual-buku-i-la-galigo-ra-kern?search_id=94ac4679-d6f3-4aef-a364-09dd4b9598f1&view_mode=grid&from=searc
BalasHapus