Anda
mungkin mengenal SUTERA SENGKANG. Yaitu kain SUTERA yang menjadi ciri
khas kota SENGKANG di SULAWESI SELATAN. Akan tetapi tahukah anda bahwa
banyak pengrajin sutera dari sengkang mengambil atau membeli benang dari
soppeng? Tepatnya di Kecamatan Donri-Donri Kabupaten Soppeng sebagian
masyarakatnya merupakan petani sutera. Namun mereka tidak pernah
menghasilkan kain sutera atau bahkan tidak pernah dikenal benang sutera
soppeng. Sebagian besar kain sutera yang dihasilkan oleh pengrajin
sutera sengkang menggunakan benang yang berasal dari soppeng. Mereka
membelinya dari petani sutera di Soppeng karena orang-orang soppeng
tidak menghasilkan sampai pada tataran pemintalan kain. Petani sutera di
soppeng hanya mengetahui sampai tataran menghasilkan benang sutera
saja. Urusan pemintalan kain merupakan monopoli murni dari pengrajin
sutera sengkang.
Ketika saya bertanya ke salah seorang
petani soppeng bahwa mengapa mereka tidak berfikir juga untuk menjadi
pemintal kain, mereka menjawab bahwa mereka sudah merasa cukup dengan
keadaan ini. Lagipula menurut mereka, untuk menjadi pemintal kain
dibutuhkan tidak hanya pengetahuan yang lebih akan tetapi juga
dibutuhkan modal yang lebih. Dan inilah fenomena terbesar menurut saya
bahwa realitas konstruksi pemikiran masyarakat golongan petani adalah
konsevatif. Mereka adalah orang-orang yang merasa cukup dengan model
kehidupannya sekarang. Realitasnya, para petani sutera soppeng yang
menggantungkan hidupnya dengan menjadi petani sutera tidak sadar
bahwamekanisme pasar dikuasai oleh pengrajin sutera sengkang. Para
pengrajin inilah yang kemudian berhak menentukan harga benang dipasaran.
Yang juga berarti hasil jerih payah para petani soppeng ditentukan oleh
pengrajin sutera sengkang. Seharusnya pemerintah kabupaten soppeng
kemudian melakukan upaya-upaya protektif untuk melestarikan sutera di
daerahnya.
Di Desa Pising Kecamatan Donri-Donri
jumlah petani sutera pada tahun 90-an mencapai 1000 orang lebih. Akan
tetapi karena tidak adanya kejelasan dari pemerintah dalam bentuk
regulasi pasar sutera maka banyak yang beralih profesi. Dan ditahun
2000-an jumlahnya berkurang sekitar 40 orang lebih. Ini merupakan hal
yang sangat sedih mengingat dalam jangka waktu sepuluh tahun saja
penurunan jumlah petani sutera soppeng mencapai sekitar 80%. Padahal
menurut sumer yang ditemukan bahwa ada museum di Thailand yang memajang
alat pemintal yang berasal dari Donri-Donri Soppeng. Yang berarti bahwa
soppeng dahulunya merupakan sebuah kota pusat pemintalan sutera yang
besar yang pernah ada di Indonesia. Tapi hal itu semakin lama semakin
hilang seiring berkembangnya zaman.
Perkembangan zaman yang tidak diikuti
oleh perkembangan pemikiran, sehingga banyak peninggalan sejarah yang
berguna untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat justru harus punah.
Lalu siapakah yang harus disalahkan dalam hal ini? Tentu saja persoalan
ini merupakan persoalan sistemik bangsa Indonesia. Ada sistem yang salah
dalam mekanisme pengelolaan Negara yang berujung pada ketidakadilan
sosial. Dan ada aktor yang tidak bermoral yang mengendalikan sistem ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar